Jumat, 18 April 2008

Sukses Instan Ala Idol

Setiap orang tentu mendabakan kesuksesan. Sukses dalam pengertian kaya, banyak uang, dipuja banyak orang, disegani dan dijadikan sebagai trend setter. Singkatnya, semua orang menganggap kemiskinan sebagai “kutuk” yang harus dihindari dan “dinajiskan”. Untuk menghindarinya, orang memakai beragam cara, dari yang konvensional berbau klenik seperti pesugihan sampai yang cara modern yang lebih rasional. Cara terbaru yang paling banyak ditawarkan belakangan ini adalah menjadi idol dadakan.
Acara pencarian bakat dibidang music sebenarnya bukan barang baru. Bintang radio dan televisi sudah ada , bahkan, jauh lebih dulu dari AFI, AFI Junior, Dangdut Mania, Indonesian Idol dan yang lainnya. Memang acara-acara semacam itu dalam kemasan lama (bintang radio dan televisi) relative tidak terdengar dibandingkan dengan program acara idol-idolan masa kini. Salah satu penyebab acara pencarian bakat model lama kurang terdengar adalah konvensional dan minimnya hadiah yang diberikan. Yang saya maksud konvensional adalah, seleksi peserta yang sangat ketat (berdasarkan kualitas) dan minimnya hadiah. Selain itu, factor bisa tidaknya muncul di TV bisa menjadi factor penentu acara semacam ini dalam kemasan masa kini lebih laku.
Pada dasarnya, hampir semua orang butuh publisitas. Tidak percaya? Orang-orang yang ikut dalam audisi acara semacam ini pada umunya memang ingin “adu nasib”. Adu nasib? Ya, sebenarnya banyak dari mereka yang sadar kemampuan vokalnya pas-pasan dan gak bakal masuk nominasi tetapi tetap saja mereka rawe-rawe rantas malu-malu belakangan. Ya, paling tidak sudah mencoba dan siapa tahu muncul di TV (walaupun untuk yang slendro). Buktinya, seringkali stasiun TV yang mengadakan acara ini justru menampilkan bagian-bagian dari audisi yang dipenuhi dengan ke-slendroan¬ para peserta. Ini yang seringkali membuat kita tertwa dan selanjutnya, pelan tapi pasti mulai keranjingan untuk mengikuti acara ini.

Mesin Uang
Acara semacam ini sebenarnya menjalankan dua tujuan. Yang pertama memang sungguh-sungguh mencari bibit-bibit muda yang potensial untuk dibina dan dikembangkan dan diorbitkan sebagai bintang pada masa yang akan datang. Hal ini dibuktikan dengan komentator/juri penilai yang diiplih untuk menyeleksi peserta audisi bukan orang-orang “kemaren sore” dan “ijo” di bidangnya. Mereka semua ciamik dan jempolan. The right man on the right place! Selain itu, klinik-klinik pembinaan juga disediakan untuk membina kontestan yang masuk keperingkat tertentu. Ini bukan upaya main-main dan anggrannya pun gede. Selanjutnya, pola-pola “pembinaan” untuk masa yang panjang pun juga sudah disiapkan untuk para artis baru. Ada sejumlah kontrak yang menunggu ketika mereka sukses menduduki peringkat tetrtentu. Siapa yang diuntungkan?
Selain menjalankan fungsi mencari dan membina bibit-bibit baru, acara semacam ini juga menjalankan fungsi bisnisnya. Mesin uang. Fungsi ini bisa dengan jelas kita lihat dari adanya pemilihan bintang melalui sms. Tarifnya pun tidak murah-2000/sms. Namun celakanya, fungsi inilah yang seringkali lebih menonjol dan kadang-kadang menyakitkan hati. Menyakitkan hati karena sms yang berkuasa menentukan baik tidak dan layak tidaknya seseorang menjadi bintang. Saya tidak akan pernah mangatakan hal ini sebagai vox populi Dei. Saya lebih senang menyebutnya vox populi vok. Carilah arti kata ini, maka saudara tidak akan pernah menemukannya. Saya bermaksud mengatakan bahwa acara sms-an itu menjadi “tuhan” karena sms adalah juri dan yang di studio (para komentator) tidak berhak dan layak menjadikan seseoarang atau beberapa orang sebagai bintang berdasarkan penilaian yang obyektif. Sekali lagi sms kuasa!
Contoh lain dari dominannya fungsi ini saya lihat dalam acara idola cilik. Setelah sampai babak dua belas besar, sepakat dengan suara bulat untuk menampilkan kembali atau menambah kategori menjadi 16 besar. Alasannya, ada anak-anak yang memang berpotensi harus pulang kampong karena dipulangkan oleh sms. Sampai titik itu saya sepakat. Sepakat karena memang mereka yang dipaksa pulang kampong memang berkualitas tapi “kalah nasib”. Ya itu tadi, sms kuasa.
Simpati saya menjadi berubah ketika pada satu titik lagi komentator bersepakat bulat lagi untuk menampilkan peserta yang tereliminasi dengan hak dan yang sama dengan peserta lainnya yang sudah melalui penyaringan tahap pertama (suara bulat yang pertama). Ini yang saya rasa tidak adil. Jelas-jelas fungsi bisnis yang dijalankan. Buktinya, penonton terus dirangsang untuk mengirimkan sms. Bisa dihitung bukan berapa penghasilan dari sms untuk satu kali tayang.
Forum sms-an semacam ini juga tidak salah. Tidak salah karena acara ini, mulai dari seleksi yang kebanyakan dilakukan dengan cara road show sampai tayang butuh biaya. Salah satu sumber biayanya adalah dari sini selain dari iklan dan lisensi atas album yang dibuat. Yang tidak benar adalah ketika komentator/juri (?) tidak mempunyai kewenangan apapapun untuk menentukan siapa bintang yang sebenarnya. Sudah menjadi rahasia umum dan kecenderungan manusia adalah adanya keterikatan emosional dengan orang-orang yang se-daerah. SMS dikirm bukan lagi karena kualitas penyanyi tetapi karena konco dewe. Apalagi kalau para pejabat daerah –bupati, walikota, camat sampai RT ikut-ikutan member pernyataan dukungan yang secara tidak langsung merupakan “instruksi” terselubung bagi mereka yang atinggal di suatu wilayah untuk memilih. Sekali lagi, walaupun tidak semua, factor keterikatan asali/daerahlah yang berbicara.

Baik atau Buruk?
Pertanyaan di atas siafatnya etis. Kalau anda menanyakan hal itu kepada saya, saya akan menjawab dua-duanya. Dua-duanya? Ya. Baik dalam pengertian memang acara semacam ini bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari bibit-bibit baru yang berkualitas dalam dunia tarik suara bukan tarik urat leher. Ikut saja audisinya. Tidak baik dalam pengertian ada mekanisme-mekanisme yang harus diubah. SMS bukan ‘tuhan”. Kualitas seseoarang bukan ditentukan oleh sms. Fungsi komentator harus diganti menjadi fungsi juri. Juri yang mempunyai kekuasaan dan keleluasaan untuk memberikan penilaian layak tidaknya seseorang dinobatkan menjadi bintang. Ini memang sulit dan mungkin kontraproduktif dari sisi pendapatan. Kalau fungsi ini dijalankan, bukan tidak mungkin, aliran sms akan menjadi lebih seret. Namun begitu, masyarakat harus didik untuk menilai berdasarkan kualitas bukan sentiment kedaerahan. Bintang sejati adalah bintang yang timbul dan muncul karena penilaian bintang bukan penilaian pasar. Bergantung kepada pasar memang menguntungkan dari sisi bisnis tetapi tidak akan pernah menciptakan bintang yang sejati. Menjadikan pasar sebagai acauan untuk memilih bintang hanya akan melahirkan bintang karbitan.
Keberanian untuk mengalih fungsikan komenatator menjadi juri pada awalnya memang sulit. Akan tetapi, setelah masayarakat tahu bagaimana penilaian proporsional yang menghasilkan bintang-bintang yang berkualitas akan membuat masyarakat menghargai seseoarang dari kualitasnya bukan asal daerahnya. Yang sekarag terjadi adalah banyak sekali artis-artis penyanyi dadakan dan karbitan. Yang berhasil di duia sinetron dengan rakusnya banting setir ke dunia tarik suara walaupun kemampuan yang dimiliknya adalah kemampuan berbunyi bukan bernyanyi. Ini kan yang sekarang terjadi?

Apakah Idol(a) Jalan untuk Lepas dari Kemiskinan?
Idol dan menjadi idola memang bisa dijadikan sebagai alternative untuk lepas dari kutuk kemiskinan. Akan tetapi, seoarang idola sejati yang bisa melepaskan diri dari kutuk kemiskinan adalah idola yang besar karena proses yang benar dan teruji oleh waktu di bwah asuhan dan pembinaan dari pihak-pihak yang benar. Apalah artinya benyak uang untuk sesaat tetapi mental dan kualitas sebagai idola sejati tidak pernah dimiliki.
Lepas dari kutuk kemiskinan memang harus kita upayakan dengan berbagai cara. Cara-cara yang baik dan benar di mata Tuhan dan sesama. Ada banyak cara yang baik dan benar. Rekan-rekan netter tentunya bisa menemukan sangat banyak tawaran di dunia maya. Namun begitu, berhati-hatilah dalam memilih. Seperi Anda, saya pun ingin lepas dari kutuk kemiskinan. Kaya dan miskin adalah cara bagaimana kita bersikap dan memandang materi dan fungsinya di dalam hidup kita. Apakah kita mengukur kekayaan sebagai satu-satunya ukuran kesuksesan kita ataukah nilai yang bisa kita berikan kepada orang lainlah adalah ukuran utamanya. Last but not least, menjadi seoarang kaya yang kaya hati jauh lebih baik daripada menjadi seoarang miskin yang miskin hati. Bagaimana pendapat anda?

Selasa, 15 April 2008

"Sukarno Arogan!"



AROGAN adalah sebuah kata yang cukup bisa membuat orang yang terkena atau menjadi tujuan lontaran kata ini merah telinga dan pada titik-titik tertentu merasa terhina. Reaksi semacam ini bisa terjadi karena secara umum khalayak memahami arti kata ini mengacu kepada sesuatu/ sikap negative—sombong, angkuh. Inilah yang terjadi dengan Ahmad Dhani ketika dia melontarkan satu kalimat pendek seperti dia atas untuk menyebut Bung Karno. AROGAN, adalah biang munculnya reaksi keras dari Sukmawati , putri ketiga Bung Karno dan para Sukarnois yang merasa Dhani melalkukan contempt of National Figure.
Reaksi-reaksi semacam itu syah dan wajar-wajar saja. Sama halnya dengan wakil-wakil rakyat yang oleh Slank disebut sebagai mafia Senayan yang kerjanya buat peraturan…, yang merasa “gerah” dan bermaksud memperkarakan SLANK (tapi gak jadi, what happen, ayak naon). Para Sukarnois pun seperti itu. Mereka marah karena sosok yang mereka hormati dihinakan dengan sedemikian rupa oleh orang yang mengaku diri sebagai Sukarnois sejati (Dhani). Apapun reaksi yang ditunjukkan, paling tidak ada satu pertanyaan yang ada di kepala saya:”Benarkah Dhani melakukan contempt of National Figure dengan dan melalui kata yang diucapkannya—AROGAN?
Untuk membuktikan kebenaran hal tesebut, ada baiknya kita mulai melangkah dengan menyelidiki arti kata tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata ini sebagai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau kepongahan; keangkuhan. Khalayak berpendapat kata ini berkonotasi negative sehingga tidak layak untuk diaplikasikan kepada sosok Bung Karno. Memang, makna yang lebih menonjol dari kata ini adalah citra negatifnya. Namun begitu, apakah ini satu-satunya dasar yang dipakai untuk menilai dan menghakimi bahwa Dhani melakukan pelecehan terhadap Bung Karno? Tentu tidak.
Saya bukan penggemar Dani dan BoloDewo. So, tidak ada pretensi apapun untuk meringankan kemarahan dan ketidaksenangan Sukarnois terhadap Dhani karena apa yang diucapkannya—AROGAN. Yang saya lakukan di sini hanya berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran kenapa hal ini terjadi. Menurut saya, Dhani tidak melakukan penghinaan atau pelecehan setelah melihat dan menyimak penjelasannya terkait hal ini dalam acara SILET pada 15 April 2008. Dari penjelasan yang diberikannya, saya menyimpulkan bahwa yang terjadi adalah misunderstanding. Dhani kurang memahami makna kata ini yang sesungguhnya karena tertutup oleh over confidence­-nya.

SUKARNO BUKAN SEORANG AROGAN TETAPI GENTLEMAN


Ribut-ribut soal AROGANNYA Sukarno, justru mengarahkan saya untuk melihat kembali sosok dan kepemimpinan beliau walaupun saya tidak mengalami masa kepemimpinan beliau dan melihat kehidupan pribadinya secara langsung. Soekarno, bagi saya, bukan seorang yang arogan. Apalagi, kalau ukuran kearoganan itu hanya diberikan oleh seorang Ahmad Dhani untuk membela diri dan sikapnya yang memang arogan. Sokarno bukan Dhani! Begitu juga sebaliknya. Jauh bumi dari langit kalau Dhani hendak menyamakan dirinya dengan sosok Bapak Bangsa. Jauh dan masih sangat jauh!
Soekarno adalah seorang gentleman. Terlepas dari banyaknya kekurangan Soekarno sebagai manusia yang tidak sempurna seperti kita, dia adalah seorang gentleman dan pemimpin sejati. Ke-gentle-an Bapak bangsa ini bisa kita lihat ketika dia dengan berani mengahadpi tekanan-tekanan pihak musuh (penjajah) karena sikapnya yang keras untuk membawa bangsanya menuju kemerdekaan. Ketabahan menghadapi dan merasakan pengapnya bilik-bilik penjara dan sepinya pengasingan itulsh ysng membuatnya sebagai seorang yang gentle. Soekarno tahu betul apa yang dilakukannya dan betul-betul siap menghadapi konsekuensinya.
Sosoknya sebagai pemimpin sejati terbukti ketika dengan lanntang dan berani dia menyatakan:”Go to Hell with your aid” dan “Ganyang Malaysia,” ketika martabat dan kehormatan bangsanya terancam diinjak-injak oleh bangsa lain. Ini yang kurang bahkan tidak dimiliki oleh sebagian pemimpin nasional setelahnya.
Sebagai seorang pemimpin sejati, Soekarno mampu dan telah terbukti dan teruji oleh zaman, melepaskan diri dari godaan untuk memperkaya diri dengan memperkosa jabatan. Soekarno bukan pemimpin yang kemaruk dan haus harta. Dwi tunggal sejati—Soekarno dan Hatta adalah sosok pemimpin yang karena kesadaran dan ketulusan hatinya rela “kere” demi bangsanya. Berapa banyak pemimpin nasional setelah mereka yang mempunyai sikap seperti ini. Boro-boro rela “kere”, diminta menyerahkan daftar kekayaan saja sulitnya minta ampun.
Mengacu kepada sikap gentlenya ini, naïflah kalau Dhani berusaha menyamakan dirinya dengan sosok Sukarno. Sukarno bukan dan tidak arogan tetapi seorang gentleman sejati. Kalau Dhani…, tahu sendirilah. Sehebat dan sengetop apapun dia, Dhani tetaplah Dhani dan Soekarno adalah Soekarno yang kualitasnya sudah teruji dan terbukti melalui waktu dan sejarah. Bahaya memang kalau karena over confidence kita berbicara asal-asalan. Apalagi, kalau yang kita lakukan dan omongkan hanya untuk mendapatkan pembenaran atas sikap-sikap kita yang kurang simpatik. Anda sependapat dengan saya?

Selasa, 01 April 2008

SANTAI AYAT-AYAT CINTA SBY

Santai Ala SBY

Santai, rileks atau apapun namanya untuk menenangkan diri dan pikiran adalah hak setiap orang. Tidak ada yang bisa melarang seseoarang untuk bersantai, bersenang-senang , kumpul-kumpul atau gathering dengan siapa saja. Tuhan pun memerintahkan manusia untuk istirahat satu hari dalam seminggu. Itulah sebabnya kenapa hari minggu ada. Sekali lagi bersantai, gathering, nonton bareng adalah bagian melekat dari HAM. Akan tetapi, semuanya itu ada porsi dan tempatnya. “Hukum” ini berlaku untuk semua!
Ketika kita berbicara soal HAM, akan sangat baik kalau kita tidak hanya mengukur apalagi mengurung HAM itu dari perspektif kita. Hak kita yang ditonjolkan. Hak yang kita miliki bukanlah hak mutlak. Tidak mutlak dalam pengertian di kanan dan kiri hak kita ada hak orang lain. Tuntutan untuk mengerti hak dan kewajiban akan semakin besar ketika kita berada di posisi pucuk pimpinan. Presiden adalah pucuk pimpinan negeri ini. Dia tetap memiliki hak azasi sebagai seorang manusia. Akan tetapi, ketika hak itu dipergunakan secara salah, pastilah mengundang berbagai reaksi negative mulai dari bisik-bisik sampai dibuka blak-blakan did an oleh media.
SBY sebagai Bapak dan kepala rumah tangga negeri ini justru melakukan tindakan yang sangat tidak peka. Ketika anak-anaknya sibuk mencari-cari minyak tanah, gas elpiji yang tiba-tiba menghilang ataupun kalau ada harganya meroket dan menggila, dia sendiri malah mengajak teman-temannya dari negeri tetangga untuk NOBAR (Nonton Bareng) AAC (Ayat-Ayat Cinta). Luar biasa!! “BApak, kok tega-teganya berbuat seperti itu.”
Mungkin SBY mempunyai alasannya sendiri dan bisa memakai haknya azasinya untuk menjawab pertanyaan ini. “Kan sudah ada yang menangani hal ini, jangan semua diserahkan ke BApak. BApak ini juga manusia. Seperti kamu, Bapak juga bisa capek dan pingin santai.” Kalimat-kalimat seperti ini sangat manusiawi jika diucapkan. Memang sebagai manusia biasa presiden pun tetap manusia yang terbatas dan tidak bisa melakukan semua yang diminta rakyatnya. Sekali lagi ada benarnya seandainya SBY mengatakan hal ini karena pada dasarnya dan faktanya ia mempunyai banyak pembantu-para menteri yang sudah mempunyai job descriptionnya sendiri-sendiri tetapi masalahnya di sini adalah, SBY kurang peka!

Rakyat Butuh Tindakan
Sosok SBY sebagai Bapak yang selalu berusaha mengayomi anak-anaknya di seluruh penjuru negeri ini memang sudah sering kita lihat dan dengar. Seringkali hal itu diwujudkan dalam tindakan nyata dengan mendatangi korban bencana alam, ikut bermalam di lokasi bencana dsb. Tindakan ini merupakan wujud simpati dan empati (?) dari SBY atas penderitaan rakyatnya. Tindakan ini bagus. Tidak ada yang merasa tidak senang dengan tindakan seperti ini yang dilakukan dengan tulus. Akan tetapi, cukupkah semuanya ini?
Simpati dan empati atas penderitaan rakyat sekali lagi saya katakan sangat baik. Namun begitu, jika kedua hal ini (simpati dan empati) tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata apalah artinya. Ibaratnya, kalau sang anak menangis karena tangannya terluka, sang bapak hanya mengatakan,”cup…cup..nanti kan sembuh,” tentunya hal ini tidak cukup. Memang untuk sesaat anak bisa tenang tetapi sumber maslahnya tidak terobati. Kasus nyata lainnya mengenai hal ini adalah nasib korrban lumpur LAPINDO.
Untuk menyatakan simpati dan empatinya terhadap korban lumpur LAPINDO, SBY berinisiatif untuk ngantor di Juanda selama tiga hari. Selama tiga hari itu ia “berhasil” menekan LAPINDO untuk membayar ganti rugi (bukan ganti untung karena warga Porong benar-benar dirugikan) kepada warga Porong. Secara seremonial dan memang hal ini berhasil tetapi secara operasional hasilnya NOL BESAR! Bahkan, simpati dan empati yang pernah ditunjukkan oleh Bapak kita itu sekarang justru menjadi “racun” bagi warga Porong. SBY tetap tidak mau merevisi KEPRES yang mengesahkan pembayaran ganti rugi hanya kepada korban lumpur yang dipetakan sejak awal. Bukankah ini racun namanya kalau anak-anaknya yang saat ini menjadi korban baru luapan lumpur LAPINDO diputuskan untuk TIDAK MASUK kategori penerima ganti rugi. Karena apa? Karena wilayah mereka tidak masuk dalam peta yang dibuat sebelumnya. Hebat. Hebatnya lagi, dana untuk penanganan masalah Porong sekarang diambilkan dari APBN. Luar biasa (ngawurnya).
Rakyat saat ini tidak membutuhkan simpati, empati, angin surge atau sebutan-sebutan manis lainnya untuk merebut hati rakyat. Yang Kami butuhkan saat ini adalah tindakan nyata. Tangani hilangnya MITAN di pasaran, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, rencana gila untuk menerapkan program insentif dan disinsentif dalam pemakaian listrik yang sebenarnya hanya akal-akalan untuk menaikkan harga secara terselubung, benahi distribusi gas elpiji yang sekarang ini langka di pasaran dan harganya melambung. Kami butuh tindakan nyata. Kami tidak buth penjelasan macam-macam dengan membawa-bawa data statistic yang hanya membuat kami semakin pusing. Data itu tidak ada gunanya bagi kami karena pada kenyataannya angka-angka statistic yang selalu dijadikan patokan untuk mengatakan keberhasilan Bapak dan anak buah Bapak justru bertolak belakang dengan kondisi yang nyata. Retorika hanya berguna untuk dipakai di sekolah-sekolah tetapi pada tataran praktis tindakanlah yang dibutuhkan.


AAC OK, Tindakan Harus!
Menikmati tontonan karya anak bangsa dan mempromosikannya kepada rekan-rekan dari Negara sahabat syah-syah saja bahkan harus. Namun begitu, hal seperti ini nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan penderitaan rakyat saat ini. Mungkinkah kita, sebagai manusia yang berhati nurani dan terlebih sebagai seorang pemimpin , bisa menikmati kesenangan sementara rakyat yang kita pimpin menderita dan kebingungan. Ayat-ayat Cinta bukan prioritas untuk saat ini. Rakyat dan nasibnya adalah yang utama.
Sulit memang untuk bisa menempatkan hak kita secara proporsional ketika kita berada di posisi kepemimpinan. Tuntutan yang diberikan kepada seorang pemimpin jauh lebih besar dibandingkan dengan orang-orang biasa. Pun begitu, bukan berarti ini bisa dijadikan alasan untuk membela diri karena melakukan tindakan yang kurang dan tidak simpatik di tengah penderitaan rakyat. Sekali lagi bersantai dan bersenang-senang adalah hak bahkan Tuhanpun mengakuinya. Hak itu menjadi salah ketika diletakkan di tempat dan waktu yang salah. Melakukan tindakan nyata untuk mengurangi penderitaan rakyat adalah bentuk dari simpati dan empati yang produktif. Ini yang ditunggu banyak orang!

गन्यंग Pornografi

MENGGANYANG CYBER PORNOGRAFI: MUNGKINKAH?
“Bersedia, siap dan ya atau go,” kata ini seringkali kita dengar dalam berbagai kejuaraan atletik seperti oleh raga lari dengan berbagai variasinya-lari cepat, lari gawang, danlari estafet. Kata-kata itu adalah aba-aba pengarah bagi atlet untuk membangkitkan semangat untuk bertanding. Banyak orang yang menerima aba-aba ini tetapi hanya ada satu dari mereka yang menjadi juara. Hanya satu yang menerima hadiah. Walaupun ada juara dua dst, tetap saja orang ingin menjadi juara satu. The Champion, The Winner!
Apa yang dilakukan oleh kementerian KOMINFO di bawah komando Bapak M. Nuh DEA saat ini bisa dianalogkan dengan hal dia atas. DepKomInfo, mengajukan RUU untuk memerangi cyber pornography yang memang semakin menggila belakanga ini. Namun begitu, yang diperangi bukan hanya pornografi yang ditampilkan di internet tetapi juga transaksi-transaksi keuangan palsu yang menggunakan media maya ini sebagai sarana.
Pro dan kontra pasti ada berkaitan dengan hal ini. Itu wajar dan syah-syah saja. Yang pro, termasuk parlemen, mendukung gerakan ini dengan mengesahkan RUU itu dan dapat segera diimplementasikan. Hari ini 1-4-2008, ketika artikel ini ditulis, dijadikan tonggak untuk memulai secara nyata gerakan ini dengan men-delete dan me-LOCK situs-situs porno sehingga tidak bisa diakses oleh public di Indonesia (?). Dukungan ini diberikan oleh khalayak termasuk parlemen karena timbulnya kesadaran (setelah banyak jatuh korban?) akan dampak negative aktifitas-aktifitas terkait pornografi dan pornoaksi di internet yang disebarluaskan melalui HP.
Selain itu, semakin maraknya pertumbuhan situs-situs porno local dengan actor local juga membuat dukungan semakin kuat. Publik (tentunya yang mendukung) bersatu tekad dengan penguasa untuk mengganyang habis pornografi di internet dan penyebarluasannya melalui HP dan media elektronik lainnya. Meningkatnya jumlah situs porno local, yang oleh Roy Suryo dinyatakan mencapai satu juta, dan actor lokalnya sangat mencengangkan kalau tidak dikatakan sebagai FANTASTIS. Percaya gak percaya, itulah faktanya. Kita tidak lagi bisa menggembar-gemborkan sebagai bangsa Timur yang agamis, santun dan tidak neko-neko. Hancur sudah kebanggaan semu kita selama ini. Tidak bisa lagi kita seperti dulu. Dulu, dengan mudahnya kita selalu menunjuk Barat sebagai biang kerok kerusakan moral. But now, satu jari yang dulu kita tudingkan ke Barat, saat ini berbalik menjadi tiga. Artinya, ternyata kita juga berpotensi seperti Barat atau malah “lebih unggul”. Inilah yang mengundang keprihatinan banyak pihak sehingga dengan suara bulat meneriakkan “Ganyang pornografi dan pornoaksi!”
Di dunia ini selalu ada dua sisi. Ada yang hitam dan ada yang putih. Ada “Yin” , ada “Yang”. Kalau ada yang pro, pasti ada yang kontra. Yang Pro dengan alasannya sendiri, begitu juga yang kontra. Pihak-pihak yang kontra, dengan mengatasnamakan (atau bersembunyi) dibalik kebebasan ber-ekspresi dan seni mengatakan aturan ini hanya memberangus kebebasan dan mematikan estetika. Kebebasan dalam pengertian tidak ada yang dirugikan (?) dengan menjadikan ungkapan “kalau tidak suka, ya gak usah lihat” sebagai dasarnya. Estetika dalam pengertian kenapa kalau ada yang “indah-indah” tidak “diberdayakan” (atau tepatnya dieksploitasi). Peraturan dan gerakan ini jelas-jelas mengurangi pendapatan orang lain dan melanggar HAM!
PERTANYAAN BESAR
Pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan gerakan ini adalah, apakah benar-benar bisa dijamin bahwa situs-situs porno dan kegiatan pornografi di dunia cyber tidak bisa diakses lagi? PErtanyaan ini bukan bermaksud merendahkan atau skeptic terhadap realitas yang ada. Beberapa waktu yang lalu, ketika Inul Daratista wong ndeso yang menjadi the rising star di belantika dangdut dengan mengusung goyang ngebor, Rhoma Irama dengan lantang meneriakkan yang kurang lebih sama. “Ganyang pornoaksi.” Anehnya, itu tidak berlangsung lama alias inkonsisten. Akankah gerakan ini berakhir seperti ini juga? Gerakan tinggal gerakan, peraturan tetap peraturan!
Jika disimpulkan, inti pertanyaan besar yang ada adalah seberapa efektif dan untuk berapa lama gerakan dan peraturan ini bisa survive. Tidak hanya sekedar bisa bertahan tetapi juga memperoleh hasil seperti yang diinginka dan dicita-citakan-pornografi dan pornoaksi tidak lagi lalu lalang di internet dan bisa disebarluaskan secara bebas kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Parameter operasional untuk mengukur efektif tidaknya gerakan ini selain kemampuannya memperkecil (tidak mungkin menghapuskan seluruhnya) ruang gerak pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan, pengelolaan dan pendistribusian situs-situs porno adalah kekuatannya untuk memberikan efek jera. Ini yang sulit! Bukankah kasus Maria Eva bisa dijadikan sebagai salah satu contohnya. Dimana saat ini Maria Eva dan “Papa”nya yang mantan anggota dewan itu? Bagaimana akhir ramai-ramai kasus mereka?
Pertanyaan besar ini paling tidak bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan sebelum mengambil langkah. Efektifitas gerakan ini tidak bisa hanya diletakkan dibahu dan pundak penegak hukum semata. Atau celakanya, kalau kita menumpukannya kepada barang mati-peraturan atau undang-undang. Memang undang-undang memiliki power kalau instrument-instrumen yang menjalankannya juga memiliki dan berkemauan untuk memiliki power. Hukum, aturan, undang-undang atau apapun namanya tidak bisa dating dan menangani perkara sendiri. Yang diperlukan adalah kerjasama. Hukum, penegak hukum, dan khalayak harus bahu-membahu dengan niat tulus menegakkan hukum, aturan atau apapun namanya. Tujuannya hanya satu: ketentraman bersama. Tanpa kebersamaan seperti ini mustahil kita bisa memerangi pornografi dan pornoaksi di dunia maya. Salah besar kalau kita hanya mengarahkan mata kepada dunia maya untuk mencari apa yang disebut pornografi dan pornoaksi. Lihatlah di layar-layar televise dalam berbagai acara, terutama music, bukankah dengan sangat mudah kita menemukan gerakan-gerakan dan busana-busana minim yang selalu ditayangkan. Apakah ini bukan pornoaksi? Di mana kita, waktu tayangan-tayangan ini disajikan hampir setiap hari? Kalau ini bukan pornoaksi yang mengarahkan orang (tidak semua) melakukan tindakan-tindakan porno, lalu apa namanya?
Pornografi dan pornoaksi di negeri ini memang sudah berada dalam kondisi membahayakan. Bukan hanya tindakannya yang tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi targetnya pun semakin membuat kita miris. VCD anak-anak disisipi adegan-adegan mesum. Bukankah ini mengerikan? Selain tindakan dan target, korbannyapun mulai berjatuhan. Celakanya, korban yang banyak jatuh sekarang ini adalah anak-anak. Berapa kali kita menyaksikan diberbergai tayangan berita baik di media massa maupun eletronik bocah memperkosa bocah, bergilir pula! So, mau tidak mau , suka tidak suka, kita yang pro gerakan ini harus mendukung secara nyata. “Ganyang pornografi!!

Minggu, 09 Maret 2008

Antara Aku, Kamu dan Korban Lumpur Lapindo

Getting What You Don�t Want
Kadang bahkan seringkali orang harus kecewa, dongkol, dan marah karena perbuatan orang lain. Tidak ada sesuatu yang salah yang kita lakukan tetapi justru tindakan dan perbuatan orang lainlah yang justru membuat kita terpaksa merasakan hal-hal seperti yang disebutkan di atas. Benarlah apa kata pepatah tua Jawa,�Ora mangan nangkane gupak pulute (Tidak ikut makan nangkanya kena getahnya).� Kadang seperti itulah hidup ini. Selalu mengharap yang baik tetapi justru beberapa hal yang tidak baik yang kita terima. Namun begitu, hal-hal seperti itu memang kadang harus kita terima dengan tetap tersenyum (walaupun berat) dan dinikmati. Enjoy aja!
Beberapa waktu yang lalu, ketika mengecek blog http//ivriel.multiply.com , saya begitu terkejut karena ada banner cukup besar yang nangkring di caption/head blog saya. Bagi saya banner itu sukup dan sangat menganggu. Bagaimana tidak, karena yang ditampilkan adalah iklan cewek bispak. Dongkol pastinya saya waktu itu. Akan tetapi, setelah saya piker lebih dalam dan jauh plus disharingkan dengan beberapa teman, reaksi mereka�tertawa justru membuat saya sedikit �terhibur �. Terhibur dalam pengertian, sikap mereka yang membuat saya terhibur bukan biang masalah banner itu. Pertanyaan saya waktu itu, �kok ada yang ketawa?� Karena sikap orang yang cenderung positif, saya pun terbawa berpikiran positif menyikapinya. Saya hanya bisa bergumam,�Ah, biarlah, kan nanti ada waktunya banner itu hilang denga n sendirinya (atau ada pembaca yang mau bantu saya menunjukkan cara menghilangkan banner nakal itu?) toh saya sama sekali tidak memasangnya dan mendukung yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempublish banner itu. Beginilah, kalau pake gratisan!

Aku, Kamu,dan Korban Lumpur Lapindo; Kita Semua Sama
Peristiwa yang saya ceritakan di atas cukup membuat saya dongkol, marah sekaligus geli. Perasaan yang terakhir (geli) karena ada pihak-pihak yang saya nilai mengusik �urat geli� saya ketika menanggapi apa yang saya ceritakan. Intinya adalah, peristiwa yang saya alami kecil dan remeh. Saya tidak keluar duit sepeserpun untuk buat blog, gak ikut memelihara. Yang saya lakukan hanya mulis dan mempublishnya di blog gratisan itu. Selesai. Sederhana sekali. Oleh karena itu, tidak cukup alasan bagi saya untuk terus dan berlama-lama merasa dongkol apalagi marah. Tidak ada untungnya.
Kalau yang saya alami berkaitan dengan blog itu sangat kecil arti dan nilainya, beberapa hal yang saat ini kita alami justru sangat besar dan mendasar , menurut saya. Bagaimana tidak? HArga-harga yang semakin menggila (siapa yang salah) bukan hanya membuat ibu, kakak perempuan atau istri kita kelabakan. Kita pun (sebenarnya) ikut pusing. Kalau hampir setiap hari jantung para ibu dan istri dibuat berdetak kencang karena fluktuasi harga yang tidak menentu sementara uang belanja tetap tidak ada penambahan karena gaji para suami umumnya juga tidak bertambah, para suami atau tulang punggung keluarga pun sebenarnya juga �pusing�. Kami, para suami, selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan penghasilan tambahan dengan tidak mengorbankan keluarga.
Banyak cara yang dilakukan orang untuk meluapkan kemarahan dan kekecewaannya menyikapi hal-hal yang tidak pasti ini. Ada yang mudah �terpancing dan meradang�. Ada yang lebih suka topo bisu (diam seribu bahasa) karena merasa lebih baik diam daripada buang-buang energy untuk marah-marah karena berprinsip toh semuanya juga turut merasakan. Sama seperti panasnya sinar matahari yang dirasakan oleh semua orang. Paling tidak, ini adalah satu tindakan bijak yang didasari oleh pengertian akan kondisi (walaupun sebenarnya jauh di dalam batin dan relung hatinya juga �menangis). Selain itu, satu tindakan positif lainnya adalah bersyukur, pasrah dan berserah. Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa rasa syukur, kepasrahan dan penyerahan diri yang diharapkan dalam kondisi seperti ini?
Pertanyaan seperti itu adalah hal yang sangat manusiawi. Masihkah bisa bersyukur kalau harga-harga terus naik sementara hanya hujan yang terus turun dan menenggelamkan permukiman dan lahan pertanian, akses jalan, perkantoran dan pusat kegiatan ekonomi yang menjadi �gantungan dan sandaran hidup� Masih layakkah bersyukur kalau tidak ada jawaban pasti (saat ini masih diselidiki oleh BPOM) atas berita bahwa susu formula tercemar bakteri sakka zakki. Belum cukupkah warga Porong korban lumpur Lapindo terlunta-lunta dan hidup dalam ketidakpastian dalam segala hal? Atau, haruskah kita pasrah ketika Negara melakukan kesalahan dengan mengambil alih pembiayaan pembayaran ganti untung (? Yang benar tidak diganti tetapi malah buntung!) dengan mengambil uang rakyat-APBN! Lalu, apakah kita harus terus bersyukur dan pasrah ketika wakil-wakil rakyat (anggota DPR RI) yang secara kebablasan menyatakan, dengan mengacu kepada pendapat beberapa ahli geologi, lumpur Porong adalah murni bencana alam dengan menafikan/menghilangkan fakta-fakta awal yang ditemukan ketika musibah ini baru terjadi. Ironisnya lagi, perilaku kebablasan tersebut justru dilakukan di luar kapasitas yang mereka miliki! Masihkah perlu bersyukur, pasrah dan berserah.

Aku Bersyukur Maka Aku Kuat
Dalam psikologi kita mengenal sebuah ungkapan cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Pun dalam kaitannya denga hal yang sekarang ini kita hadapi kita harus mengembangkan slogan �aku bersyukur maka aku kuat�. Pun begitu, slogan ini tidak hanya berhenti sebatas dikembangkan tetapi juga harus dihidupi dan dihidupkan dalam diri dan setiap sisi kehidupan kita. Bukan hal yang mudah memang. Sekalipun begitu, kita harus tetap mengupayakannya dengan sungguh-sungguh.
Penulis (saya) tahu betul tentang sulitnya menghidupkan dan menghidupi slogan ini. Sebagai gambaran, saya tidak malu mengatakan siapa dan bagaimana kondisi saya kepada Anda yang membaca tulisan ini bukan supaya Anda simpati atau kasihan-tidak sama sekali! Tetapi paling tidak, Anda bisa mengetahui bahwa saya tidak mengada-ada dan meuliskan hal-hal yang na�f karena saya adalah seorang yang bergelimang harta dan kekayaan. Mudah memang menulis hal-hal yang abstrak seperti bersyukur, pasrah dan berserah ketika kita dalam kondisi �aman� dan �nyaman� dari sisi financial. Secara umum berikut ini profil saya:
Saya bukan seorang pejabat, birokrat atau alat Negara yang dikelilingi dengan fasilitas dan kenyamanan tetapi seorang pustakawan di sebuah institute theologia di Kabupaten Malang.Anak saya dua- yang pertama 6 tahun dan satunya lagi 2.5 bulan (bulan Maret 2008). Untuk memenuhi kebutuhan hidup istri saya �terpaksa �. Kami tinggal di sebuah rumah tipe 36/68 yang harus kami angsur selama sepuluh tahun. Inilah profil saya dan kami sekeluarga. Tentunya Anda bisa membayangkan seperti apa kondisi Kami (secara materi memang Kami tidak memiliki banyak harta tetapi kami-saya, istri dan anak-anak saling memiliki). Tujuan saya menampilkan profil kami sekali lagi bukan untuk tujuan yang �aneh-aneh� apalagi yang �nganeh-nganehi� tetapi untuk bisa sharing sebagai sesama. Itu saja.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bukan tidak pernah mampir dalam pikiran kami. Seringkali, beberapa hal, membuat pertanyaan seperti itu dipaksa mampir dalam hidup kami. Ketika hal-hal semacam itu singgah, apalagi ditanyakan oleh anak kami, bukan hal mudah untuk menjawabnya. Keslitannya bukan pada menyusun kata dan argument tetapi memberikan teladan sebelum dan sesudah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh bibir mungil yang dilandasi oleh curiosity seorang anak kecil. Memberikan teladan bersyukur, berserah, dan berpasrah serta hidup di dalam dan dengannya memang perlu latihan yang terus menerus. Tepatlah satu pepatah dalam bahasa Inggris yang menyatakan Acts Sounds Louder than Words. Tidak perlu banyak omong memang, tetapi lebih perlu banyak bertindak dan berbuat.
Hidup bersyukur, berpasrah dan berserah memberikan kekuatan tersendiri untuk terus menjalani hidup yang semakin sulit ini. Apapun agama dan kepercayaan yang kita yakini semuanya pasti mengajarkan hal ini. Sebagai seorang Kristen saya dan keluarga belajar untuk mengerti apa yang disampaikan Raja Daud dalam kitab Mazmur/zabur. Satu ayat dalam kitab ini mengaatakan �Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu.� Perkataan ini sulit (mengecap baru melihat) karena umunya kita manusia didik dalam budaya dan asuhan (lihat dulu baru rasakan/kecap). Mengecap berate merasakan kebaikan Tuhan yang diberikan kepada kita-termasuk mengizinkan ujian mendatangi kita. Dengan mengecap/melihat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan akan membuat kita bisa bersyukur karena telah merasakan semua kebaikan Tuhan. Dengan bersyukur, kita akan bisa menjalani hidup dengan lebih baik karena Tuhan memberikan hidayahNya kepada kita. Bersungut-sungut, hanya akan menutup mata hati dan jasmani kita tidak bisa melihat dan merasakan hidayah yang diberikan Tuhan. Ketidakmampuan untuk melihat dan mersakan hidayah yang diberikan Tuhan ini hanya akan semakin membuat kita merasa sebagai manusia yang ditinggalkan oleh Tuhan, tidak dikasihi dan dibiarkan menderita dan menanggung sengsara.

Pasrah Itu Produktif!
Nerimo ing pandum (pasrah), ungkapan Jawa, tidak boleh kita terjemahkan sebagai kepasrahan yang pasif. Nerimo ing pandum tetap mengandung arti berserah kepada Tuhan sembari melakukan usaha yang produktif dan benar dimata Gusti Allah. Dalam usaha produktif yang kita lakukan, kita menyerahkan segala sesuatunya dumateng ngarsanipun Gusti Allah. Singkatnya, ungkapan Jawa tersebut tidak meminta kita menjadi manusia yang pasif tetapi justru mengajak kita menjadi manusia yang rajin dan terus memandang kepada Tuhan dalam segala yang kita lakukan karena kita ini adalah makhluk yang terbatas. Bukankah, Gusti Allah juga tidak senang dengan umat yang pasif seperti dikatakan dalam Alquran,� Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya (mohon maaf jika kutipan ini tidak sama persis dengan ayat yang ada). Mudahnya, pasrah yang benar adalah pasrah yang bertindak dan berbuat sesuatu yang benar.
Jika dikaitkan dengan masalah yang sedang kita hadapi saat ini�harga-harga yang menggila, nasib korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung, dirampasnya uang rakyat (APBN) untuk membiayai bencana lumpur Lapindo (yang ini tentunya secara sepihak melalui pembenaran-pembenaran sepihak juga), kita harus tetap ngupoyo. Ngupoyo kita kali ini memang tidak mudah karena faktanya semua dan setiap upaya yang dialkukan dan disalurkan ke saluran-saluran yang seharsnya juga sudah buntu. Berteriak-teriak di jalanan dan menduduki gedung dewan juga tidak membuahkan hasil. Celakanya lagi, anggota dewan yang katanya representasi rakyat juga terpecah suarnya ketika memperjuangkan korban bencana Lapindo. Justru mabuk yang mereka (tidak semua) sepakati adalah menyatakan lumpur Lapindo sebagai bencana (force majeur) bukan human error. Ternyata nama sebagai wakil rakyat hanya tinggal nama dan sebatsa slogan untuk mencari popularitas menjelang PEMILU/Pilkada(L) dsb. Bagaimana mungkin disebut wakil rakyat kalau memperjuangkan nasib warga porong yang jelas-jelas menderita karena lumpur lapindo dan jumlahnya hanya beberapa puluh ribu jiwa saja enggan. Apakah rumah rakyat namanya kalau gedung dewan pagarnya dibuat setinggi benteng?
Mau tidak mau, ngupoyo kita kali ini lebih bisa diarahkan kepada gerakan moral (walaupun nyatanya lebih banyak yang tidak�.) karena masih ada pihak-pihak yang bersimpati dengan penderitaan rakyat dan bangsanya. Namun demikian, yang perlu kita waspadai adalah munculnya pinulung awu-awu alias penolong palsu yang mengatakan begini begitu dan akan melakukan ini itu untuk rakyat. Nama dan bajunya macam-macam. Jangan kita mudah terkena rayuan maut gombalnya. Sudah banyak bukti. Sekarang pun kita sedang merasakan pahitnya ujung rayuan gombal yang dulu dijual dengan kemasan yang luar biasa bagus dan menarik. Mungkin inilah upoyo yang bisa kita lakukan. Saya, Anda dan kita semua tentu sadar bahwa ketika kita berharapa pada manusia hanya kekecewaan yang kita jumpai. Namun demikian, bersyukur, berpasrah, berserah dan ngupoyo harus tetap kita lakukan bagaimanapun sulitnya. Mari kita yakin bahwa Gusti Allah tidak buta dan menutup telinganya untuk jeritan umatNya yang benar-benar butuh pertologan. Waktu Tuhan bukan waktu kita. Yang kita butuhkan adalah sabar dan tawakal menunggu waktu Tuhan itu. Ya paling tidak, aku, kamu dan korban lumpur Lapindo bisa menahan diri untuk tetap berserah, pasrah, berserah sambil ngupoyo yang produktif. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjadi antara aku, kamu dan bekas pacarmu yang sama-sama sakit hati. Monggo sami-sami ndedonggo!

Antara Aku, Kamu dan Korban Lumpur Lapindo

Getting What You Don�t Want
Kadang bahkan seringkali orang harus kecewa, dongkol, dan marah karena perbuatan orang lain. Tidak ada sesuatu yang salah yang kita lakukan tetapi justru tindakan dan perbuatan orang lainlah yang justru membuat kita terpaksa merasakan hal-hal seperti yang disebutkan di atas. Benarlah apa kata pepatah tua Jawa,�Ora mangan nangkane gupak pulute (Tidak ikut makan nangkanya kena getahnya).� Kadang seperti itulah hidup ini. Selalu mengharap yang baik tetapi justru beberapa hal yang tidak baik yang kita terima. Namun begitu, hal-hal seperti itu memang kadang harus kita terima dengan tetap tersenyum (walaupun berat) dan dinikmati. Enjoy aja!
Beberapa waktu yang lalu, ketika mengecek blog http//ivriel.multiply.com , saya begitu terkejut karena ada banner cukup besar yang nangkring di caption/head blog saya. Bagi saya banner itu sukup dan sangat menganggu. Bagaimana tidak, karena yang ditampilkan adalah iklan cewek bispak. Dongkol pastinya saya waktu itu. Akan tetapi, setelah saya piker lebih dalam dan jauh plus disharingkan dengan beberapa teman, reaksi mereka�tertawa justru membuat saya sedikit �terhibur �. Terhibur dalam pengertian, sikap mereka yang membuat saya terhibur bukan biang masalah banner itu. Pertanyaan saya waktu itu, �kok ada yang ketawa?� Karena sikap orang yang cenderung positif, saya pun terbawa berpikiran positif menyikapinya. Saya hanya bisa bergumam,�Ah, biarlah, kan nanti ada waktunya banner itu hilang denga n sendirinya (atau ada pembaca yang mau bantu saya menunjukkan cara menghilangkan banner nakal itu?) toh saya sama sekali tidak memasangnya dan mendukung yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempublish banner itu. Beginilah, kalau pake gratisan!

Aku, Kamu,dan Korban Lumpur Lapindo; Kita Semua Sama
Peristiwa yang saya ceritakan di atas cukup membuat saya dongkol, marah sekaligus geli. Perasaan yang terakhir (geli) karena ada pihak-pihak yang saya nilai mengusik �urat geli� saya ketika menanggapi apa yang saya ceritakan. Intinya adalah, peristiwa yang saya alami kecil dan remeh. Saya tidak keluar duit sepeserpun untuk buat blog, gak ikut memelihara. Yang saya lakukan hanya mulis dan mempublishnya di blog gratisan itu. Selesai. Sederhana sekali. Oleh karena itu, tidak cukup alasan bagi saya untuk terus dan berlama-lama merasa dongkol apalagi marah. Tidak ada untungnya.
Kalau yang saya alami berkaitan dengan blog itu sangat kecil arti dan nilainya, beberapa hal yang saat ini kita alami justru sangat besar dan mendasar , menurut saya. Bagaimana tidak? HArga-harga yang semakin menggila (siapa yang salah) bukan hanya membuat ibu, kakak perempuan atau istri kita kelabakan. Kita pun (sebenarnya) ikut pusing. Kalau hampir setiap hari jantung para ibu dan istri dibuat berdetak kencang karena fluktuasi harga yang tidak menentu sementara uang belanja tetap tidak ada penambahan karena gaji para suami umumnya juga tidak bertambah, para suami atau tulang punggung keluarga pun sebenarnya juga �pusing�. Kami, para suami, selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan penghasilan tambahan dengan tidak mengorbankan keluarga.
Banyak cara yang dilakukan orang untuk meluapkan kemarahan dan kekecewaannya menyikapi hal-hal yang tidak pasti ini. Ada yang mudah �terpancing dan meradang�. Ada yang lebih suka topo bisu (diam seribu bahasa) karena merasa lebih baik diam daripada buang-buang energy untuk marah-marah karena berprinsip toh semuanya juga turut merasakan. Sama seperti panasnya sinar matahari yang dirasakan oleh semua orang. Paling tidak, ini adalah satu tindakan bijak yang didasari oleh pengertian akan kondisi (walaupun sebenarnya jauh di dalam batin dan relung hatinya juga �menangis). Selain itu, satu tindakan positif lainnya adalah bersyukur, pasrah dan berserah. Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa rasa syukur, kepasrahan dan penyerahan diri yang diharapkan dalam kondisi seperti ini?
Pertanyaan seperti itu adalah hal yang sangat manusiawi. Masihkah bisa bersyukur kalau harga-harga terus naik sementara hanya hujan yang terus turun dan menenggelamkan permukiman dan lahan pertanian, akses jalan, perkantoran dan pusat kegiatan ekonomi yang menjadi �gantungan dan sandaran hidup� Masih layakkah bersyukur kalau tidak ada jawaban pasti (saat ini masih diselidiki oleh BPOM) atas berita bahwa susu formula tercemar bakteri sakka zakki. Belum cukupkah warga Porong korban lumpur Lapindo terlunta-lunta dan hidup dalam ketidakpastian dalam segala hal? Atau, haruskah kita pasrah ketika Negara melakukan kesalahan dengan mengambil alih pembiayaan pembayaran ganti untung (? Yang benar tidak diganti tetapi malah buntung!) dengan mengambil uang rakyat-APBN! Lalu, apakah kita harus terus bersyukur dan pasrah ketika wakil-wakil rakyat (anggota DPR RI) yang secara kebablasan menyatakan, dengan mengacu kepada pendapat beberapa ahli geologi, lumpur Porong adalah murni bencana alam dengan menafikan/menghilangkan fakta-fakta awal yang ditemukan ketika musibah ini baru terjadi. Ironisnya lagi, perilaku kebablasan tersebut justru dilakukan di luar kapasitas yang mereka miliki! Masihkah perlu bersyukur, pasrah dan berserah.

Aku Bersyukur Maka Aku Kuat
Dalam psikologi kita mengenal sebuah ungkapan cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Pun dalam kaitannya denga hal yang sekarang ini kita hadapi kita harus mengembangkan slogan �aku bersyukur maka aku kuat�. Pun begitu, slogan ini tidak hanya berhenti sebatas dikembangkan tetapi juga harus dihidupi dan dihidupkan dalam diri dan setiap sisi kehidupan kita. Bukan hal yang mudah memang. Sekalipun begitu, kita harus tetap mengupayakannya dengan sungguh-sungguh.
Penulis (saya) tahu betul tentang sulitnya menghidupkan dan menghidupi slogan ini. Sebagai gambaran, saya tidak malu mengatakan siapa dan bagaimana kondisi saya kepada Anda yang membaca tulisan ini bukan supaya Anda simpati atau kasihan-tidak sama sekali! Tetapi paling tidak, Anda bisa mengetahui bahwa saya tidak mengada-ada dan meuliskan hal-hal yang na�f karena saya adalah seorang yang bergelimang harta dan kekayaan. Mudah memang menulis hal-hal yang abstrak seperti bersyukur, pasrah dan berserah ketika kita dalam kondisi �aman� dan �nyaman� dari sisi financial. Secara umum berikut ini profil saya:
Saya bukan seorang pejabat, birokrat atau alat Negara yang dikelilingi dengan fasilitas dan kenyamanan tetapi seorang pustakawan di sebuah institute theologia di Kabupaten Malang.Anak saya dua- yang pertama 6 tahun dan satunya lagi 2.5 bulan (bulan Maret 2008). Untuk memenuhi kebutuhan hidup istri saya �terpaksa �. Kami tinggal di sebuah rumah tipe 36/68 yang harus kami angsur selama sepuluh tahun. Inilah profil saya dan kami sekeluarga. Tentunya Anda bisa membayangkan seperti apa kondisi Kami (secara materi memang Kami tidak memiliki banyak harta tetapi kami-saya, istri dan anak-anak saling memiliki). Tujuan saya menampilkan profil kami sekali lagi bukan untuk tujuan yang �aneh-aneh� apalagi yang �nganeh-nganehi� tetapi untuk bisa sharing sebagai sesama. Itu saja.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bukan tidak pernah mampir dalam pikiran kami. Seringkali, beberapa hal, membuat pertanyaan seperti itu dipaksa mampir dalam hidup kami. Ketika hal-hal semacam itu singgah, apalagi ditanyakan oleh anak kami, bukan hal mudah untuk menjawabnya. Keslitannya bukan pada menyusun kata dan argument tetapi memberikan teladan sebelum dan sesudah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh bibir mungil yang dilandasi oleh curiosity seorang anak kecil. Memberikan teladan bersyukur, berserah, dan berpasrah serta hidup di dalam dan dengannya memang perlu latihan yang terus menerus. Tepatlah satu pepatah dalam bahasa Inggris yang menyatakan Acts Sounds Louder than Words. Tidak perlu banyak omong memang, tetapi lebih perlu banyak bertindak dan berbuat.
Hidup bersyukur, berpasrah dan berserah memberikan kekuatan tersendiri untuk terus menjalani hidup yang semakin sulit ini. Apapun agama dan kepercayaan yang kita yakini semuanya pasti mengajarkan hal ini. Sebagai seorang Kristen saya dan keluarga belajar untuk mengerti apa yang disampaikan Raja Daud dalam kitab Mazmur/zabur. Satu ayat dalam kitab ini mengaatakan �Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu.� Perkataan ini sulit (mengecap baru melihat) karena umunya kita manusia didik dalam budaya dan asuhan (lihat dulu baru rasakan/kecap). Mengecap berate merasakan kebaikan Tuhan yang diberikan kepada kita-termasuk mengizinkan ujian mendatangi kita. Dengan mengecap/melihat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan akan membuat kita bisa bersyukur karena telah merasakan semua kebaikan Tuhan. Dengan bersyukur, kita akan bisa menjalani hidup dengan lebih baik karena Tuhan memberikan hidayahNya kepada kita. Bersungut-sungut, hanya akan menutup mata hati dan jasmani kita tidak bisa melihat dan merasakan hidayah yang diberikan Tuhan. Ketidakmampuan untuk melihat dan mersakan hidayah yang diberikan Tuhan ini hanya akan semakin membuat kita merasa sebagai manusia yang ditinggalkan oleh Tuhan, tidak dikasihi dan dibiarkan menderita dan menanggung sengsara.

Pasrah Itu Produktif!
Nerimo ing pandum (pasrah), ungkapan Jawa, tidak boleh kita terjemahkan sebagai kepasrahan yang pasif. Nerimo ing pandum tetap mengandung arti berserah kepada Tuhan sembari melakukan usaha yang produktif dan benar dimata Gusti Allah. Dalam usaha produktif yang kita lakukan, kita menyerahkan segala sesuatunya dumateng ngarsanipun Gusti Allah. Singkatnya, ungkapan Jawa tersebut tidak meminta kita menjadi manusia yang pasif tetapi justru mengajak kita menjadi manusia yang rajin dan terus memandang kepada Tuhan dalam segala yang kita lakukan karena kita ini adalah makhluk yang terbatas. Bukankah, Gusti Allah juga tidak senang dengan umat yang pasif seperti dikatakan dalam Alquran,� Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya (mohon maaf jika kutipan ini tidak sama persis dengan ayat yang ada). Mudahnya, pasrah yang benar adalah pasrah yang bertindak dan berbuat sesuatu yang benar.
Jika dikaitkan dengan masalah yang sedang kita hadapi saat ini�harga-harga yang menggila, nasib korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung, dirampasnya uang rakyat (APBN) untuk membiayai bencana lumpur Lapindo (yang ini tentunya secara sepihak melalui pembenaran-pembenaran sepihak juga), kita harus tetap ngupoyo. Ngupoyo kita kali ini memang tidak mudah karena faktanya semua dan setiap upaya yang dialkukan dan disalurkan ke saluran-saluran yang seharsnya juga sudah buntu. Berteriak-teriak di jalanan dan menduduki gedung dewan juga tidak membuahkan hasil. Celakanya lagi, anggota dewan yang katanya representasi rakyat juga terpecah suarnya ketika memperjuangkan korban bencana Lapindo. Justru mabuk yang mereka (tidak semua) sepakati adalah menyatakan lumpur Lapindo sebagai bencana (force majeur) bukan human error. Ternyata nama sebagai wakil rakyat hanya tinggal nama dan sebatsa slogan untuk mencari popularitas menjelang PEMILU/Pilkada(L) dsb. Bagaimana mungkin disebut wakil rakyat kalau memperjuangkan nasib warga porong yang jelas-jelas menderita karena lumpur lapindo dan jumlahnya hanya beberapa puluh ribu jiwa saja enggan. Apakah rumah rakyat namanya kalau gedung dewan pagarnya dibuat setinggi benteng?
Mau tidak mau, ngupoyo kita kali ini lebih bisa diarahkan kepada gerakan moral (walaupun nyatanya lebih banyak yang tidak�.) karena masih ada pihak-pihak yang bersimpati dengan penderitaan rakyat dan bangsanya. Namun demikian, yang perlu kita waspadai adalah munculnya pinulung awu-awu alias penolong palsu yang mengatakan begini begitu dan akan melakukan ini itu untuk rakyat. Nama dan bajunya macam-macam. Jangan kita mudah terkena rayuan maut gombalnya. Sudah banyak bukti. Sekarang pun kita sedang merasakan pahitnya ujung rayuan gombal yang dulu dijual dengan kemasan yang luar biasa bagus dan menarik. Mungkin inilah upoyo yang bisa kita lakukan. Saya, Anda dan kita semua tentu sadar bahwa ketika kita berharapa pada manusia hanya kekecewaan yang kita jumpai. Namun demikian, bersyukur, berpasrah, berserah dan ngupoyo harus tetap kita lakukan bagaimanapun sulitnya. Mari kita yakin bahwa Gusti Allah tidak buta dan menutup telinganya untuk jeritan umatNya yang benar-benar butuh pertologan. Waktu Tuhan bukan waktu kita. Yang kita butuhkan adalah sabar dan tawakal menunggu waktu Tuhan itu. Ya paling tidak, aku, kamu dan korban lumpur Lapindo bisa menahan diri untuk tetap berserah, pasrah, berserah sambil ngupoyo yang produktif. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjadi antara aku, kamu dan bekas pacarmu yang sama-sama sakit hati. Monggo sami-sami ndedonggo!

Minggu, 24 Februari 2008

Man of God: Calling or Profession?

Hamba Tuhan: Panggilan atau Profesi?

Hamba Tuhan, panggilan atau profesi? Itulah pertanyaan yang belakangan ini muncul dibenak saya ketika membaca bagian akhir dari satu paragraph pendek dalam buku ”Konsep Karakter Kompetensi Kepmimpinan Kristen” yang ditulis oleh Sendjaya dan ditebitkan oleh Kairos Yogyakarta. Begini petikan paragraph tersebut:
Jadi, panggilan Allah tidak hanya terbatas pada panggilan menjadi Hamba Tuhan penuh waktu (ordained minister). Panggilan Allah dating kepada setiap kita dan manifestasinya terjadi di setiap profesi, meskipun calling tidak bisa direduksi menjadi profesi.
Bagian terakhir--calling tidak bisa direduksi menjadi profesi, adalah statement yang menurut saya, sebagai orang awam sangat menarik jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah Hamba Tuhan (man of God) itu panggilan atau profesi? Pertanyaan ini sangat menarik untuk direnungkan karena batas antara panggilan dan profesi seringkali tidak jelas dan bisa “menjebak” seseorang ke dalam lingkaran setan yang tidak berujung pangkal.

Panggilan atau Profesi ?
Tidak terlalu mudah memang untuk mengatakan apakah Hamba Tuhan adalah panggilan ataukah sebuah profesi. Jika kita membatasi profesi dari atau dengan sudaut pandang kamus besar Bahasa Indonesia, profesi, maknanya adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh suatu keahlian tertentu. Namun demikian, batasan praksis cenderung menambahkan satu unsur ke dalam definisi profesi –untuk mendapatkan sesuatu dari profesi/pekerjaan yang dilakukan. Memang ini adalah batasan praksis. Artinya, secara praktis, orang berharap untuk bisa to earn something atau to make money dengan melakukan pekerjaannya. Ini adalah hal yang wajar.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Hamba Tuhan masuk dalam kategori ini-profesi. Jawabannya bisa “ya” atau “tidak”. Pengertiannya, menurut saya sebagai seorang awam, “ya” dalam pengertian bahwa pada akhirnya, ketika seseorang yang telah ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu untuk melayani jemaat (?) maka ia pastilah masuk ke dalam lingkungan “dunia kerja” yang di dalamnya ada aturan-aturan dan norma-norma. Mau tidak mau, Hamba Tuhan dalam arti sempit (orang yang ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu di lingkungan yang terbatas-gereja) harus mengikuti jadwal kegiatan, peraturan-peraturan sinodal dan hal-hal lainnya seperti mengikuti perkumpulan profesi dan harus melakukan sesuai dengan apa yang digariskan (dituntut) oleh jemaat/majelis. Rutinitas semacam inilah yang bisa dijadikan sebagai indicator untuk mengacu Hamba Tuhan sebagai profesi.
Lalu bagaimana dengan criteria yang kedua—to make money? Ini memang gampang-gampang susah. Gampang dalam pengertian sudah sepantasnya dan seharusnya jika gereja atau jemaat memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan yang telah digariskan oleh organisasi-Sinode . Naif dan tidak adil kalau jemaat/gereja melalui majelis memberikan beban dan tuntutan tinggi kepada Hamba Tuhan sementara mereka (gereja/jemaat) hanya mau membayar rendah atau ala kadarnya. Yang ini keterlaluan!
Dalam hubungannya dengan making money, ada kasus-kasus yang ironisnya dilakukan oleh oknum-oknum Hamba Tuhan yang justru membuat orang lain menilai apa yang dilakukannya (tugas kependetaan) hanyalah sebuah profesi yang dijadikan alat untuk memakmurkan diri sendiri dengan memperalat Alkitab. Jangan pernah katakana ini tidak ada! Berapa banyak Hamba Tuhan yang selalu bertanya fasilitas apa yang akan diberikan, perpuluhannya masuk mana (untuk gereja-gereja tertentu perpuluhan memang menjadi sumber pendapatan gembala), basah keringnya posisi (tentunya dengan cara yang diplomatis). Hal-hal semacam ini merupakan reduksi panggilan. Artinya, oknum-oknum tertentu dengan sendirinya mereduksi panggilannya. Jika ini yang terjadi, bukan orang lain yang menjadikan Hamba Tuhan sebagai profesi (karena seringkali pembelaan yang dilontarkan adalah jemaat/majelislah yang membuat Hamba Tuhan sebagai profesi dan seorang Hamba Tuhan menjadi seorang professional).
“Tidak” sebagai jawaban untuk pertanyaan apakah Hamba Tuhan terkategori sebagai profesi bukanlah jawaban tanpa dasar. Dalam sebuah perbincangan denga beberapa mahasiswi tentang hal ini, mereka menyatakan bahwa Hamba Tuhan adalah panggilan. Memang, menurut mereka, realitas di lapangan menunjukkan adanya pergeseran dari panggilan ke profesi. Materi, fasilitas dan kenyamanan kerap kali membuat seseorang tergoda dan akhirnya jatuh ke dalam jurang materialisme berbalut baju dan jubah kependetaan dan pelayanan. Pun begitu, hal-hal semacam ini hanyalah kasus (tapi cukup signifikan dampaknya!) dan tidak bisa dijadikan standar untuk sebuah jastifikasi bahwa Hamba Tuhan adalah profesi.
Lalu apakah sebenarnya panggilan itu? Masih dari pembicaraan dengan beberapa rekan mahasiswa saya simpulkan bahwa panggilan adalah suara dari Allah yang meminta seseorang untuk melakukan tugas-tugas kenabian untuk menggembalakan umat manusia dan membawanya kepada Kristus sang juru selamat. Memang, cara dan media yang dipakai Allah untuk memanggil seseorang untuk menjadi hambaNya (dalam arti sempit Hamba Tuhan ) sangatlah beragam. Power dari panggilan itu sendiri pun beragam. Inti dari jawaban Hamba Tuhan bukan profesi adalah bagaimanapun kondisinya, sesulit apapun keadaannya, panggilan Allah adalah tetap panggilan. Panggilan ini pula yang oleh manusia sering kali dilembagakan sebagai sebuah profesi. Hamba Tuhan adalah panggilan walaupun secara praktis, karena berada dan beroperasi di lingkup organisasi (gereja, universitas, dsb), membuat seolah-olah panggilan itu menjadi sebuah profesi. Dalam kasus ini, sebenarnya tidak pernah terjadi reduksi panggilan. Yang terjadi adalah penaungan. Profesi menaungi panggilan karena alasan organisasionil. Satu hal yang perlu ditekankan, berkaitan dengan jawaban ini adalah, Hamba Tuhan adalah (tetap) panggilan tetapi Hamba Tuhan harus bertindak professional!

Hamba Tuhan Terdikotomi?
Dikotomi Hamba Tuhan sebagai profesi dan panggilan memang sangat dihindarkan pada kehidupan masa kini. Dikotomi ini seringkali mengarahkan kepada perdebatan tentang boleh tidaknya Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Ada beragam sikap dan pandangan tentang hal ini. Yang pro mengatakan Hamba Tuhan tidak boleh berbisnis. Statement ini disertai dengan argument-argumen dan ayat-ayat Alkitab yang mendukung (dijadikan pendukung). Sedangkan yang kontra menyatakan it’s ok Hamba Tuhan berbisnis. Statement ini tentunya juga di dukung oleh dan dengan berbagai argument. Perdebatan semacam ini memang seperti pertanyaan mana yang lebih dulu, telur atau ayam.
Sebagai seorang awam, saya berpendapat, baik-baik saja jika seorang Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Akan tetapi, kriterianya juga harus jelas. Jika jemaat memang terbukti secara obyektif belum bisa memberikan tunjangan hidup yang layak maka Hamba Tuhan bisa melakukan hal lain untuk menambah biaya pemenuhan kebutuhan keluarganya. Bagi yang kontra, hal semacam ini cenderung diartikan sebagai tidak mengandalkan dan beriman kepada Kristus. Ini sebenarnya adalah sebuah ketakutan besar. Yang kontra takut proses “mencari di tempat lain” bisa menggerogoti dan pada akhirnya menghilangkan panggilan kenabian seseorang. Ketakutan ini, bagi saya kurang beralasan. Bukankah tidak jarang orang-orang yang sudah berada dalam posisi mapan juga kehilangan panggilan. Bukankah Paulus, juga harus menjadi tukang tenda untuk menghidupi dirinya. Bagi Paulus, jauh lebih baik tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani. Apakah dengan berprofesi sebagai tukang tenda panggilan Paulus hilang? Tidak sama sekali! Intinya adalah, kita sendirilah yang paling mengetahui apakah panggilan kita sedang bergeser menjadi sebuah profesi dalam pengertian yang sempit karena berbagai alasan.

What Now
Jika kita bolak-balikkan pertanyaan, apakah Hamba Tuhan panggilan atau profesi ataukah profesi yang didasari oleh panggilan, jawabannya tentu sangat variatif. Tidak pernah salah kalau kita menyebut Hamba Tuhan sebagai profesi karena faktanya di dalam Kartu Tanda Penduduk yang ditulis adalah pekerjaan: Rohaniwan. Yang penting dan yang terutama adalah kita tidak terkungkung oleh pertanyaan-pertanyaan dan retorika-retorika yang diajukan oleh oranglain tentunya dengan alasan dan tujuannya sendiri-sendiri. Alasan dibalik pertanyaan semacam itu tidak selalu negative. Banyak juga orang yang menjadi sadar diri setelah kepadanya diajukan pertanyaan ini.
Yang terpenting bukan mana yang lebih besar dan utama, pakah profesi lebih besar dari panggilan ataukah sebaliknya. Yang utama adalah seberapa besar komitmen kita terhadap panggilan untuk menyuarakan panggilan dan seruan kenabian yang telah Allah berikan kepada kita. Selain itu, apakah semangat zaman yang semakin materialistis ini mampu mengaburkan bahkan menyimpangkan kita dari jalur dan jalan panggilan kita itu yang perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Berputar-putar dalam retorika hanya akan membuat kita terkungkung dan stagnan. Yang paling penting dan utama adalah bertindak mewujudkan panggilan! Act sounds louder than words.

Minggu, 17 Februari 2008

Valetine Day: Must We Celebrate?

Valentine Day:Yes or No?

Valentine Day atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Hari Kasih Sayang (?) benar-benar merupakan sesuatu yang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, hari yang selalu diperingati pada 14 Febuari di seluruh muka bumi oleh sangat banyak manusia, selalu dinanti-natikan kedatangannya dengan perasaan sangat antusias. Sampai-sampai, antusiasme menanti kedatangannya mengalahkan antusiasme menunggu bis atau kereta yang akan kita tumpangi untuk menuju ke tempat kerja, sekolah atau kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya sehari-hari. Rasanya hampir tidak ada omelan, keluhan atau reaksi-reaksi negative lainnya ketika menunggu datangnya hari ini dibandingkan dengan ketika menunggu bis, angkutan yang hampir selalu diwarnai dengan berbagai omelan dan keluhan ketidakpuasan. Ini benar-benar fenomenal bagi yang, memang sengaja menunggu kedatangan hari ini ataupun yang tidak sedang bahkan yang bersumpah tidak akan pernah menunggu kedatangannya.
Fenomena Valentine Day sangat terasa dalam segala lini kehidupan-terutama dikalangan muda (walaupun tidak semuanya, karena ada kaum muda yang memang mengambil sikap dan posisi untuk tidak ikut larut di dalam euforianya karena berbagai alasan) karena mampu menggerakkan sangat banyak orang di seluruh penjuru dunia dalam dan pada waktu yang bersamaan dalam naungan satu tema besar-kasih sayang (?). Semua segi dan lini kehidupan bergerak. Roda perekonomian dibuat menggeliat karena ada banyak perilaku baru (sebenarnya bukan baru) dalam dunia perniagaan dan bisnis-munculnya promosi besar-besaran dengan mengedepankan “harga miring” dengan mengatasnamakan kasih sayang kepada konsumen. Geliat ekonomi dibarengi pula dengan berubahnya suasana (tampilan luar) yang tiba-tiba saja secara sistematis berubah menjadi all pink yang dipercayai (atau diindoktrinasikan) sebagai lamabang cinta kasih (?). Selain itu, perubahan perilaku dan hubungan pribadi antara orang-orang, yang umumnya, sedang kasmaran atau yang kebetulan kurang memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hati kepada lawan jenisnya juga turut mengemuka. Mereka, menjelang momentum ini, menjadi lebih romantis bahkan ada yang menjadi semakin “berani” berekspresi. Pendek kata, dinamika kehidupan social dan bisnis turut “bergelora” karena hari ini.

Menyikapi Valentine Day
Sebagai sebuah fenomena global, Valentine Day, mengundang dan memunculkan beragam opini dan respon atas kemunculannya. Respon, lazimnya, ada yang positif dan negative. Yang positif, karena berbagai sebab dan alasan mengatakan hari ini memang layak diperingati dan dirayakan secara besar-besaran untuk mengekspresikan rasa cinta kasih. Sedangkan yang negative atau kontra, menyatakan, karena berbagai alasan dan pertimbangan, tidak perlu memikirkan apalagi ikut larut dalam hingar-bingar perayaan hari kasih saying ini. Pemikiran dibalik pernyataan sikap kontra umumnya dilandaskan pada agama dan akidah agama. Selain itu, akibat yang mungkin ditimbulkan dari perayaan ini seperti terpicunya perilaku seks bebas, penyebarluasan HIV/AIDS juga dilontarkan sebagai sesuatu yang melatarbelakangi pernyataan sikap kontra ini. Inti dibalik sikap kontra ini adalah kekikutsertaan dalam perayaan hari Valentine sama sekali tidak berkontribusi positif bahkan berpotensi mengarahkan kepada sikap dan perbuatan negative (?). Pendek kata, manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan ketidakbergunaannya.
Pernyataan sikap, apakah yang pro atau kontra, sepenuhnya adalah hak dari setiap orang atau lembaga. Perseorangan ataupun lembaga tentunya memiliki argumennya sendiri atas dasar pertimbangannya sendiri juga. Selalu ada alasan dibalik setiap perbuatan dan tindakan. Sebagai analogi untuk menilai betapa sikap yang pro dan kontra memiliki kebenarannya sendiri-sendiri (apapun alasannya) dan tidak bisa saling dipaksakan bisa kita pakai kasus orangtua dan pisau. Orang tua yang takut anaknya teriris pisau apalagi kalau dia tahu bahwa pisau itu dibuat oleh orang jahat untuk tujuan jahat yang terselubung, “wajarlah” kalau orangtua melarang anaknya untuk tidak membeli dan bermain dengan pisau itu. Orangtua takut anaknya terluka dan pada akhirnya “dilukai” karena sang pembuat pisau diketahui (oleh orangtua) berniat tidak baik dengan membuat pisau itu. Sebaliknya, orangtua yang, karena beberapa hal dan pengalaman, bersikap lebih moderat, mengizinkan anaknya untuk membeli dan bermain dengan pisau itu dengan terlebih dulu memberikan wawasan tentang bahaya yang berpontensi timbul sebagai akibat dari bermain-main belati secara sembarangan dan tidak hati-hati baik bagi diri sang anak sendiri maupun bagi orang lain yang ada di dekatnya dan di sekelilingnya.
Analogi di atas paling tidak bisa memberikan gambaran kepada kita untuk secara luas memahami esensi dari sebuah masalah yang untuk dan kepadanya kita bersikap, alasan dibalik sikap positif atau negative kita terhadap sebuah pokok permasalahan dalam hal ini perayaan Valentine Day, dan apa konsekuensi serta tindakan lanjutan (follow up) kita setalah mengeluarkan satu sikap yang kita jadikan sebagai sikap komunal dalam lingkup keluarga. Sekali lagi, yang pro dan kontra, pasti memiliki alasannya sendiri-sendiri ,dalilnya sendiri-sendiri dan kepentingannya sendiri-sendiri juga. Semua orang bebas beropini. Yang tidak bebas adalah memaksakan opini dan sikap kita kepada orang lain supaya mereka turut menganut sikap kita. Lalu apakah ini pertanda bahwa semua boleh dilakukan? Tentunya, jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, jika sebuah tindakan dilakukan atas dasar yang benar dan tidak jika dasar kebenaran dibalik tindakan tidak ada atau sangat minim. Ya dan tidak atau boleh tidaknya sesuatu dilakukan bukan semata-mata hanya karena sesuatu itu baik. Yang baik belum tentu benar dan bermanfaat. Itu saja ukurannya. Ini bukan berarti kita berdiri pada bidang abu-abu yang serba permisif. Kita tetap berpijak pada hitam dan putih. Sikap kita harus hitam atau putih bukan abu-abu. Pun begitu, kita tetap perlu tahu bidang abu-abunya.
Ironis sekali kalau kita hanya memaksakan sikap dan pikaran kita yang hitam atau putih tetapi ketika ditanyakan alasan sesungguhnya dibalik hitam putih sikap kita itu hanyalah “sikap warisan”. Kita mewarisi sikap hitam atau putih dari para pendahulu kita tanpa memeriksa kembali apakah sikap itu masih relevan atau tidak untuk konteks masa kini. Akan tetapi, bersikap putih secara membabi buta juga sangat tidak baik karena babi yang buta selalu tidak bisa melihat apa yang ada di depan, di belakang, dan di samping kanan-kirinya. Sikap membabi buta hanya akan membuat kita terperosok ke dalam lubang dan kubangan kesulitan, sama seperti babi. Toleransi adalah satu kunci bisa bersikap benar dan bisa menerima sikap orang lain yang berbeda dengan kita tanpa harus saling menyakiti dan merendahkan. Sekali lagi, masing-masing memiliki alasan dan dasar pijakan. Namun begitu, toleransi tidak harus dan memang tidak boleh mengorbankan keyakinan yang kita anut selama ini dan akidah-akidah yang ada di dalamnya. Jika, atas nama toleransi, kita mengorbankan apa yang kita yakini dan pegang teguh selama ini, kita sebenarnya sedang terjerumus ke dalam bidang abu-abu. Over and over again, perbedaan tidak haris disikapi dengan berbuat dan mengeluarkan statement menyakitkan kepada pihak-pihak yang berbeda dengan kita. Itu bukan jalan melainkan awal dari sebuah kekacauan besar!

Tangan-Tangan di Balik Valentine Day
Munculnya Valentine Day sebagai sebuah fenomena global tentunya tidak lepas dari adanya tangan-tangan yang membuatnya sebagai fenomena budaya dan menjadikan manusia-manusia tertentu hanya sebagai mangsa yang mendatangkan keuntungan. Tangan-tangan yang saya maksud adalah kapitalisme. Saya menunjuk kapitalisme sebagai sebuah kekuatan global (tanpa menuding dan menunjuk hidung kelompok-kelompok tertentu seperti Yahudi, Amerika, Zionisme karena saya tidak/belum punya bukti materi) yang harus kita akui mampu menancapkan kukunya dengan sangat dalam di seluruh penjuru dunia atas dan terhadap banyak (bukan semua) orang.
Kekuatan kapitalisme global mampu merekayasa sedemikian rupa Valentine Day sehingga hampir-hampir menjadi sebuah hegemoni dan untuk beberapa orang bahkan menjadi kultus.Tujuannya hanya satu-keuntungan materi. Valentine didandani sedemikian rupa sehingga tampil menawan yang membuat para muda kesengsem berat dan tidak bisa berpikir. Tangan-tangan kapitalisme, dengan mendandani valentine day sedemikan rupa, (seolah-olah) memberikan nuansa baru dalam kehidupan. Semua serba indah, serba romantic, serba indah, dsb yang sangat membuai dan melambungkan harapan untuk sesaat. Memang, faktanya, kepiawaian tangan-tangan kapitalisme ini, pada tataran praktis berpotensi menimbulkan penyelewengan sikap dan tindakan. Orang-orang yang tidak sensitive dan yang pikirannya begitu dikuasai oleh impian romantisme sesaat tidak tertutup kemungkinan untuk jatuh ke dalam dosa seks bebas, drugs dsb. Akan tetapi, tidak semua yang ikut merayakan valentine melakukan yang seperti itu. Kita harus adail dalam memberikan penilaian. Menilai secara berimbang dengan pemikiran tulus dan bersih akan membuat kita obyektif dan jauh dari narsis. Tangan dan kekuatan global kapitalisme inilah yang sebanarnya harus kita hadapi bersama-sama karena faktanya, kekuatan ini mampu menguasai dan memanipulasi paling tidak 3 hari besar/raya keagamaan-Idul Fitri, Natal, dan Imlek untuk mendapatkan tujuan mereka-keuntungan.

Valentine Day: Pertanyaan
Valentine dimaknai oleh sangat banyak orang di seluruh penjuru bumi sebagai momen untuk menyatakan kasih. Namun sayangnya, kasih yang dinyatakan hanyalah sebuah kasih yang terbatas dan seringkali juga memiliki berbagai tendesi di dalam dan di baliknya. Hakikat kasih dan cinta, dalam perayaa-perayaannya, hanya dibatasi oleh gemerlap sebuah pesta dan romantisme sesaat. Kasih yang diungkapkan begitu terbatas karena kebanyakan orang yang merayakannya sudah memiliki obyek atau tujuan yang kepadanya kasih layak diberikan. Kaisih dalam perayaan Valentine menjadi sesuatu yang sangat kaku karena ruang lingkupnya yang terbatas dan dibatasi serta tidak menyentuh hakikat yang sesungguhnya-kasih untuk dan kepada sesama yang papa dan menderita. Mereka yang papa justru hanya menjadi penonton meriahnya pesta dan romantisnya suasana sementara mereka yang punya kasih justru cenderung larut dalam temaram sinar-sinar lampu dan semerbak aroma mawar. Kasih pada perayaan Valentine, pada umunya, tidak dan bukan seperti kasih seorang Samaria yang baik hati yang dengan sukarela mengulurkan tangan sebagai bentuk ekspresi kasih yang memang mengasihi karena lahir dari penghayatan mengenai yang hakikat dan hakiki.
Walaupun secara praktis, perayaan peringatan Valentine umumnya kurang membumi dalam pengertian kurang bisa mencapai yang hakiki dan hakikat—memberikan kasih kepada yang benar-benar membutuhkan dan secara obyektif layak menjadi “obyek” kasih, bukan berarti hari ini tidak memiliki nilai plus sama sekali. Nilai plus itu memang tidak bisa kita paksakan diukur dengan pandangan kita akan tetapi paling tidak hari ini bisa dijadikan titik awal sebuah pembelajaran tentang kasih dan mengasihi dalam arti yang sesungguhnya yang lepas dari hiruk pikuk pesta pora dan perilaku-perilaku menyimpang sebagai kurangnya pemahaman yang diberikan tentang yang hakikat dan hakiki.
Bagaimanapun juga, sikap kelewat keras terhadap perayaan hari ini justru akan berakibat kurang baik dan memndidik. Akan jauh lebih baik dan bermanfaat kalau kita terlebih para pemuka agama (yang sependapat dengan adanya hari dan perayaan hari ini-valentine) memanfaatkan momen ini untuk meletakkan suatu dasar dan pemahaman yang benar tentang hari ini untuk menanamkan kepdulian kepada sesame dalam arti luas. Paling tidak ini adalah upaya kontekstualisasi pengajaran nilai-nilai keagamaan. Pun begitu, kontekstualisasi tidak boleh dipahami sebagai dikorbankannya akidah agama dan menjadi momok super menakutkan. Mengajarkan nilai-nilai pada masa kini membutuhkan media dan cara yang lebih komunikatif.
Meletakkan dasar pengajaran yang benar dengan atau melalui media yang komunikatif (kontekstualisasi) akan sangat membantu pembentukan sikap dan perilaku orang yang diajar. Sebuah larangan Jauh lebih mudah dimengerti ketika disampaikan dengan memberikan alasan-alasan yang proporsional dan multi arah. Artinya, selalu ada dasar yang bisa dipertanggung jawabkan dibalik sebuah larangan. Multi arah artinya, orang yang diajar diberikan keleluasaan untuk bertanya dan mempertanyakan alasan yang diberikan bahkan diberikan kesempatan untuk berbeda pandangan. Tidak cukup baik jika kita mengatakan kepada seorang anak untuk tidak memegang api hanya karena api itu panas tetapi tidak mempunyai jawaban lain yang rasional ketika ditanyakan kenapa api itu panas. Ironisnya, kalau karena tidak mempunyai cukup alasan dan wawasan “orangtua” menutup dengan jawaban yang kurang operasional seperti,”sudah dari sononya seperti itu!”
Dalam kaitannya dengan valentine day, “orangtua” dalam hal ini para pemuka agama-semua agama dituntut untuk mampu dan kreatif meyampaikan pengajaran dan dasar kenapa ia membolehkan dan melarang “anak-anaknya” merayakan valentine. Kemampuan memang mau tidak mau merupakan kompetensi yang memang harus dimiliki oleh seoarang pengajar sebagai tuntutan zaman. Tanpa kemampuan untuk memberikan pengajaran yang benar dengan didukung oleh kepiawaian memilih media pengajaran yang komunikatif, pengajaran-pengajaran nilai-nilai agama berpotensi menimbulkan gesekan dengan kelompok yang berbeda. Yang harus dan perlu disadari oleh para pengajar-pemuka agama adalah di dalam perbedaan itu ada nilai-nilai yang indah jika disikapi dengan benar dan dengan alasan yang benar. Valentine hanya satu contoh bagaimana kita harus mengelola perbedaan pandangan tanpa harus merasa disakiti dan menyakiti pihak lain. Sekali lagi, yang jauh lebih penting untuk ditanamkan adalah pengertian dan alasan. Kalau kita memang pro dengan valentine, apa dasar dan alasannya, kalau tidak, kenapa kita bersikap seperti itu dan bagaimana bersikap kepada mereka yang pro valentine. So, being tolerant adalah kuncinya. Jangan memaksa kalau tidak mau dipaksa. Jangan memaki kalau tidak mau dimaki. That’s all.

“Act Sounds Louder than Words”

Minggu, 03 Februari 2008

The Irony of SBY-JK Berpoco-poco, Mega Berdansa

SBY-JK Berpoco-Poco, Mega Berdansa

Jawa Pos edisi Sabtu 2 Febuari 2008 memuat sebuah berita pendek tentang tanggapan Wapres Jusuf Kalla terhadap tudingan mantan presiden Megawati yang kini tengah getol melakukan safari politik untuk menggalang suara dan kekuatan yang akan dijadikannya sebagai kendaraan politik untuk bisa menduduki kembali kursi RI-1. Dalam tudingannya, Mega mengatakan pemerintahan yang dikomandani oleh SBY-JK tak ubahnya seperti menari Poco-Poco-maju selangkah mundur selangkah, maju dua langkah mundurnya juga dua langkah. Singkatnya Mega mengatakan the incumbent government saat ini tidak tegas alias gampang bimbang dan ragu-ragu. Akibatnya, kondisi bangsa ini saat ini semakin tidak menentu.
Menanggapi “sentilan” Ibu Mega, Wapres Jusuf Kalla, bukan Jarwo Kuat, mengatakan kalau pemerintahan saat ini dikatakan menari Poco-Poco, pemerintahan ketika Ibu Mega berkuasa dulu diibaratkan menari dansa-muter-muter di tempat, tidak ada kemajuan. Jawaban Jusuf Kalla tentunya mempunyai dasar (paling tidak dari sudut pandang penguasa saat ini). Paling tidak, baik Mega maupun JK sama-sam mempunyai alasan dibalik pernyataan yang mereka lontarkan. Selain itu, masing-masing tentu mempunyai tujuan. At least, Mega berusaha menunjukkan kepada public kalau pemerintahan saat ini kurang baik dan berpihak kepada rakyat, sementera itu BApak JK mungkin sedang menepis perkataan Mega dengan mengatakan secara tidak langsung,” Kalau Anda memilai pemerintahan saat ini tidak becus, pemerintahan Anda dulu juga tidak.”

Tontonan yang Tidak Berguna
Aneh tapi tidak lucu, itulah pendapat saya tentang yang dilakukan oleh dua tokoh nasional negeri ini. Mereka berdua cenderung kekanak-kanakan dan kurang gentle menghadapi kondisi yang ada saat ini. Kurang pantas kiranya, sekali lagi menurut saya, kalau dua orang yang pernah dan yang sedang memimpin negeri ini yang sedang sekarat menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung berkurang justru eker-ekeran untuk sesuatu yang sangat tidak berguna.
Ibu Mega pastinya tidak akan memperoleh apapun bahkan simpati dari khalayak hanya dengan melontarkan ejekan-ejekan yang ditujukan kepada pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Yang bisa dibaca dengan jelas dibalik statement Ibu Mega hanyalah upaya tebar pesona untuk mendulang simpati dan suara yang bisa mengantarkan beliau ke kursi RI-1 kembali. Upaya memperoleh simpati dengan melakukan cara-cara seperti ini dengan tidak mau berkaca kepada masa pemerintahannya hanya menyajikan sebuah tontonan tak ubahnya seperti Republik Mimpi yang rakyat dan pemerintahannya hanya Baru Bisa Mimpi. Eker-ekeran murahan seperti ini tak ubahnya seperti yang dalam pepatah Jawa dikatakan sebagai “Rebutan Balung Tanpa Isi”. Bu Mega, yang pernah saya kagumi dan pilih ternyata saat ini tidak jauh berbeda dengan Ibu Mega Karti dalam Republik Mimpi.
Penyakit umum yang mengancam umat manusia tetapi tidak pernah disadari oleh masing-masing manusia adalah narsisme. Manusia merasa dirinya paling baik, pemerintahannya paling baik dan berpihak kepada rakyat. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang menilai dan siapa rakyat yang selalu dijadikan sebagi rujukan. Ketika seorang ayah/ibu did lam rumah tangga dan keluarga menilai apa yang sudah dilakukannya adalah yang terbaik sebenarnya jka dibandingkan dengan ibu/bapak dalam keluarga lain, penilaian itu adalah sesuatu yang subyektif bahkan narsis. Apalagi kalau anggota keluarga tidak pernah diberikan kesempatan untuk secara jujur mengatakan penilaiannya sekali lagi itu semua hanyalah satu bentuk narsisme. Biarkan rakyat (bukan konstituen bukan pula kader partai) yang menilai, maka kita akan tahu jawaban yang sesuangguhnya tentang siapa dan apa kita.
Kebulatan tekad untuk menjadi oposisi tentunya sangat baik dan sebuah pilihan yang mulia, menurut saya. Pun begitu, control yang dilakukan oleh oposisi terhadap pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak seharusnya dilandasi oleh rasa sakit hati karena pemimpin yang sekarang dulunya adalah anak buah yang dianggap sebagai Brutus. Koreksi oposisi terhadap semua kebijakan pemerintah yang berkuasa (the incumbent) HARUS dilontarkan sesuai dengan aspirasi rakyat (sekali lagi buka konstituen atau kader partai) dan untuk kepentingan RAKYAT itu sendiri. Oposisi bukan sebuah hal yang haram dan bagi saya memang sudah waktunya ada di negeri ini karena dengan begitu ada yang mengawasi dan menyentil pemerintah dengan segala kebijakannya. Namun begitu, oposisi yang diperlukan saat ini adalah oposisi yang berpihak kepada rakyat dan pastinya berani berkaca. Kalau kaca yang dipakai oposisi adalah kaca/cermin yang bersih dan baik tentunya tidak akan pernah ada pepatah buruk rupa cermin dibelah.”
Hidup seringkali diibaratkan bagai sebuah biduk yang menagrungi lautan. Ada ombak dan badai yang tidak pernah terduga dating dan perginya. Seperti itu juga kehidupan bernegara. Sebagai sebuah keluarga yang sedang menghadapi masalah, seharusnya dan selayaknya semua orang bersatu dengan dipimpin oleh sang kepala keluarga. Banyak memang kepala keluarga yang tidak siap menghadapi kondisi dan perubahan yang sangat drastic-panik.
Dalam kepanikan, seringkali penumpang dalam sebuah perahu berteriak-teriak. Teriakan mereka ada yang menyakitkan ketika sampai ditelinga sang nahkoda. Disinilah kehandalan sang nahkoda dituntut-mengendalikan diri. Jika seorang nahkoda terlalu cepat meresponi secara negative teriakan anggota keluarganya dengan balas bersikap negative inilah yang terjadi-saur manuk dan rebutan balung tanpa isi. Belum tentu teriakan menyakitkan itu tidak benar. DAripada mati-matian berusaha membela diri, ada baiknya kalau sang nahkoda memusatkan diri untuk membawa biduk yang dikemudikannya ke tujuan dan supaya tidak karam. Teriakan-teriakan semacam itu sebisa mungkin direndam atau kalau perlu tidak didengarkan karena hanya akan menganggu konsentrasi semua orang-bukan hanya sang nahkoda. Mungkin alasan klasik yang dipakai untuk membenarkan tindakan balas meneriakkan nada sumbang/minor adalah :”Nahkoda juga manusia!
Hentikan Semua
“Bapak, Ibu yang terhormat, sudahlah. Hentikan saling ejek dan saling memaki. Kita sedang sulit dan hamper tenggelam. Ibu, sejujurnya ada hal-hal baik yang Ibu lakukan ketika Ibu berkuasa tetapi ada juga yang tidak baik juga ketika Ibu berkuasa.”
“Bapak, sudahlah. Jangan tipis kuping begitu. Dengarkan apa yang Ibu katakan, lalu kita pikirkan bersama bagaimana baiknya. Bapak, harga-harga yang makin menggila dan banjir dimana-mana itu jauh lebih penting untuk dipikirkan. Simpan saja kegusaran karena teriakan Ibu. Bapak, rakyat butuh makan dan kepastian. Bapak, banjir juga perlu segera dikeringkan. Janganlah selalu beralasan pemansan globallah penyebabnya. Bapak dan Ibu sudah waktunya kita menjadi orang dan manusia dewasa untuk menghadapi krisis ini, derita ini dan ketidakpastian ini. Ibu, seandainya memang Ibu tidakpernah senang dengan apa yang dilakukan Bapak saat ini, tahan dulu lah. Lihatlah kami anak-anakmu sedang merana dalam ketidakpastian. Kok tega-teganya kalian “malah bermain sandiwara”.
Perseteruan semacam ini hanya layak dipertontonkan dalam Republik Mimpi. Kalau mereka yang menyajikan pasti akan jadi tontonan yang menggelikan sekaligus mengundang kita untuk berpikir. Hal semacam ini memang layak mereka pertontonkan karena mereka memang qualified untuk itu. Sebaliknya, kalau pertunjukan semacam ini dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional, saya sebagai anak, hanya akan bertanya teladan apa sebenarnya yang sedang diajarkan. Yang sedang diajarkan saat ini tidak ubahnya hanya sebuah kemunafikan. Munafik karena tidak pernah mau melihat keburukan diri sendiri dan selalu melihat keburukan orang lain jauh lebih besar dari keburukan kita sendiri. Yang jelas, sebagi rakyat biasa, kamilah yang bisa menilai secara obyektif baik tidaknya yang Bapak dan Ibu lakukan. Memang kami tidak punya angka-angka statistic tapi kami punya nurani. Bukan zamannya lagi mencari popularitas dengan black campaign. Memang 2009 sudah sangat dekat dan kursi yang diperebutkan memang sangat menggiurkan. Tetapi satu hal yang pelu diingat adalah rakyat saat ini bikan yang dulu lagi yang mudah dibodohi dengan berbagai slogan dan rayuan kosong. Intinya, semakin agresif Bapak/Ibu melakukan black campaign semakin jauh hati kami dari Bapak/Ibu.
Tulisan ini bukan saya tujukan untuk menyerang tokoh-tokon nasional karena dengan sejujurnya dan segala kesadaran saya sangat mengetahui siapa diri dan keberadaan saya.Pun begitu sebagai rakyat dan sebagai anak bangsa ini, saya hanya berusaha menyampaikan apa yang saya dan mungkin jutaan orang di negeri ini rasakan, bahwa tidak sepantasnya sandiwara semacam itu dipertontonkan dalam kondisi yang serba sulit ini. Kenap kita tidak bersatu dan bergandeng tangan untuk bersama-sama keluar dari segala kemelut ini supaya kita tidak hanya bisa menjadi sebuah bangsa yang hanya Baru Bisa Mimpi. Kalau ini tercapai, maka parody Republic Mimpi akan hilang dengan sendirinya tanpa harus dihlangkan secara paksa. Kita bangsa yang besar dan saya yakin, bersama kita bisa menjadi bangsa yang idak hanya bisa mimpi. Kita sendiri yang menentukan nasib bangsa dan negeri ini. Sekaranglah waktunya untuk bersatu tau kalau tidak kita akan menyesal selamanya!!!!

Senin, 14 Januari 2008

Tempe: The Fall of the Last Fortress

Tempe: Runtuhnya Benteng Terakhir

Tempe dan Fast Food: Siap Suka, Siapa Menang?
Tempe, mungkin dulu dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan-ungkapan semacam,”Dasar otak tempe.” Paling tidak pernyataan ini adalah bukti cultural betapa rendahnya nilai tempe di mata masyarakat kita. Mungkin, sekali lgi mungkin, sebagian besar masyarakat kita menganggap tempe hanya barang murahan (?) dan kurang bergengsi dibandingkan dengan fast food (junk food) seperti KFC, Mc.Donald , Wendys dsb.

Transisi budaya dan perubahan dari masayarakat agraris menjadi masayarakat industry yang melanda bangasa ini tidak dibarengi dengan kesiapan dan kesigapan cultural termasuk dalam hal makanan. Bangsa ini , sejak masuk dan merajalelanya francise-francise atau waralaba-waralaba asing, sejak dini mulai dididik dalam pola makan instan. Fast food mulai menjadi “raja”. Balita sampai kakek-nenek semua , minimal tahu apa itu KFC. Bahkan ironisnya, anak-anak, dalam pertumbuhan dan perkembanganya, lebih dikenalkan (tepatnya korban) kepada budaya makan makanan cepat saji yang dari sisi kesehatan terbukti kurang baik tetapi menang dari sisi prestise dan gengsi. Hampir tidak ada, kalau diberikan kebebasan memilih, anak-anak yang dengan sukarela memilih warung masakan Padang, Jawa sebagai tempat favorit. Alasannya yang paling umum, tempat-tempat seperti itu kurang gaya dan gak gaul.

Salah asuhan cultural semacam ini tidak hanya menjadi “penyakit” yang menjangkiti dan sengaja ditularkan kepada balita dan anak-anak. Khalayak umum terutama golongan ABG dan muda (bahkan Bapak dan Ibu mereka) sudah terkontaminasi dengan “virus” fast food minded. Akibatnya, tempe tidak hanya dipandang sebelah mata tetapi juga dianggap tidak ada. Tempe kebanyakan diidentikkan dengan golongan proletar, wong ndeso dan yang nyerempet-nyerempet dengan kesan kurang positif. Sikap cultural semacam ini dimanfaatkan oleh tetangga yang bisa “melihat peluang”. Tempe dipatenkan oleh Jepang! Nah lho. Ternyata tetangga kita itu ternyata jauh lebih jeli melihat peluang daripada kita yang secara de facto dan (seharusnya) de yure memang pemilik warisan budaya tersebut. Tempe oh tempe, nasibmu kini.

Tempe Menggoyang Istana
Ironi tempe d an tahu rupanya bukan hanya terjadi ditingkat kelembagaan (dipatenkannya tepe oleh Negara lain) tetapi saat ini ditingkat operasional. Artinya, yang terjadi saat ini adalah tempe dan tahu hilang dari pasaran. Masyarakat umum kelabakan karena tempe, sang benteng terakhir, untuk alternative lauk murah meriah tetapi menyehatkan kini runtuh. Runtuhnya benteng pertahanan terakhir-tempe semakin memperparah kondisi golongan proletar (rakyat miskin) yang dengannya tempe diidentikkan. Tidak ada lagi yang murah. Sembako mahal. Telur dan minyak goreng mahal. Krupuk ikut-ikutan mahal karena harga tepung dan minyak goreng yang makin melambung. Komoditas-komoditas itu bukan tidak terbeli tetapi rasionya dengan angka kecukupan untuk komsusmsi keluarga sangat dipertanyakan. Tidak ada lagi tempe tahu seharga Rp2000 yang cukup untuk lauk 2-3 orang dalam satu keluarga. Kalau yang murah tetapi menyehatkan saja sudah tidak ada lagi, lalu masih adalgikah alternative lauk lain yang nilai dan kualitasnya sama dengan tahu tempe? Ataukah memang kita harus selalu bertanya kepada rumput yang bergoyang dan kepada Tuhan?
Raibnya tahu tempe dari pasaran bukan tanpa sebab. Mereka hilang bukan karena ditimbun oleh para spekulan nakal yang akan memanfaatkan momen kenaikan harga untuk mengeruk keuntungan. Tempe dan tahu bukan BBM yang bisa ditimbun dan dimainkan pada saat yang tepat melainkan sebuah produk yang harus segera disajikan pada saat yang tepat. Tempe dan tahu hilang dar peredaran karena para pengusahanya tidak lagi bisa berproduksi. Harga kedelai mahal, naik 100% dari sebelumnya. Kenaikan harga yang sebenarnya sudah terjadi beberapa bulan lalu memaksa para pengusaha yang terus-menerus dengan berbagai trik mencoba bertahan akhirnya terpaksa tunduk kepada “nasib”. Mereka gulung tikar satu persatu.
Naiknya harga kedelai yang sangat fantastis dan gulung tikarnya para pengusaha tempe dan tahu memaksa mereka mengadukan nasib ke istana presiden yag mulia. Mereka, tidak perlu dihitung jumlah personnya, bersama-sama menjerit di depan istana presiden “HANYA” untuk mengadukan masalah yang mereka hadapi. Mereka ingin tetap dan terus hidup sebagaimana masyarakat lainnya juga bisa tetap hidup. Para pengusaha itu, ingin tetap bisa hidup dan menghidupi keluarga mereka juga karyawan dan keluarganya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah istana yang mulia mau (pastinya mau dan harus mau) mendengarkan keluh kesah mereka dan memberikan solusi supaya mereka (para pengusaha tempe) dan pedagang yang menggantungkan hidup darinya bisa hidup kembali. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua masalah harus diteriakkan ke telinga penguasa tertinggi negeri ini untuk mendapatkan perhatian. Kalau memang ini yang terjadi, lalu apa pekerjaan para pembantu penguasa/presiden yang tinggal di istana? Pak Presiden, apakah di istana masih punya banyak stok tempe dan tahu?
Sepanjang sejarah bangsa ini, baru kali ini istana presiden digoyang oleh isu tempe. Goyangan isu ini membuktikan kalau negeri ini dihuni oleh para penduduk (termasuk saya) miskin yang dengannya tempe selalu diidentikkan. Hilangnya tempe dan tahu dari pasaran semakin memperparah kondisi yang sudah semakin buruk. Ini justru kontras dengan pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan selama ini. Isu tempe, kalau tidak disikapai dengan cepat, tepat dan arif bukan tidak mungkin akan semakin menurunkan popularitas pemimpin negeri ii yang berakibat 2009 Beliau-beliau tidak akan dipilih lagi. Sopan santun bangsa kita untuk tetap dan terus nerimo apa yang ada saya rasa ada batasnya. Masalah kelangkaan tempe dan tahu ini bukan tidak mungkin mengarahkan sikap bangsa ini untuk tidak simpati lagi terhadap pemimpin dan kepemimpinan nasional. Adakah dari para pembesar negeri yang bisa mengatakan:” Stok tahu, tempe, terutama kedelai aman untuk …hari ke depan,” Seperti ketika mereka menghibur rakyat ketika terjadi kelangkaan BBM?
Tempe menggoyang istana bisa dijadikan bahan tertawaan dan caci maki oleh negera-negara tetangga yang tidak bersahabat atau yang pura-pura bersahabat. Mereka bisa meresa over confidence dan superior karena melihat fakta semacam ini. Kalau ngurusi tempe saja kurang terampil apalagi berdiplomasi untuk kepentingan Negara dan bangsa yang kebanyakan rakyatnya adalah pemakan temped an tahu. Pun begitu, itu hanyalah sebuah pengandaian yang saya berikan (dan semoga tidak benar-benar terjadi). Pengandaian ini jelas-jelas bukan parody melainkan ungkapan hati yang timbul karena melihat fakta-fakta yang sudah ada (lepasnya Sipadan dan Ligitan, Kasus Blok Ambalat, dll). Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, ternyata tahu dan tempe memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga mampu dan berani menggoyang istana. Tempe, betapa perkasanya dirimu!

Tempe dan Manajemen Krisis
Tempe dan manajemen krisis kelihatannya merupakan dua istilah yang sama sekali tidak saling berhubungan. Akan tetapi, saat ini keduanya benar-benar saling berhubungan. Hilangnya tempe dan tahu yang mengakibatkan kepanikan (bukan panic buying) memang harus segera ditangani. Kita sedang siaga satu dalam kasus kelangkaan tempe dan tahu. Mau tidak mau, suka atau tidak maslaah ini harus segera diupayakan pemecahannya secara arif dan bijaksana. Krisis temped an tahu melibatkan banyak orang yang terancam di dalamnya. Banyak orang terancam kehilangan mata pencarian dan pendapatan karena tidak berproduksinya “industry” tempe dan tahu dalam skala nasional. Krisis ini jika tidak segera ditangani dan dicarikan solusinya, sama dengan krisis-krisis lainnya, berpotensi menimbulkan masalah lain yang timbul sebagai dampak.
Dalam kasus ini, menurut ketua Asosiasi Pengusaha Tahu dan Tempe, seperti yang dinyatakan pagi ini (15 Januari 2008) dalam dialog pagi di Trans TV, yang diinginkan oleh pengusaha/pengrajin tahu dan tempe bukanlah manajemen krisis tetapi penanganan komprehensif dan terencana. Beliau menegaskan , yang dimiliki pemerintah saat ini adalah manajemen krisis bukan upaya pemberdayaan secara komprehensif. Pemerintah sebenarnya sudah mengetahui bahwa Amerika Serikat sebagai negera pengekspor 60% kebutuhan kedelai nasional sudah mengurangi luas lahan kedelainya dan dikonversikan dengan Jagung. Pun begitu, pemerintah tetap saja tidak bertindak sigap. Setelah kejadian (harga Kedelai naik 100%) baru kelabakan.
Dengan memegang dan menjunjung tinggi azas praduga tidak bersalah dan tanpa bermaksud menghakimi pemerintah hanya atas dasar statement di atas, saya sebagai warga negara dan konsumen tempe dan tahu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam hal pemberdayaan pertanian Indonesia dan pengusaha/pengerajin Tahu dan Tempe di negeri ini.
Ironi yang terjadi di bidang pertanian di negeri ini sekaligus yang mengundang pertanyaan adalah kenapa negeri seluas dan sesubur ini (atau tidak subur lagi (?)) hanya mampu memenuhi 30-40% kebutuhan Kedelai nasional. Parahnya lagi, 60% kekurangannya harus diimpor dari negera besar-Amerika Serikat. Memang, impor dengan kisaran yang sangat besar ini tidak perlu dikait-kaitkan dengan politik. Enam puluh persen bukan angka kecil untuk sebuah impor apalagi kalau yang diimpor adalah produk pertanian oleh Negara yang nota bene adalah Negara agraris seperti Indonesia. Apakah julukan sebagai negera agraris memang sudah tinggal kenangan. Kalaupun memang tinggal kenangan, lalu Negara apa kita ini-agraris bukan, industry juga bukan. Apakah kita harus dengan sukarela menyebut Negara kita ini sebagi Negara yang serba tanggung-tanggung melangkah, tanggung berusaha tetapi tidak tanggung-tanggung berhutang dan berkali-kali memohon-mohon pembebasan utang atau yang paling enteng penjadwalan kembali pembayaran hutang.
Seandainya pun kita masih boleh bermimpi, memimpikan kembalinya kejayaan sebagi negeri agraris yang di dalamnya ada swasembada dan surplus pangan yang memampukan kita kembali menjadi salah-satu pengekspor pangan terbesar yang diperhitungkan dunia bahkan ketika cadangan pangannya disumbangkan ke tetangga kanan -kiri pun kita masih tetap berjaya. Diakui atau tidak, factor ketahanan pangan suatu Negara sangat berkontribusi bagai diperhitungkan tidaknya suatu wilayah kedaulatan oleh wilayah kedaulatan lainnya. Ketahanan pangan berkorelasi erat dengan ketahanan nasional suatu Negara. Memang, ketahan pangan bukan satu-satunya factor yang menentukan ketahan nasional. Namun demikian, ketahan pangan harus diupayakan demi kesejahteraan rakyat.

Krisis Ini Salah Siapa?
Pertanyaan di atas adalah yang paling sering diajukan oleh oaring-orang tidak bijak ketika menghadapi masalah. Akan tetapi, bukan berarti pertanyaan ini tidak boleh diajukan dan dimunculkan. Alasannya, karena di negeri ini ada pemerintah yang dipilih untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa bernegara. Krisis Tahu dan tempe sebagai akaibat dari naiknya secara fantastis harga kedelai yang 60% diimpor dari USA karena berbagai alasan terutama mutu tidak bisa dilepaskan dari “kesalahan” pemerintah. Pemerintah kurang bisa memberdayakan sumber-sumber daya alam pertanian-lahan dan petani-petaninya.
Mengutip yang disampaikan oleh ketua Asosiasi Pengusaha Tahu dan Tempe bahwa kualitas Kedelai local kalah dibandingkan dengan Kedelai impor bisa dijadikan tolak ukur dan starting point oleh pemerintah untuk memberdayakan pertanian melalui teknologi. Saya, sebagai warga Negara, tidak pernah percaya kalau bangsa ini sedemikian bodohnya, sehingga untuk menghasilkan teknologi pengeringan Kedelai yang sesuai dengan baku mutu global tidak bisa.
Selain itu, disparitas harga Kedelai local dan impor yang kini sangat jauh berbeda bisa dijadikan langkah awal untuk momotivasi para petani memberdayakan lahannya (tidak semua lahan) untuk menanam Kedelai. Kalau dulu alasan petani local tidak mau menanam Kedelai adalah harganya yang terlalu rendah atau harga Kedelai impor jauh lebih murah, kini saatnya untuk menanam untuk memenuhi, walaupun belum semua, kebutuhan Kedelai minimal nasional. Yang diperlukan dari pemerintah, ketika semakin banyak lahan diberdayakan untuk menanam Kedelai adalah “perlindungan.” Artinya, ketika panen raya tiba harga tidak jatuh sehingga petani terpukul dan kapok menanam lagi karena biaya produksi dan harga jual tidak klop. Selain itu, pemberdayaan petani Kedelai dalam hal perlindungan juga harus diupayakan untuk tidak membuat petani manja yang sedikit-sedikit minta perlindungan. Yang perlu diberdayakan adalah kemampuan daya saing produk mereka dengan produk sejenis dari tempat lain.
Memang tidak mudah untuk melakukan perubahan semacam ini apalgi jika dikait-kaitkan dengan isu semakin singkatnya waktu kepemimpinan nasional. Perubahan yang kita harapkan ini bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Semuanya butuh diperjuangkan. Pemerintah berjuang mengupayakan berbagai alternative untuk memberdayakan petani dan hasil-hasil pertanian. Petani berusaha memberdayakan diri dengan meng-update diri dengan berbagai sarana yang ada. Terlebih lagi, harus ada bantuan yang bisa menjembatani kesenjangan antara petani dengan informasi. Intinya, petani Indonesia harus menjadi petani modern yang peka terhadap kebutuhannya sendiri. Sekali lagi, ini butuh kerja keras dan kemauan baik dari semua pihak. Tidak ada yang instan.
Saling menyalahkan dan saling tuding bukan cara yang bijak untuk menyelesaikan persoalan yang ada (krisis Kedelai). Saling menuding dan menyalahkan hanya akan menghabiskan banyak energy dan berpotensi menimbulkan sakit hati. Tidak salah kalau rakyat berteriak kepada penguasa dan orang-orang yang membantu sang penguasa karena mereka memang dipercaya untuk itu. Pemerintah tidak boleh tipis kuping. Kerjasama yang dilandasi saling percayalah yang bisa membantu kita keluar dari berbagai masalah. Akan jauh lebih baik dan sinergis kalau rakyat dan pemerintah saling bekerjasama karena pemerintah adalah bagian dari rakyat dan rakyat bagaian dari pemerintah dan pemerintahan. Semoga kemauan untuk berubah dan bersama-sama menumbuhkan iklim pertanian yang kondusif bisa membantu kita mencapai kembali swasembada dan surplus pangan sehingga dimasa mendatang tidak akan ada lagi dalam sejarah bangsa ini tempe menggoyang istana. Kapankah tanah yang subur sehingga tongkat kayu dan batu jadi tanaman bisa kita nikmati bersama sebagai satu bangsa? Kita sendirilah yang bisa menentukan.