Jumat, 18 April 2008

Sukses Instan Ala Idol

Setiap orang tentu mendabakan kesuksesan. Sukses dalam pengertian kaya, banyak uang, dipuja banyak orang, disegani dan dijadikan sebagai trend setter. Singkatnya, semua orang menganggap kemiskinan sebagai “kutuk” yang harus dihindari dan “dinajiskan”. Untuk menghindarinya, orang memakai beragam cara, dari yang konvensional berbau klenik seperti pesugihan sampai yang cara modern yang lebih rasional. Cara terbaru yang paling banyak ditawarkan belakangan ini adalah menjadi idol dadakan.
Acara pencarian bakat dibidang music sebenarnya bukan barang baru. Bintang radio dan televisi sudah ada , bahkan, jauh lebih dulu dari AFI, AFI Junior, Dangdut Mania, Indonesian Idol dan yang lainnya. Memang acara-acara semacam itu dalam kemasan lama (bintang radio dan televisi) relative tidak terdengar dibandingkan dengan program acara idol-idolan masa kini. Salah satu penyebab acara pencarian bakat model lama kurang terdengar adalah konvensional dan minimnya hadiah yang diberikan. Yang saya maksud konvensional adalah, seleksi peserta yang sangat ketat (berdasarkan kualitas) dan minimnya hadiah. Selain itu, factor bisa tidaknya muncul di TV bisa menjadi factor penentu acara semacam ini dalam kemasan masa kini lebih laku.
Pada dasarnya, hampir semua orang butuh publisitas. Tidak percaya? Orang-orang yang ikut dalam audisi acara semacam ini pada umunya memang ingin “adu nasib”. Adu nasib? Ya, sebenarnya banyak dari mereka yang sadar kemampuan vokalnya pas-pasan dan gak bakal masuk nominasi tetapi tetap saja mereka rawe-rawe rantas malu-malu belakangan. Ya, paling tidak sudah mencoba dan siapa tahu muncul di TV (walaupun untuk yang slendro). Buktinya, seringkali stasiun TV yang mengadakan acara ini justru menampilkan bagian-bagian dari audisi yang dipenuhi dengan ke-slendroan¬ para peserta. Ini yang seringkali membuat kita tertwa dan selanjutnya, pelan tapi pasti mulai keranjingan untuk mengikuti acara ini.

Mesin Uang
Acara semacam ini sebenarnya menjalankan dua tujuan. Yang pertama memang sungguh-sungguh mencari bibit-bibit muda yang potensial untuk dibina dan dikembangkan dan diorbitkan sebagai bintang pada masa yang akan datang. Hal ini dibuktikan dengan komentator/juri penilai yang diiplih untuk menyeleksi peserta audisi bukan orang-orang “kemaren sore” dan “ijo” di bidangnya. Mereka semua ciamik dan jempolan. The right man on the right place! Selain itu, klinik-klinik pembinaan juga disediakan untuk membina kontestan yang masuk keperingkat tertentu. Ini bukan upaya main-main dan anggrannya pun gede. Selanjutnya, pola-pola “pembinaan” untuk masa yang panjang pun juga sudah disiapkan untuk para artis baru. Ada sejumlah kontrak yang menunggu ketika mereka sukses menduduki peringkat tetrtentu. Siapa yang diuntungkan?
Selain menjalankan fungsi mencari dan membina bibit-bibit baru, acara semacam ini juga menjalankan fungsi bisnisnya. Mesin uang. Fungsi ini bisa dengan jelas kita lihat dari adanya pemilihan bintang melalui sms. Tarifnya pun tidak murah-2000/sms. Namun celakanya, fungsi inilah yang seringkali lebih menonjol dan kadang-kadang menyakitkan hati. Menyakitkan hati karena sms yang berkuasa menentukan baik tidak dan layak tidaknya seseorang menjadi bintang. Saya tidak akan pernah mangatakan hal ini sebagai vox populi Dei. Saya lebih senang menyebutnya vox populi vok. Carilah arti kata ini, maka saudara tidak akan pernah menemukannya. Saya bermaksud mengatakan bahwa acara sms-an itu menjadi “tuhan” karena sms adalah juri dan yang di studio (para komentator) tidak berhak dan layak menjadikan seseoarang atau beberapa orang sebagai bintang berdasarkan penilaian yang obyektif. Sekali lagi sms kuasa!
Contoh lain dari dominannya fungsi ini saya lihat dalam acara idola cilik. Setelah sampai babak dua belas besar, sepakat dengan suara bulat untuk menampilkan kembali atau menambah kategori menjadi 16 besar. Alasannya, ada anak-anak yang memang berpotensi harus pulang kampong karena dipulangkan oleh sms. Sampai titik itu saya sepakat. Sepakat karena memang mereka yang dipaksa pulang kampong memang berkualitas tapi “kalah nasib”. Ya itu tadi, sms kuasa.
Simpati saya menjadi berubah ketika pada satu titik lagi komentator bersepakat bulat lagi untuk menampilkan peserta yang tereliminasi dengan hak dan yang sama dengan peserta lainnya yang sudah melalui penyaringan tahap pertama (suara bulat yang pertama). Ini yang saya rasa tidak adil. Jelas-jelas fungsi bisnis yang dijalankan. Buktinya, penonton terus dirangsang untuk mengirimkan sms. Bisa dihitung bukan berapa penghasilan dari sms untuk satu kali tayang.
Forum sms-an semacam ini juga tidak salah. Tidak salah karena acara ini, mulai dari seleksi yang kebanyakan dilakukan dengan cara road show sampai tayang butuh biaya. Salah satu sumber biayanya adalah dari sini selain dari iklan dan lisensi atas album yang dibuat. Yang tidak benar adalah ketika komentator/juri (?) tidak mempunyai kewenangan apapapun untuk menentukan siapa bintang yang sebenarnya. Sudah menjadi rahasia umum dan kecenderungan manusia adalah adanya keterikatan emosional dengan orang-orang yang se-daerah. SMS dikirm bukan lagi karena kualitas penyanyi tetapi karena konco dewe. Apalagi kalau para pejabat daerah –bupati, walikota, camat sampai RT ikut-ikutan member pernyataan dukungan yang secara tidak langsung merupakan “instruksi” terselubung bagi mereka yang atinggal di suatu wilayah untuk memilih. Sekali lagi, walaupun tidak semua, factor keterikatan asali/daerahlah yang berbicara.

Baik atau Buruk?
Pertanyaan di atas siafatnya etis. Kalau anda menanyakan hal itu kepada saya, saya akan menjawab dua-duanya. Dua-duanya? Ya. Baik dalam pengertian memang acara semacam ini bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari bibit-bibit baru yang berkualitas dalam dunia tarik suara bukan tarik urat leher. Ikut saja audisinya. Tidak baik dalam pengertian ada mekanisme-mekanisme yang harus diubah. SMS bukan ‘tuhan”. Kualitas seseoarang bukan ditentukan oleh sms. Fungsi komentator harus diganti menjadi fungsi juri. Juri yang mempunyai kekuasaan dan keleluasaan untuk memberikan penilaian layak tidaknya seseorang dinobatkan menjadi bintang. Ini memang sulit dan mungkin kontraproduktif dari sisi pendapatan. Kalau fungsi ini dijalankan, bukan tidak mungkin, aliran sms akan menjadi lebih seret. Namun begitu, masyarakat harus didik untuk menilai berdasarkan kualitas bukan sentiment kedaerahan. Bintang sejati adalah bintang yang timbul dan muncul karena penilaian bintang bukan penilaian pasar. Bergantung kepada pasar memang menguntungkan dari sisi bisnis tetapi tidak akan pernah menciptakan bintang yang sejati. Menjadikan pasar sebagai acauan untuk memilih bintang hanya akan melahirkan bintang karbitan.
Keberanian untuk mengalih fungsikan komenatator menjadi juri pada awalnya memang sulit. Akan tetapi, setelah masayarakat tahu bagaimana penilaian proporsional yang menghasilkan bintang-bintang yang berkualitas akan membuat masyarakat menghargai seseoarang dari kualitasnya bukan asal daerahnya. Yang sekarag terjadi adalah banyak sekali artis-artis penyanyi dadakan dan karbitan. Yang berhasil di duia sinetron dengan rakusnya banting setir ke dunia tarik suara walaupun kemampuan yang dimiliknya adalah kemampuan berbunyi bukan bernyanyi. Ini kan yang sekarang terjadi?

Apakah Idol(a) Jalan untuk Lepas dari Kemiskinan?
Idol dan menjadi idola memang bisa dijadikan sebagai alternative untuk lepas dari kutuk kemiskinan. Akan tetapi, seoarang idola sejati yang bisa melepaskan diri dari kutuk kemiskinan adalah idola yang besar karena proses yang benar dan teruji oleh waktu di bwah asuhan dan pembinaan dari pihak-pihak yang benar. Apalah artinya benyak uang untuk sesaat tetapi mental dan kualitas sebagai idola sejati tidak pernah dimiliki.
Lepas dari kutuk kemiskinan memang harus kita upayakan dengan berbagai cara. Cara-cara yang baik dan benar di mata Tuhan dan sesama. Ada banyak cara yang baik dan benar. Rekan-rekan netter tentunya bisa menemukan sangat banyak tawaran di dunia maya. Namun begitu, berhati-hatilah dalam memilih. Seperi Anda, saya pun ingin lepas dari kutuk kemiskinan. Kaya dan miskin adalah cara bagaimana kita bersikap dan memandang materi dan fungsinya di dalam hidup kita. Apakah kita mengukur kekayaan sebagai satu-satunya ukuran kesuksesan kita ataukah nilai yang bisa kita berikan kepada orang lainlah adalah ukuran utamanya. Last but not least, menjadi seoarang kaya yang kaya hati jauh lebih baik daripada menjadi seoarang miskin yang miskin hati. Bagaimana pendapat anda?

Selasa, 15 April 2008

"Sukarno Arogan!"



AROGAN adalah sebuah kata yang cukup bisa membuat orang yang terkena atau menjadi tujuan lontaran kata ini merah telinga dan pada titik-titik tertentu merasa terhina. Reaksi semacam ini bisa terjadi karena secara umum khalayak memahami arti kata ini mengacu kepada sesuatu/ sikap negative—sombong, angkuh. Inilah yang terjadi dengan Ahmad Dhani ketika dia melontarkan satu kalimat pendek seperti dia atas untuk menyebut Bung Karno. AROGAN, adalah biang munculnya reaksi keras dari Sukmawati , putri ketiga Bung Karno dan para Sukarnois yang merasa Dhani melalkukan contempt of National Figure.
Reaksi-reaksi semacam itu syah dan wajar-wajar saja. Sama halnya dengan wakil-wakil rakyat yang oleh Slank disebut sebagai mafia Senayan yang kerjanya buat peraturan…, yang merasa “gerah” dan bermaksud memperkarakan SLANK (tapi gak jadi, what happen, ayak naon). Para Sukarnois pun seperti itu. Mereka marah karena sosok yang mereka hormati dihinakan dengan sedemikian rupa oleh orang yang mengaku diri sebagai Sukarnois sejati (Dhani). Apapun reaksi yang ditunjukkan, paling tidak ada satu pertanyaan yang ada di kepala saya:”Benarkah Dhani melakukan contempt of National Figure dengan dan melalui kata yang diucapkannya—AROGAN?
Untuk membuktikan kebenaran hal tesebut, ada baiknya kita mulai melangkah dengan menyelidiki arti kata tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata ini sebagai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau kepongahan; keangkuhan. Khalayak berpendapat kata ini berkonotasi negative sehingga tidak layak untuk diaplikasikan kepada sosok Bung Karno. Memang, makna yang lebih menonjol dari kata ini adalah citra negatifnya. Namun begitu, apakah ini satu-satunya dasar yang dipakai untuk menilai dan menghakimi bahwa Dhani melakukan pelecehan terhadap Bung Karno? Tentu tidak.
Saya bukan penggemar Dani dan BoloDewo. So, tidak ada pretensi apapun untuk meringankan kemarahan dan ketidaksenangan Sukarnois terhadap Dhani karena apa yang diucapkannya—AROGAN. Yang saya lakukan di sini hanya berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran kenapa hal ini terjadi. Menurut saya, Dhani tidak melakukan penghinaan atau pelecehan setelah melihat dan menyimak penjelasannya terkait hal ini dalam acara SILET pada 15 April 2008. Dari penjelasan yang diberikannya, saya menyimpulkan bahwa yang terjadi adalah misunderstanding. Dhani kurang memahami makna kata ini yang sesungguhnya karena tertutup oleh over confidence­-nya.

SUKARNO BUKAN SEORANG AROGAN TETAPI GENTLEMAN


Ribut-ribut soal AROGANNYA Sukarno, justru mengarahkan saya untuk melihat kembali sosok dan kepemimpinan beliau walaupun saya tidak mengalami masa kepemimpinan beliau dan melihat kehidupan pribadinya secara langsung. Soekarno, bagi saya, bukan seorang yang arogan. Apalagi, kalau ukuran kearoganan itu hanya diberikan oleh seorang Ahmad Dhani untuk membela diri dan sikapnya yang memang arogan. Sokarno bukan Dhani! Begitu juga sebaliknya. Jauh bumi dari langit kalau Dhani hendak menyamakan dirinya dengan sosok Bapak Bangsa. Jauh dan masih sangat jauh!
Soekarno adalah seorang gentleman. Terlepas dari banyaknya kekurangan Soekarno sebagai manusia yang tidak sempurna seperti kita, dia adalah seorang gentleman dan pemimpin sejati. Ke-gentle-an Bapak bangsa ini bisa kita lihat ketika dia dengan berani mengahadpi tekanan-tekanan pihak musuh (penjajah) karena sikapnya yang keras untuk membawa bangsanya menuju kemerdekaan. Ketabahan menghadapi dan merasakan pengapnya bilik-bilik penjara dan sepinya pengasingan itulsh ysng membuatnya sebagai seorang yang gentle. Soekarno tahu betul apa yang dilakukannya dan betul-betul siap menghadapi konsekuensinya.
Sosoknya sebagai pemimpin sejati terbukti ketika dengan lanntang dan berani dia menyatakan:”Go to Hell with your aid” dan “Ganyang Malaysia,” ketika martabat dan kehormatan bangsanya terancam diinjak-injak oleh bangsa lain. Ini yang kurang bahkan tidak dimiliki oleh sebagian pemimpin nasional setelahnya.
Sebagai seorang pemimpin sejati, Soekarno mampu dan telah terbukti dan teruji oleh zaman, melepaskan diri dari godaan untuk memperkaya diri dengan memperkosa jabatan. Soekarno bukan pemimpin yang kemaruk dan haus harta. Dwi tunggal sejati—Soekarno dan Hatta adalah sosok pemimpin yang karena kesadaran dan ketulusan hatinya rela “kere” demi bangsanya. Berapa banyak pemimpin nasional setelah mereka yang mempunyai sikap seperti ini. Boro-boro rela “kere”, diminta menyerahkan daftar kekayaan saja sulitnya minta ampun.
Mengacu kepada sikap gentlenya ini, naïflah kalau Dhani berusaha menyamakan dirinya dengan sosok Sukarno. Sukarno bukan dan tidak arogan tetapi seorang gentleman sejati. Kalau Dhani…, tahu sendirilah. Sehebat dan sengetop apapun dia, Dhani tetaplah Dhani dan Soekarno adalah Soekarno yang kualitasnya sudah teruji dan terbukti melalui waktu dan sejarah. Bahaya memang kalau karena over confidence kita berbicara asal-asalan. Apalagi, kalau yang kita lakukan dan omongkan hanya untuk mendapatkan pembenaran atas sikap-sikap kita yang kurang simpatik. Anda sependapat dengan saya?

Selasa, 01 April 2008

SANTAI AYAT-AYAT CINTA SBY

Santai Ala SBY

Santai, rileks atau apapun namanya untuk menenangkan diri dan pikiran adalah hak setiap orang. Tidak ada yang bisa melarang seseoarang untuk bersantai, bersenang-senang , kumpul-kumpul atau gathering dengan siapa saja. Tuhan pun memerintahkan manusia untuk istirahat satu hari dalam seminggu. Itulah sebabnya kenapa hari minggu ada. Sekali lagi bersantai, gathering, nonton bareng adalah bagian melekat dari HAM. Akan tetapi, semuanya itu ada porsi dan tempatnya. “Hukum” ini berlaku untuk semua!
Ketika kita berbicara soal HAM, akan sangat baik kalau kita tidak hanya mengukur apalagi mengurung HAM itu dari perspektif kita. Hak kita yang ditonjolkan. Hak yang kita miliki bukanlah hak mutlak. Tidak mutlak dalam pengertian di kanan dan kiri hak kita ada hak orang lain. Tuntutan untuk mengerti hak dan kewajiban akan semakin besar ketika kita berada di posisi pucuk pimpinan. Presiden adalah pucuk pimpinan negeri ini. Dia tetap memiliki hak azasi sebagai seorang manusia. Akan tetapi, ketika hak itu dipergunakan secara salah, pastilah mengundang berbagai reaksi negative mulai dari bisik-bisik sampai dibuka blak-blakan did an oleh media.
SBY sebagai Bapak dan kepala rumah tangga negeri ini justru melakukan tindakan yang sangat tidak peka. Ketika anak-anaknya sibuk mencari-cari minyak tanah, gas elpiji yang tiba-tiba menghilang ataupun kalau ada harganya meroket dan menggila, dia sendiri malah mengajak teman-temannya dari negeri tetangga untuk NOBAR (Nonton Bareng) AAC (Ayat-Ayat Cinta). Luar biasa!! “BApak, kok tega-teganya berbuat seperti itu.”
Mungkin SBY mempunyai alasannya sendiri dan bisa memakai haknya azasinya untuk menjawab pertanyaan ini. “Kan sudah ada yang menangani hal ini, jangan semua diserahkan ke BApak. BApak ini juga manusia. Seperti kamu, Bapak juga bisa capek dan pingin santai.” Kalimat-kalimat seperti ini sangat manusiawi jika diucapkan. Memang sebagai manusia biasa presiden pun tetap manusia yang terbatas dan tidak bisa melakukan semua yang diminta rakyatnya. Sekali lagi ada benarnya seandainya SBY mengatakan hal ini karena pada dasarnya dan faktanya ia mempunyai banyak pembantu-para menteri yang sudah mempunyai job descriptionnya sendiri-sendiri tetapi masalahnya di sini adalah, SBY kurang peka!

Rakyat Butuh Tindakan
Sosok SBY sebagai Bapak yang selalu berusaha mengayomi anak-anaknya di seluruh penjuru negeri ini memang sudah sering kita lihat dan dengar. Seringkali hal itu diwujudkan dalam tindakan nyata dengan mendatangi korban bencana alam, ikut bermalam di lokasi bencana dsb. Tindakan ini merupakan wujud simpati dan empati (?) dari SBY atas penderitaan rakyatnya. Tindakan ini bagus. Tidak ada yang merasa tidak senang dengan tindakan seperti ini yang dilakukan dengan tulus. Akan tetapi, cukupkah semuanya ini?
Simpati dan empati atas penderitaan rakyat sekali lagi saya katakan sangat baik. Namun begitu, jika kedua hal ini (simpati dan empati) tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata apalah artinya. Ibaratnya, kalau sang anak menangis karena tangannya terluka, sang bapak hanya mengatakan,”cup…cup..nanti kan sembuh,” tentunya hal ini tidak cukup. Memang untuk sesaat anak bisa tenang tetapi sumber maslahnya tidak terobati. Kasus nyata lainnya mengenai hal ini adalah nasib korrban lumpur LAPINDO.
Untuk menyatakan simpati dan empatinya terhadap korban lumpur LAPINDO, SBY berinisiatif untuk ngantor di Juanda selama tiga hari. Selama tiga hari itu ia “berhasil” menekan LAPINDO untuk membayar ganti rugi (bukan ganti untung karena warga Porong benar-benar dirugikan) kepada warga Porong. Secara seremonial dan memang hal ini berhasil tetapi secara operasional hasilnya NOL BESAR! Bahkan, simpati dan empati yang pernah ditunjukkan oleh Bapak kita itu sekarang justru menjadi “racun” bagi warga Porong. SBY tetap tidak mau merevisi KEPRES yang mengesahkan pembayaran ganti rugi hanya kepada korban lumpur yang dipetakan sejak awal. Bukankah ini racun namanya kalau anak-anaknya yang saat ini menjadi korban baru luapan lumpur LAPINDO diputuskan untuk TIDAK MASUK kategori penerima ganti rugi. Karena apa? Karena wilayah mereka tidak masuk dalam peta yang dibuat sebelumnya. Hebat. Hebatnya lagi, dana untuk penanganan masalah Porong sekarang diambilkan dari APBN. Luar biasa (ngawurnya).
Rakyat saat ini tidak membutuhkan simpati, empati, angin surge atau sebutan-sebutan manis lainnya untuk merebut hati rakyat. Yang Kami butuhkan saat ini adalah tindakan nyata. Tangani hilangnya MITAN di pasaran, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, rencana gila untuk menerapkan program insentif dan disinsentif dalam pemakaian listrik yang sebenarnya hanya akal-akalan untuk menaikkan harga secara terselubung, benahi distribusi gas elpiji yang sekarang ini langka di pasaran dan harganya melambung. Kami butuh tindakan nyata. Kami tidak buth penjelasan macam-macam dengan membawa-bawa data statistic yang hanya membuat kami semakin pusing. Data itu tidak ada gunanya bagi kami karena pada kenyataannya angka-angka statistic yang selalu dijadikan patokan untuk mengatakan keberhasilan Bapak dan anak buah Bapak justru bertolak belakang dengan kondisi yang nyata. Retorika hanya berguna untuk dipakai di sekolah-sekolah tetapi pada tataran praktis tindakanlah yang dibutuhkan.


AAC OK, Tindakan Harus!
Menikmati tontonan karya anak bangsa dan mempromosikannya kepada rekan-rekan dari Negara sahabat syah-syah saja bahkan harus. Namun begitu, hal seperti ini nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan penderitaan rakyat saat ini. Mungkinkah kita, sebagai manusia yang berhati nurani dan terlebih sebagai seorang pemimpin , bisa menikmati kesenangan sementara rakyat yang kita pimpin menderita dan kebingungan. Ayat-ayat Cinta bukan prioritas untuk saat ini. Rakyat dan nasibnya adalah yang utama.
Sulit memang untuk bisa menempatkan hak kita secara proporsional ketika kita berada di posisi kepemimpinan. Tuntutan yang diberikan kepada seorang pemimpin jauh lebih besar dibandingkan dengan orang-orang biasa. Pun begitu, bukan berarti ini bisa dijadikan alasan untuk membela diri karena melakukan tindakan yang kurang dan tidak simpatik di tengah penderitaan rakyat. Sekali lagi bersantai dan bersenang-senang adalah hak bahkan Tuhanpun mengakuinya. Hak itu menjadi salah ketika diletakkan di tempat dan waktu yang salah. Melakukan tindakan nyata untuk mengurangi penderitaan rakyat adalah bentuk dari simpati dan empati yang produktif. Ini yang ditunggu banyak orang!

गन्यंग Pornografi

MENGGANYANG CYBER PORNOGRAFI: MUNGKINKAH?
“Bersedia, siap dan ya atau go,” kata ini seringkali kita dengar dalam berbagai kejuaraan atletik seperti oleh raga lari dengan berbagai variasinya-lari cepat, lari gawang, danlari estafet. Kata-kata itu adalah aba-aba pengarah bagi atlet untuk membangkitkan semangat untuk bertanding. Banyak orang yang menerima aba-aba ini tetapi hanya ada satu dari mereka yang menjadi juara. Hanya satu yang menerima hadiah. Walaupun ada juara dua dst, tetap saja orang ingin menjadi juara satu. The Champion, The Winner!
Apa yang dilakukan oleh kementerian KOMINFO di bawah komando Bapak M. Nuh DEA saat ini bisa dianalogkan dengan hal dia atas. DepKomInfo, mengajukan RUU untuk memerangi cyber pornography yang memang semakin menggila belakanga ini. Namun begitu, yang diperangi bukan hanya pornografi yang ditampilkan di internet tetapi juga transaksi-transaksi keuangan palsu yang menggunakan media maya ini sebagai sarana.
Pro dan kontra pasti ada berkaitan dengan hal ini. Itu wajar dan syah-syah saja. Yang pro, termasuk parlemen, mendukung gerakan ini dengan mengesahkan RUU itu dan dapat segera diimplementasikan. Hari ini 1-4-2008, ketika artikel ini ditulis, dijadikan tonggak untuk memulai secara nyata gerakan ini dengan men-delete dan me-LOCK situs-situs porno sehingga tidak bisa diakses oleh public di Indonesia (?). Dukungan ini diberikan oleh khalayak termasuk parlemen karena timbulnya kesadaran (setelah banyak jatuh korban?) akan dampak negative aktifitas-aktifitas terkait pornografi dan pornoaksi di internet yang disebarluaskan melalui HP.
Selain itu, semakin maraknya pertumbuhan situs-situs porno local dengan actor local juga membuat dukungan semakin kuat. Publik (tentunya yang mendukung) bersatu tekad dengan penguasa untuk mengganyang habis pornografi di internet dan penyebarluasannya melalui HP dan media elektronik lainnya. Meningkatnya jumlah situs porno local, yang oleh Roy Suryo dinyatakan mencapai satu juta, dan actor lokalnya sangat mencengangkan kalau tidak dikatakan sebagai FANTASTIS. Percaya gak percaya, itulah faktanya. Kita tidak lagi bisa menggembar-gemborkan sebagai bangsa Timur yang agamis, santun dan tidak neko-neko. Hancur sudah kebanggaan semu kita selama ini. Tidak bisa lagi kita seperti dulu. Dulu, dengan mudahnya kita selalu menunjuk Barat sebagai biang kerok kerusakan moral. But now, satu jari yang dulu kita tudingkan ke Barat, saat ini berbalik menjadi tiga. Artinya, ternyata kita juga berpotensi seperti Barat atau malah “lebih unggul”. Inilah yang mengundang keprihatinan banyak pihak sehingga dengan suara bulat meneriakkan “Ganyang pornografi dan pornoaksi!”
Di dunia ini selalu ada dua sisi. Ada yang hitam dan ada yang putih. Ada “Yin” , ada “Yang”. Kalau ada yang pro, pasti ada yang kontra. Yang Pro dengan alasannya sendiri, begitu juga yang kontra. Pihak-pihak yang kontra, dengan mengatasnamakan (atau bersembunyi) dibalik kebebasan ber-ekspresi dan seni mengatakan aturan ini hanya memberangus kebebasan dan mematikan estetika. Kebebasan dalam pengertian tidak ada yang dirugikan (?) dengan menjadikan ungkapan “kalau tidak suka, ya gak usah lihat” sebagai dasarnya. Estetika dalam pengertian kenapa kalau ada yang “indah-indah” tidak “diberdayakan” (atau tepatnya dieksploitasi). Peraturan dan gerakan ini jelas-jelas mengurangi pendapatan orang lain dan melanggar HAM!
PERTANYAAN BESAR
Pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan gerakan ini adalah, apakah benar-benar bisa dijamin bahwa situs-situs porno dan kegiatan pornografi di dunia cyber tidak bisa diakses lagi? PErtanyaan ini bukan bermaksud merendahkan atau skeptic terhadap realitas yang ada. Beberapa waktu yang lalu, ketika Inul Daratista wong ndeso yang menjadi the rising star di belantika dangdut dengan mengusung goyang ngebor, Rhoma Irama dengan lantang meneriakkan yang kurang lebih sama. “Ganyang pornoaksi.” Anehnya, itu tidak berlangsung lama alias inkonsisten. Akankah gerakan ini berakhir seperti ini juga? Gerakan tinggal gerakan, peraturan tetap peraturan!
Jika disimpulkan, inti pertanyaan besar yang ada adalah seberapa efektif dan untuk berapa lama gerakan dan peraturan ini bisa survive. Tidak hanya sekedar bisa bertahan tetapi juga memperoleh hasil seperti yang diinginka dan dicita-citakan-pornografi dan pornoaksi tidak lagi lalu lalang di internet dan bisa disebarluaskan secara bebas kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Parameter operasional untuk mengukur efektif tidaknya gerakan ini selain kemampuannya memperkecil (tidak mungkin menghapuskan seluruhnya) ruang gerak pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan, pengelolaan dan pendistribusian situs-situs porno adalah kekuatannya untuk memberikan efek jera. Ini yang sulit! Bukankah kasus Maria Eva bisa dijadikan sebagai salah satu contohnya. Dimana saat ini Maria Eva dan “Papa”nya yang mantan anggota dewan itu? Bagaimana akhir ramai-ramai kasus mereka?
Pertanyaan besar ini paling tidak bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan sebelum mengambil langkah. Efektifitas gerakan ini tidak bisa hanya diletakkan dibahu dan pundak penegak hukum semata. Atau celakanya, kalau kita menumpukannya kepada barang mati-peraturan atau undang-undang. Memang undang-undang memiliki power kalau instrument-instrumen yang menjalankannya juga memiliki dan berkemauan untuk memiliki power. Hukum, aturan, undang-undang atau apapun namanya tidak bisa dating dan menangani perkara sendiri. Yang diperlukan adalah kerjasama. Hukum, penegak hukum, dan khalayak harus bahu-membahu dengan niat tulus menegakkan hukum, aturan atau apapun namanya. Tujuannya hanya satu: ketentraman bersama. Tanpa kebersamaan seperti ini mustahil kita bisa memerangi pornografi dan pornoaksi di dunia maya. Salah besar kalau kita hanya mengarahkan mata kepada dunia maya untuk mencari apa yang disebut pornografi dan pornoaksi. Lihatlah di layar-layar televise dalam berbagai acara, terutama music, bukankah dengan sangat mudah kita menemukan gerakan-gerakan dan busana-busana minim yang selalu ditayangkan. Apakah ini bukan pornoaksi? Di mana kita, waktu tayangan-tayangan ini disajikan hampir setiap hari? Kalau ini bukan pornoaksi yang mengarahkan orang (tidak semua) melakukan tindakan-tindakan porno, lalu apa namanya?
Pornografi dan pornoaksi di negeri ini memang sudah berada dalam kondisi membahayakan. Bukan hanya tindakannya yang tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi targetnya pun semakin membuat kita miris. VCD anak-anak disisipi adegan-adegan mesum. Bukankah ini mengerikan? Selain tindakan dan target, korbannyapun mulai berjatuhan. Celakanya, korban yang banyak jatuh sekarang ini adalah anak-anak. Berapa kali kita menyaksikan diberbergai tayangan berita baik di media massa maupun eletronik bocah memperkosa bocah, bergilir pula! So, mau tidak mau , suka tidak suka, kita yang pro gerakan ini harus mendukung secara nyata. “Ganyang pornografi!!

Minggu, 09 Maret 2008

Antara Aku, Kamu dan Korban Lumpur Lapindo

Getting What You Don�t Want
Kadang bahkan seringkali orang harus kecewa, dongkol, dan marah karena perbuatan orang lain. Tidak ada sesuatu yang salah yang kita lakukan tetapi justru tindakan dan perbuatan orang lainlah yang justru membuat kita terpaksa merasakan hal-hal seperti yang disebutkan di atas. Benarlah apa kata pepatah tua Jawa,�Ora mangan nangkane gupak pulute (Tidak ikut makan nangkanya kena getahnya).� Kadang seperti itulah hidup ini. Selalu mengharap yang baik tetapi justru beberapa hal yang tidak baik yang kita terima. Namun begitu, hal-hal seperti itu memang kadang harus kita terima dengan tetap tersenyum (walaupun berat) dan dinikmati. Enjoy aja!
Beberapa waktu yang lalu, ketika mengecek blog http//ivriel.multiply.com , saya begitu terkejut karena ada banner cukup besar yang nangkring di caption/head blog saya. Bagi saya banner itu sukup dan sangat menganggu. Bagaimana tidak, karena yang ditampilkan adalah iklan cewek bispak. Dongkol pastinya saya waktu itu. Akan tetapi, setelah saya piker lebih dalam dan jauh plus disharingkan dengan beberapa teman, reaksi mereka�tertawa justru membuat saya sedikit �terhibur �. Terhibur dalam pengertian, sikap mereka yang membuat saya terhibur bukan biang masalah banner itu. Pertanyaan saya waktu itu, �kok ada yang ketawa?� Karena sikap orang yang cenderung positif, saya pun terbawa berpikiran positif menyikapinya. Saya hanya bisa bergumam,�Ah, biarlah, kan nanti ada waktunya banner itu hilang denga n sendirinya (atau ada pembaca yang mau bantu saya menunjukkan cara menghilangkan banner nakal itu?) toh saya sama sekali tidak memasangnya dan mendukung yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempublish banner itu. Beginilah, kalau pake gratisan!

Aku, Kamu,dan Korban Lumpur Lapindo; Kita Semua Sama
Peristiwa yang saya ceritakan di atas cukup membuat saya dongkol, marah sekaligus geli. Perasaan yang terakhir (geli) karena ada pihak-pihak yang saya nilai mengusik �urat geli� saya ketika menanggapi apa yang saya ceritakan. Intinya adalah, peristiwa yang saya alami kecil dan remeh. Saya tidak keluar duit sepeserpun untuk buat blog, gak ikut memelihara. Yang saya lakukan hanya mulis dan mempublishnya di blog gratisan itu. Selesai. Sederhana sekali. Oleh karena itu, tidak cukup alasan bagi saya untuk terus dan berlama-lama merasa dongkol apalagi marah. Tidak ada untungnya.
Kalau yang saya alami berkaitan dengan blog itu sangat kecil arti dan nilainya, beberapa hal yang saat ini kita alami justru sangat besar dan mendasar , menurut saya. Bagaimana tidak? HArga-harga yang semakin menggila (siapa yang salah) bukan hanya membuat ibu, kakak perempuan atau istri kita kelabakan. Kita pun (sebenarnya) ikut pusing. Kalau hampir setiap hari jantung para ibu dan istri dibuat berdetak kencang karena fluktuasi harga yang tidak menentu sementara uang belanja tetap tidak ada penambahan karena gaji para suami umumnya juga tidak bertambah, para suami atau tulang punggung keluarga pun sebenarnya juga �pusing�. Kami, para suami, selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan penghasilan tambahan dengan tidak mengorbankan keluarga.
Banyak cara yang dilakukan orang untuk meluapkan kemarahan dan kekecewaannya menyikapi hal-hal yang tidak pasti ini. Ada yang mudah �terpancing dan meradang�. Ada yang lebih suka topo bisu (diam seribu bahasa) karena merasa lebih baik diam daripada buang-buang energy untuk marah-marah karena berprinsip toh semuanya juga turut merasakan. Sama seperti panasnya sinar matahari yang dirasakan oleh semua orang. Paling tidak, ini adalah satu tindakan bijak yang didasari oleh pengertian akan kondisi (walaupun sebenarnya jauh di dalam batin dan relung hatinya juga �menangis). Selain itu, satu tindakan positif lainnya adalah bersyukur, pasrah dan berserah. Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa rasa syukur, kepasrahan dan penyerahan diri yang diharapkan dalam kondisi seperti ini?
Pertanyaan seperti itu adalah hal yang sangat manusiawi. Masihkah bisa bersyukur kalau harga-harga terus naik sementara hanya hujan yang terus turun dan menenggelamkan permukiman dan lahan pertanian, akses jalan, perkantoran dan pusat kegiatan ekonomi yang menjadi �gantungan dan sandaran hidup� Masih layakkah bersyukur kalau tidak ada jawaban pasti (saat ini masih diselidiki oleh BPOM) atas berita bahwa susu formula tercemar bakteri sakka zakki. Belum cukupkah warga Porong korban lumpur Lapindo terlunta-lunta dan hidup dalam ketidakpastian dalam segala hal? Atau, haruskah kita pasrah ketika Negara melakukan kesalahan dengan mengambil alih pembiayaan pembayaran ganti untung (? Yang benar tidak diganti tetapi malah buntung!) dengan mengambil uang rakyat-APBN! Lalu, apakah kita harus terus bersyukur dan pasrah ketika wakil-wakil rakyat (anggota DPR RI) yang secara kebablasan menyatakan, dengan mengacu kepada pendapat beberapa ahli geologi, lumpur Porong adalah murni bencana alam dengan menafikan/menghilangkan fakta-fakta awal yang ditemukan ketika musibah ini baru terjadi. Ironisnya lagi, perilaku kebablasan tersebut justru dilakukan di luar kapasitas yang mereka miliki! Masihkah perlu bersyukur, pasrah dan berserah.

Aku Bersyukur Maka Aku Kuat
Dalam psikologi kita mengenal sebuah ungkapan cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Pun dalam kaitannya denga hal yang sekarang ini kita hadapi kita harus mengembangkan slogan �aku bersyukur maka aku kuat�. Pun begitu, slogan ini tidak hanya berhenti sebatas dikembangkan tetapi juga harus dihidupi dan dihidupkan dalam diri dan setiap sisi kehidupan kita. Bukan hal yang mudah memang. Sekalipun begitu, kita harus tetap mengupayakannya dengan sungguh-sungguh.
Penulis (saya) tahu betul tentang sulitnya menghidupkan dan menghidupi slogan ini. Sebagai gambaran, saya tidak malu mengatakan siapa dan bagaimana kondisi saya kepada Anda yang membaca tulisan ini bukan supaya Anda simpati atau kasihan-tidak sama sekali! Tetapi paling tidak, Anda bisa mengetahui bahwa saya tidak mengada-ada dan meuliskan hal-hal yang na�f karena saya adalah seorang yang bergelimang harta dan kekayaan. Mudah memang menulis hal-hal yang abstrak seperti bersyukur, pasrah dan berserah ketika kita dalam kondisi �aman� dan �nyaman� dari sisi financial. Secara umum berikut ini profil saya:
Saya bukan seorang pejabat, birokrat atau alat Negara yang dikelilingi dengan fasilitas dan kenyamanan tetapi seorang pustakawan di sebuah institute theologia di Kabupaten Malang.Anak saya dua- yang pertama 6 tahun dan satunya lagi 2.5 bulan (bulan Maret 2008). Untuk memenuhi kebutuhan hidup istri saya �terpaksa �. Kami tinggal di sebuah rumah tipe 36/68 yang harus kami angsur selama sepuluh tahun. Inilah profil saya dan kami sekeluarga. Tentunya Anda bisa membayangkan seperti apa kondisi Kami (secara materi memang Kami tidak memiliki banyak harta tetapi kami-saya, istri dan anak-anak saling memiliki). Tujuan saya menampilkan profil kami sekali lagi bukan untuk tujuan yang �aneh-aneh� apalagi yang �nganeh-nganehi� tetapi untuk bisa sharing sebagai sesama. Itu saja.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bukan tidak pernah mampir dalam pikiran kami. Seringkali, beberapa hal, membuat pertanyaan seperti itu dipaksa mampir dalam hidup kami. Ketika hal-hal semacam itu singgah, apalagi ditanyakan oleh anak kami, bukan hal mudah untuk menjawabnya. Keslitannya bukan pada menyusun kata dan argument tetapi memberikan teladan sebelum dan sesudah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh bibir mungil yang dilandasi oleh curiosity seorang anak kecil. Memberikan teladan bersyukur, berserah, dan berpasrah serta hidup di dalam dan dengannya memang perlu latihan yang terus menerus. Tepatlah satu pepatah dalam bahasa Inggris yang menyatakan Acts Sounds Louder than Words. Tidak perlu banyak omong memang, tetapi lebih perlu banyak bertindak dan berbuat.
Hidup bersyukur, berpasrah dan berserah memberikan kekuatan tersendiri untuk terus menjalani hidup yang semakin sulit ini. Apapun agama dan kepercayaan yang kita yakini semuanya pasti mengajarkan hal ini. Sebagai seorang Kristen saya dan keluarga belajar untuk mengerti apa yang disampaikan Raja Daud dalam kitab Mazmur/zabur. Satu ayat dalam kitab ini mengaatakan �Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu.� Perkataan ini sulit (mengecap baru melihat) karena umunya kita manusia didik dalam budaya dan asuhan (lihat dulu baru rasakan/kecap). Mengecap berate merasakan kebaikan Tuhan yang diberikan kepada kita-termasuk mengizinkan ujian mendatangi kita. Dengan mengecap/melihat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan akan membuat kita bisa bersyukur karena telah merasakan semua kebaikan Tuhan. Dengan bersyukur, kita akan bisa menjalani hidup dengan lebih baik karena Tuhan memberikan hidayahNya kepada kita. Bersungut-sungut, hanya akan menutup mata hati dan jasmani kita tidak bisa melihat dan merasakan hidayah yang diberikan Tuhan. Ketidakmampuan untuk melihat dan mersakan hidayah yang diberikan Tuhan ini hanya akan semakin membuat kita merasa sebagai manusia yang ditinggalkan oleh Tuhan, tidak dikasihi dan dibiarkan menderita dan menanggung sengsara.

Pasrah Itu Produktif!
Nerimo ing pandum (pasrah), ungkapan Jawa, tidak boleh kita terjemahkan sebagai kepasrahan yang pasif. Nerimo ing pandum tetap mengandung arti berserah kepada Tuhan sembari melakukan usaha yang produktif dan benar dimata Gusti Allah. Dalam usaha produktif yang kita lakukan, kita menyerahkan segala sesuatunya dumateng ngarsanipun Gusti Allah. Singkatnya, ungkapan Jawa tersebut tidak meminta kita menjadi manusia yang pasif tetapi justru mengajak kita menjadi manusia yang rajin dan terus memandang kepada Tuhan dalam segala yang kita lakukan karena kita ini adalah makhluk yang terbatas. Bukankah, Gusti Allah juga tidak senang dengan umat yang pasif seperti dikatakan dalam Alquran,� Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya (mohon maaf jika kutipan ini tidak sama persis dengan ayat yang ada). Mudahnya, pasrah yang benar adalah pasrah yang bertindak dan berbuat sesuatu yang benar.
Jika dikaitkan dengan masalah yang sedang kita hadapi saat ini�harga-harga yang menggila, nasib korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung, dirampasnya uang rakyat (APBN) untuk membiayai bencana lumpur Lapindo (yang ini tentunya secara sepihak melalui pembenaran-pembenaran sepihak juga), kita harus tetap ngupoyo. Ngupoyo kita kali ini memang tidak mudah karena faktanya semua dan setiap upaya yang dialkukan dan disalurkan ke saluran-saluran yang seharsnya juga sudah buntu. Berteriak-teriak di jalanan dan menduduki gedung dewan juga tidak membuahkan hasil. Celakanya lagi, anggota dewan yang katanya representasi rakyat juga terpecah suarnya ketika memperjuangkan korban bencana Lapindo. Justru mabuk yang mereka (tidak semua) sepakati adalah menyatakan lumpur Lapindo sebagai bencana (force majeur) bukan human error. Ternyata nama sebagai wakil rakyat hanya tinggal nama dan sebatsa slogan untuk mencari popularitas menjelang PEMILU/Pilkada(L) dsb. Bagaimana mungkin disebut wakil rakyat kalau memperjuangkan nasib warga porong yang jelas-jelas menderita karena lumpur lapindo dan jumlahnya hanya beberapa puluh ribu jiwa saja enggan. Apakah rumah rakyat namanya kalau gedung dewan pagarnya dibuat setinggi benteng?
Mau tidak mau, ngupoyo kita kali ini lebih bisa diarahkan kepada gerakan moral (walaupun nyatanya lebih banyak yang tidak�.) karena masih ada pihak-pihak yang bersimpati dengan penderitaan rakyat dan bangsanya. Namun demikian, yang perlu kita waspadai adalah munculnya pinulung awu-awu alias penolong palsu yang mengatakan begini begitu dan akan melakukan ini itu untuk rakyat. Nama dan bajunya macam-macam. Jangan kita mudah terkena rayuan maut gombalnya. Sudah banyak bukti. Sekarang pun kita sedang merasakan pahitnya ujung rayuan gombal yang dulu dijual dengan kemasan yang luar biasa bagus dan menarik. Mungkin inilah upoyo yang bisa kita lakukan. Saya, Anda dan kita semua tentu sadar bahwa ketika kita berharapa pada manusia hanya kekecewaan yang kita jumpai. Namun demikian, bersyukur, berpasrah, berserah dan ngupoyo harus tetap kita lakukan bagaimanapun sulitnya. Mari kita yakin bahwa Gusti Allah tidak buta dan menutup telinganya untuk jeritan umatNya yang benar-benar butuh pertologan. Waktu Tuhan bukan waktu kita. Yang kita butuhkan adalah sabar dan tawakal menunggu waktu Tuhan itu. Ya paling tidak, aku, kamu dan korban lumpur Lapindo bisa menahan diri untuk tetap berserah, pasrah, berserah sambil ngupoyo yang produktif. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjadi antara aku, kamu dan bekas pacarmu yang sama-sama sakit hati. Monggo sami-sami ndedonggo!

Antara Aku, Kamu dan Korban Lumpur Lapindo

Getting What You Don�t Want
Kadang bahkan seringkali orang harus kecewa, dongkol, dan marah karena perbuatan orang lain. Tidak ada sesuatu yang salah yang kita lakukan tetapi justru tindakan dan perbuatan orang lainlah yang justru membuat kita terpaksa merasakan hal-hal seperti yang disebutkan di atas. Benarlah apa kata pepatah tua Jawa,�Ora mangan nangkane gupak pulute (Tidak ikut makan nangkanya kena getahnya).� Kadang seperti itulah hidup ini. Selalu mengharap yang baik tetapi justru beberapa hal yang tidak baik yang kita terima. Namun begitu, hal-hal seperti itu memang kadang harus kita terima dengan tetap tersenyum (walaupun berat) dan dinikmati. Enjoy aja!
Beberapa waktu yang lalu, ketika mengecek blog http//ivriel.multiply.com , saya begitu terkejut karena ada banner cukup besar yang nangkring di caption/head blog saya. Bagi saya banner itu sukup dan sangat menganggu. Bagaimana tidak, karena yang ditampilkan adalah iklan cewek bispak. Dongkol pastinya saya waktu itu. Akan tetapi, setelah saya piker lebih dalam dan jauh plus disharingkan dengan beberapa teman, reaksi mereka�tertawa justru membuat saya sedikit �terhibur �. Terhibur dalam pengertian, sikap mereka yang membuat saya terhibur bukan biang masalah banner itu. Pertanyaan saya waktu itu, �kok ada yang ketawa?� Karena sikap orang yang cenderung positif, saya pun terbawa berpikiran positif menyikapinya. Saya hanya bisa bergumam,�Ah, biarlah, kan nanti ada waktunya banner itu hilang denga n sendirinya (atau ada pembaca yang mau bantu saya menunjukkan cara menghilangkan banner nakal itu?) toh saya sama sekali tidak memasangnya dan mendukung yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempublish banner itu. Beginilah, kalau pake gratisan!

Aku, Kamu,dan Korban Lumpur Lapindo; Kita Semua Sama
Peristiwa yang saya ceritakan di atas cukup membuat saya dongkol, marah sekaligus geli. Perasaan yang terakhir (geli) karena ada pihak-pihak yang saya nilai mengusik �urat geli� saya ketika menanggapi apa yang saya ceritakan. Intinya adalah, peristiwa yang saya alami kecil dan remeh. Saya tidak keluar duit sepeserpun untuk buat blog, gak ikut memelihara. Yang saya lakukan hanya mulis dan mempublishnya di blog gratisan itu. Selesai. Sederhana sekali. Oleh karena itu, tidak cukup alasan bagi saya untuk terus dan berlama-lama merasa dongkol apalagi marah. Tidak ada untungnya.
Kalau yang saya alami berkaitan dengan blog itu sangat kecil arti dan nilainya, beberapa hal yang saat ini kita alami justru sangat besar dan mendasar , menurut saya. Bagaimana tidak? HArga-harga yang semakin menggila (siapa yang salah) bukan hanya membuat ibu, kakak perempuan atau istri kita kelabakan. Kita pun (sebenarnya) ikut pusing. Kalau hampir setiap hari jantung para ibu dan istri dibuat berdetak kencang karena fluktuasi harga yang tidak menentu sementara uang belanja tetap tidak ada penambahan karena gaji para suami umumnya juga tidak bertambah, para suami atau tulang punggung keluarga pun sebenarnya juga �pusing�. Kami, para suami, selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan penghasilan tambahan dengan tidak mengorbankan keluarga.
Banyak cara yang dilakukan orang untuk meluapkan kemarahan dan kekecewaannya menyikapi hal-hal yang tidak pasti ini. Ada yang mudah �terpancing dan meradang�. Ada yang lebih suka topo bisu (diam seribu bahasa) karena merasa lebih baik diam daripada buang-buang energy untuk marah-marah karena berprinsip toh semuanya juga turut merasakan. Sama seperti panasnya sinar matahari yang dirasakan oleh semua orang. Paling tidak, ini adalah satu tindakan bijak yang didasari oleh pengertian akan kondisi (walaupun sebenarnya jauh di dalam batin dan relung hatinya juga �menangis). Selain itu, satu tindakan positif lainnya adalah bersyukur, pasrah dan berserah. Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa rasa syukur, kepasrahan dan penyerahan diri yang diharapkan dalam kondisi seperti ini?
Pertanyaan seperti itu adalah hal yang sangat manusiawi. Masihkah bisa bersyukur kalau harga-harga terus naik sementara hanya hujan yang terus turun dan menenggelamkan permukiman dan lahan pertanian, akses jalan, perkantoran dan pusat kegiatan ekonomi yang menjadi �gantungan dan sandaran hidup� Masih layakkah bersyukur kalau tidak ada jawaban pasti (saat ini masih diselidiki oleh BPOM) atas berita bahwa susu formula tercemar bakteri sakka zakki. Belum cukupkah warga Porong korban lumpur Lapindo terlunta-lunta dan hidup dalam ketidakpastian dalam segala hal? Atau, haruskah kita pasrah ketika Negara melakukan kesalahan dengan mengambil alih pembiayaan pembayaran ganti untung (? Yang benar tidak diganti tetapi malah buntung!) dengan mengambil uang rakyat-APBN! Lalu, apakah kita harus terus bersyukur dan pasrah ketika wakil-wakil rakyat (anggota DPR RI) yang secara kebablasan menyatakan, dengan mengacu kepada pendapat beberapa ahli geologi, lumpur Porong adalah murni bencana alam dengan menafikan/menghilangkan fakta-fakta awal yang ditemukan ketika musibah ini baru terjadi. Ironisnya lagi, perilaku kebablasan tersebut justru dilakukan di luar kapasitas yang mereka miliki! Masihkah perlu bersyukur, pasrah dan berserah.

Aku Bersyukur Maka Aku Kuat
Dalam psikologi kita mengenal sebuah ungkapan cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Pun dalam kaitannya denga hal yang sekarang ini kita hadapi kita harus mengembangkan slogan �aku bersyukur maka aku kuat�. Pun begitu, slogan ini tidak hanya berhenti sebatas dikembangkan tetapi juga harus dihidupi dan dihidupkan dalam diri dan setiap sisi kehidupan kita. Bukan hal yang mudah memang. Sekalipun begitu, kita harus tetap mengupayakannya dengan sungguh-sungguh.
Penulis (saya) tahu betul tentang sulitnya menghidupkan dan menghidupi slogan ini. Sebagai gambaran, saya tidak malu mengatakan siapa dan bagaimana kondisi saya kepada Anda yang membaca tulisan ini bukan supaya Anda simpati atau kasihan-tidak sama sekali! Tetapi paling tidak, Anda bisa mengetahui bahwa saya tidak mengada-ada dan meuliskan hal-hal yang na�f karena saya adalah seorang yang bergelimang harta dan kekayaan. Mudah memang menulis hal-hal yang abstrak seperti bersyukur, pasrah dan berserah ketika kita dalam kondisi �aman� dan �nyaman� dari sisi financial. Secara umum berikut ini profil saya:
Saya bukan seorang pejabat, birokrat atau alat Negara yang dikelilingi dengan fasilitas dan kenyamanan tetapi seorang pustakawan di sebuah institute theologia di Kabupaten Malang.Anak saya dua- yang pertama 6 tahun dan satunya lagi 2.5 bulan (bulan Maret 2008). Untuk memenuhi kebutuhan hidup istri saya �terpaksa �. Kami tinggal di sebuah rumah tipe 36/68 yang harus kami angsur selama sepuluh tahun. Inilah profil saya dan kami sekeluarga. Tentunya Anda bisa membayangkan seperti apa kondisi Kami (secara materi memang Kami tidak memiliki banyak harta tetapi kami-saya, istri dan anak-anak saling memiliki). Tujuan saya menampilkan profil kami sekali lagi bukan untuk tujuan yang �aneh-aneh� apalagi yang �nganeh-nganehi� tetapi untuk bisa sharing sebagai sesama. Itu saja.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bukan tidak pernah mampir dalam pikiran kami. Seringkali, beberapa hal, membuat pertanyaan seperti itu dipaksa mampir dalam hidup kami. Ketika hal-hal semacam itu singgah, apalagi ditanyakan oleh anak kami, bukan hal mudah untuk menjawabnya. Keslitannya bukan pada menyusun kata dan argument tetapi memberikan teladan sebelum dan sesudah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh bibir mungil yang dilandasi oleh curiosity seorang anak kecil. Memberikan teladan bersyukur, berserah, dan berpasrah serta hidup di dalam dan dengannya memang perlu latihan yang terus menerus. Tepatlah satu pepatah dalam bahasa Inggris yang menyatakan Acts Sounds Louder than Words. Tidak perlu banyak omong memang, tetapi lebih perlu banyak bertindak dan berbuat.
Hidup bersyukur, berpasrah dan berserah memberikan kekuatan tersendiri untuk terus menjalani hidup yang semakin sulit ini. Apapun agama dan kepercayaan yang kita yakini semuanya pasti mengajarkan hal ini. Sebagai seorang Kristen saya dan keluarga belajar untuk mengerti apa yang disampaikan Raja Daud dalam kitab Mazmur/zabur. Satu ayat dalam kitab ini mengaatakan �Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu.� Perkataan ini sulit (mengecap baru melihat) karena umunya kita manusia didik dalam budaya dan asuhan (lihat dulu baru rasakan/kecap). Mengecap berate merasakan kebaikan Tuhan yang diberikan kepada kita-termasuk mengizinkan ujian mendatangi kita. Dengan mengecap/melihat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan akan membuat kita bisa bersyukur karena telah merasakan semua kebaikan Tuhan. Dengan bersyukur, kita akan bisa menjalani hidup dengan lebih baik karena Tuhan memberikan hidayahNya kepada kita. Bersungut-sungut, hanya akan menutup mata hati dan jasmani kita tidak bisa melihat dan merasakan hidayah yang diberikan Tuhan. Ketidakmampuan untuk melihat dan mersakan hidayah yang diberikan Tuhan ini hanya akan semakin membuat kita merasa sebagai manusia yang ditinggalkan oleh Tuhan, tidak dikasihi dan dibiarkan menderita dan menanggung sengsara.

Pasrah Itu Produktif!
Nerimo ing pandum (pasrah), ungkapan Jawa, tidak boleh kita terjemahkan sebagai kepasrahan yang pasif. Nerimo ing pandum tetap mengandung arti berserah kepada Tuhan sembari melakukan usaha yang produktif dan benar dimata Gusti Allah. Dalam usaha produktif yang kita lakukan, kita menyerahkan segala sesuatunya dumateng ngarsanipun Gusti Allah. Singkatnya, ungkapan Jawa tersebut tidak meminta kita menjadi manusia yang pasif tetapi justru mengajak kita menjadi manusia yang rajin dan terus memandang kepada Tuhan dalam segala yang kita lakukan karena kita ini adalah makhluk yang terbatas. Bukankah, Gusti Allah juga tidak senang dengan umat yang pasif seperti dikatakan dalam Alquran,� Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya (mohon maaf jika kutipan ini tidak sama persis dengan ayat yang ada). Mudahnya, pasrah yang benar adalah pasrah yang bertindak dan berbuat sesuatu yang benar.
Jika dikaitkan dengan masalah yang sedang kita hadapi saat ini�harga-harga yang menggila, nasib korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung, dirampasnya uang rakyat (APBN) untuk membiayai bencana lumpur Lapindo (yang ini tentunya secara sepihak melalui pembenaran-pembenaran sepihak juga), kita harus tetap ngupoyo. Ngupoyo kita kali ini memang tidak mudah karena faktanya semua dan setiap upaya yang dialkukan dan disalurkan ke saluran-saluran yang seharsnya juga sudah buntu. Berteriak-teriak di jalanan dan menduduki gedung dewan juga tidak membuahkan hasil. Celakanya lagi, anggota dewan yang katanya representasi rakyat juga terpecah suarnya ketika memperjuangkan korban bencana Lapindo. Justru mabuk yang mereka (tidak semua) sepakati adalah menyatakan lumpur Lapindo sebagai bencana (force majeur) bukan human error. Ternyata nama sebagai wakil rakyat hanya tinggal nama dan sebatsa slogan untuk mencari popularitas menjelang PEMILU/Pilkada(L) dsb. Bagaimana mungkin disebut wakil rakyat kalau memperjuangkan nasib warga porong yang jelas-jelas menderita karena lumpur lapindo dan jumlahnya hanya beberapa puluh ribu jiwa saja enggan. Apakah rumah rakyat namanya kalau gedung dewan pagarnya dibuat setinggi benteng?
Mau tidak mau, ngupoyo kita kali ini lebih bisa diarahkan kepada gerakan moral (walaupun nyatanya lebih banyak yang tidak�.) karena masih ada pihak-pihak yang bersimpati dengan penderitaan rakyat dan bangsanya. Namun demikian, yang perlu kita waspadai adalah munculnya pinulung awu-awu alias penolong palsu yang mengatakan begini begitu dan akan melakukan ini itu untuk rakyat. Nama dan bajunya macam-macam. Jangan kita mudah terkena rayuan maut gombalnya. Sudah banyak bukti. Sekarang pun kita sedang merasakan pahitnya ujung rayuan gombal yang dulu dijual dengan kemasan yang luar biasa bagus dan menarik. Mungkin inilah upoyo yang bisa kita lakukan. Saya, Anda dan kita semua tentu sadar bahwa ketika kita berharapa pada manusia hanya kekecewaan yang kita jumpai. Namun demikian, bersyukur, berpasrah, berserah dan ngupoyo harus tetap kita lakukan bagaimanapun sulitnya. Mari kita yakin bahwa Gusti Allah tidak buta dan menutup telinganya untuk jeritan umatNya yang benar-benar butuh pertologan. Waktu Tuhan bukan waktu kita. Yang kita butuhkan adalah sabar dan tawakal menunggu waktu Tuhan itu. Ya paling tidak, aku, kamu dan korban lumpur Lapindo bisa menahan diri untuk tetap berserah, pasrah, berserah sambil ngupoyo yang produktif. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjadi antara aku, kamu dan bekas pacarmu yang sama-sama sakit hati. Monggo sami-sami ndedonggo!

Minggu, 24 Februari 2008

Man of God: Calling or Profession?

Hamba Tuhan: Panggilan atau Profesi?

Hamba Tuhan, panggilan atau profesi? Itulah pertanyaan yang belakangan ini muncul dibenak saya ketika membaca bagian akhir dari satu paragraph pendek dalam buku ”Konsep Karakter Kompetensi Kepmimpinan Kristen” yang ditulis oleh Sendjaya dan ditebitkan oleh Kairos Yogyakarta. Begini petikan paragraph tersebut:
Jadi, panggilan Allah tidak hanya terbatas pada panggilan menjadi Hamba Tuhan penuh waktu (ordained minister). Panggilan Allah dating kepada setiap kita dan manifestasinya terjadi di setiap profesi, meskipun calling tidak bisa direduksi menjadi profesi.
Bagian terakhir--calling tidak bisa direduksi menjadi profesi, adalah statement yang menurut saya, sebagai orang awam sangat menarik jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah Hamba Tuhan (man of God) itu panggilan atau profesi? Pertanyaan ini sangat menarik untuk direnungkan karena batas antara panggilan dan profesi seringkali tidak jelas dan bisa “menjebak” seseorang ke dalam lingkaran setan yang tidak berujung pangkal.

Panggilan atau Profesi ?
Tidak terlalu mudah memang untuk mengatakan apakah Hamba Tuhan adalah panggilan ataukah sebuah profesi. Jika kita membatasi profesi dari atau dengan sudaut pandang kamus besar Bahasa Indonesia, profesi, maknanya adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh suatu keahlian tertentu. Namun demikian, batasan praksis cenderung menambahkan satu unsur ke dalam definisi profesi –untuk mendapatkan sesuatu dari profesi/pekerjaan yang dilakukan. Memang ini adalah batasan praksis. Artinya, secara praktis, orang berharap untuk bisa to earn something atau to make money dengan melakukan pekerjaannya. Ini adalah hal yang wajar.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Hamba Tuhan masuk dalam kategori ini-profesi. Jawabannya bisa “ya” atau “tidak”. Pengertiannya, menurut saya sebagai seorang awam, “ya” dalam pengertian bahwa pada akhirnya, ketika seseorang yang telah ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu untuk melayani jemaat (?) maka ia pastilah masuk ke dalam lingkungan “dunia kerja” yang di dalamnya ada aturan-aturan dan norma-norma. Mau tidak mau, Hamba Tuhan dalam arti sempit (orang yang ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu di lingkungan yang terbatas-gereja) harus mengikuti jadwal kegiatan, peraturan-peraturan sinodal dan hal-hal lainnya seperti mengikuti perkumpulan profesi dan harus melakukan sesuai dengan apa yang digariskan (dituntut) oleh jemaat/majelis. Rutinitas semacam inilah yang bisa dijadikan sebagai indicator untuk mengacu Hamba Tuhan sebagai profesi.
Lalu bagaimana dengan criteria yang kedua—to make money? Ini memang gampang-gampang susah. Gampang dalam pengertian sudah sepantasnya dan seharusnya jika gereja atau jemaat memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan yang telah digariskan oleh organisasi-Sinode . Naif dan tidak adil kalau jemaat/gereja melalui majelis memberikan beban dan tuntutan tinggi kepada Hamba Tuhan sementara mereka (gereja/jemaat) hanya mau membayar rendah atau ala kadarnya. Yang ini keterlaluan!
Dalam hubungannya dengan making money, ada kasus-kasus yang ironisnya dilakukan oleh oknum-oknum Hamba Tuhan yang justru membuat orang lain menilai apa yang dilakukannya (tugas kependetaan) hanyalah sebuah profesi yang dijadikan alat untuk memakmurkan diri sendiri dengan memperalat Alkitab. Jangan pernah katakana ini tidak ada! Berapa banyak Hamba Tuhan yang selalu bertanya fasilitas apa yang akan diberikan, perpuluhannya masuk mana (untuk gereja-gereja tertentu perpuluhan memang menjadi sumber pendapatan gembala), basah keringnya posisi (tentunya dengan cara yang diplomatis). Hal-hal semacam ini merupakan reduksi panggilan. Artinya, oknum-oknum tertentu dengan sendirinya mereduksi panggilannya. Jika ini yang terjadi, bukan orang lain yang menjadikan Hamba Tuhan sebagai profesi (karena seringkali pembelaan yang dilontarkan adalah jemaat/majelislah yang membuat Hamba Tuhan sebagai profesi dan seorang Hamba Tuhan menjadi seorang professional).
“Tidak” sebagai jawaban untuk pertanyaan apakah Hamba Tuhan terkategori sebagai profesi bukanlah jawaban tanpa dasar. Dalam sebuah perbincangan denga beberapa mahasiswi tentang hal ini, mereka menyatakan bahwa Hamba Tuhan adalah panggilan. Memang, menurut mereka, realitas di lapangan menunjukkan adanya pergeseran dari panggilan ke profesi. Materi, fasilitas dan kenyamanan kerap kali membuat seseorang tergoda dan akhirnya jatuh ke dalam jurang materialisme berbalut baju dan jubah kependetaan dan pelayanan. Pun begitu, hal-hal semacam ini hanyalah kasus (tapi cukup signifikan dampaknya!) dan tidak bisa dijadikan standar untuk sebuah jastifikasi bahwa Hamba Tuhan adalah profesi.
Lalu apakah sebenarnya panggilan itu? Masih dari pembicaraan dengan beberapa rekan mahasiswa saya simpulkan bahwa panggilan adalah suara dari Allah yang meminta seseorang untuk melakukan tugas-tugas kenabian untuk menggembalakan umat manusia dan membawanya kepada Kristus sang juru selamat. Memang, cara dan media yang dipakai Allah untuk memanggil seseorang untuk menjadi hambaNya (dalam arti sempit Hamba Tuhan ) sangatlah beragam. Power dari panggilan itu sendiri pun beragam. Inti dari jawaban Hamba Tuhan bukan profesi adalah bagaimanapun kondisinya, sesulit apapun keadaannya, panggilan Allah adalah tetap panggilan. Panggilan ini pula yang oleh manusia sering kali dilembagakan sebagai sebuah profesi. Hamba Tuhan adalah panggilan walaupun secara praktis, karena berada dan beroperasi di lingkup organisasi (gereja, universitas, dsb), membuat seolah-olah panggilan itu menjadi sebuah profesi. Dalam kasus ini, sebenarnya tidak pernah terjadi reduksi panggilan. Yang terjadi adalah penaungan. Profesi menaungi panggilan karena alasan organisasionil. Satu hal yang perlu ditekankan, berkaitan dengan jawaban ini adalah, Hamba Tuhan adalah (tetap) panggilan tetapi Hamba Tuhan harus bertindak professional!

Hamba Tuhan Terdikotomi?
Dikotomi Hamba Tuhan sebagai profesi dan panggilan memang sangat dihindarkan pada kehidupan masa kini. Dikotomi ini seringkali mengarahkan kepada perdebatan tentang boleh tidaknya Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Ada beragam sikap dan pandangan tentang hal ini. Yang pro mengatakan Hamba Tuhan tidak boleh berbisnis. Statement ini disertai dengan argument-argumen dan ayat-ayat Alkitab yang mendukung (dijadikan pendukung). Sedangkan yang kontra menyatakan it’s ok Hamba Tuhan berbisnis. Statement ini tentunya juga di dukung oleh dan dengan berbagai argument. Perdebatan semacam ini memang seperti pertanyaan mana yang lebih dulu, telur atau ayam.
Sebagai seorang awam, saya berpendapat, baik-baik saja jika seorang Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Akan tetapi, kriterianya juga harus jelas. Jika jemaat memang terbukti secara obyektif belum bisa memberikan tunjangan hidup yang layak maka Hamba Tuhan bisa melakukan hal lain untuk menambah biaya pemenuhan kebutuhan keluarganya. Bagi yang kontra, hal semacam ini cenderung diartikan sebagai tidak mengandalkan dan beriman kepada Kristus. Ini sebenarnya adalah sebuah ketakutan besar. Yang kontra takut proses “mencari di tempat lain” bisa menggerogoti dan pada akhirnya menghilangkan panggilan kenabian seseorang. Ketakutan ini, bagi saya kurang beralasan. Bukankah tidak jarang orang-orang yang sudah berada dalam posisi mapan juga kehilangan panggilan. Bukankah Paulus, juga harus menjadi tukang tenda untuk menghidupi dirinya. Bagi Paulus, jauh lebih baik tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani. Apakah dengan berprofesi sebagai tukang tenda panggilan Paulus hilang? Tidak sama sekali! Intinya adalah, kita sendirilah yang paling mengetahui apakah panggilan kita sedang bergeser menjadi sebuah profesi dalam pengertian yang sempit karena berbagai alasan.

What Now
Jika kita bolak-balikkan pertanyaan, apakah Hamba Tuhan panggilan atau profesi ataukah profesi yang didasari oleh panggilan, jawabannya tentu sangat variatif. Tidak pernah salah kalau kita menyebut Hamba Tuhan sebagai profesi karena faktanya di dalam Kartu Tanda Penduduk yang ditulis adalah pekerjaan: Rohaniwan. Yang penting dan yang terutama adalah kita tidak terkungkung oleh pertanyaan-pertanyaan dan retorika-retorika yang diajukan oleh oranglain tentunya dengan alasan dan tujuannya sendiri-sendiri. Alasan dibalik pertanyaan semacam itu tidak selalu negative. Banyak juga orang yang menjadi sadar diri setelah kepadanya diajukan pertanyaan ini.
Yang terpenting bukan mana yang lebih besar dan utama, pakah profesi lebih besar dari panggilan ataukah sebaliknya. Yang utama adalah seberapa besar komitmen kita terhadap panggilan untuk menyuarakan panggilan dan seruan kenabian yang telah Allah berikan kepada kita. Selain itu, apakah semangat zaman yang semakin materialistis ini mampu mengaburkan bahkan menyimpangkan kita dari jalur dan jalan panggilan kita itu yang perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Berputar-putar dalam retorika hanya akan membuat kita terkungkung dan stagnan. Yang paling penting dan utama adalah bertindak mewujudkan panggilan! Act sounds louder than words.