Minggu, 24 Februari 2008

Man of God: Calling or Profession?

Hamba Tuhan: Panggilan atau Profesi?

Hamba Tuhan, panggilan atau profesi? Itulah pertanyaan yang belakangan ini muncul dibenak saya ketika membaca bagian akhir dari satu paragraph pendek dalam buku ”Konsep Karakter Kompetensi Kepmimpinan Kristen” yang ditulis oleh Sendjaya dan ditebitkan oleh Kairos Yogyakarta. Begini petikan paragraph tersebut:
Jadi, panggilan Allah tidak hanya terbatas pada panggilan menjadi Hamba Tuhan penuh waktu (ordained minister). Panggilan Allah dating kepada setiap kita dan manifestasinya terjadi di setiap profesi, meskipun calling tidak bisa direduksi menjadi profesi.
Bagian terakhir--calling tidak bisa direduksi menjadi profesi, adalah statement yang menurut saya, sebagai orang awam sangat menarik jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah Hamba Tuhan (man of God) itu panggilan atau profesi? Pertanyaan ini sangat menarik untuk direnungkan karena batas antara panggilan dan profesi seringkali tidak jelas dan bisa “menjebak” seseorang ke dalam lingkaran setan yang tidak berujung pangkal.

Panggilan atau Profesi ?
Tidak terlalu mudah memang untuk mengatakan apakah Hamba Tuhan adalah panggilan ataukah sebuah profesi. Jika kita membatasi profesi dari atau dengan sudaut pandang kamus besar Bahasa Indonesia, profesi, maknanya adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh suatu keahlian tertentu. Namun demikian, batasan praksis cenderung menambahkan satu unsur ke dalam definisi profesi –untuk mendapatkan sesuatu dari profesi/pekerjaan yang dilakukan. Memang ini adalah batasan praksis. Artinya, secara praktis, orang berharap untuk bisa to earn something atau to make money dengan melakukan pekerjaannya. Ini adalah hal yang wajar.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Hamba Tuhan masuk dalam kategori ini-profesi. Jawabannya bisa “ya” atau “tidak”. Pengertiannya, menurut saya sebagai seorang awam, “ya” dalam pengertian bahwa pada akhirnya, ketika seseorang yang telah ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu untuk melayani jemaat (?) maka ia pastilah masuk ke dalam lingkungan “dunia kerja” yang di dalamnya ada aturan-aturan dan norma-norma. Mau tidak mau, Hamba Tuhan dalam arti sempit (orang yang ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu di lingkungan yang terbatas-gereja) harus mengikuti jadwal kegiatan, peraturan-peraturan sinodal dan hal-hal lainnya seperti mengikuti perkumpulan profesi dan harus melakukan sesuai dengan apa yang digariskan (dituntut) oleh jemaat/majelis. Rutinitas semacam inilah yang bisa dijadikan sebagai indicator untuk mengacu Hamba Tuhan sebagai profesi.
Lalu bagaimana dengan criteria yang kedua—to make money? Ini memang gampang-gampang susah. Gampang dalam pengertian sudah sepantasnya dan seharusnya jika gereja atau jemaat memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan yang telah digariskan oleh organisasi-Sinode . Naif dan tidak adil kalau jemaat/gereja melalui majelis memberikan beban dan tuntutan tinggi kepada Hamba Tuhan sementara mereka (gereja/jemaat) hanya mau membayar rendah atau ala kadarnya. Yang ini keterlaluan!
Dalam hubungannya dengan making money, ada kasus-kasus yang ironisnya dilakukan oleh oknum-oknum Hamba Tuhan yang justru membuat orang lain menilai apa yang dilakukannya (tugas kependetaan) hanyalah sebuah profesi yang dijadikan alat untuk memakmurkan diri sendiri dengan memperalat Alkitab. Jangan pernah katakana ini tidak ada! Berapa banyak Hamba Tuhan yang selalu bertanya fasilitas apa yang akan diberikan, perpuluhannya masuk mana (untuk gereja-gereja tertentu perpuluhan memang menjadi sumber pendapatan gembala), basah keringnya posisi (tentunya dengan cara yang diplomatis). Hal-hal semacam ini merupakan reduksi panggilan. Artinya, oknum-oknum tertentu dengan sendirinya mereduksi panggilannya. Jika ini yang terjadi, bukan orang lain yang menjadikan Hamba Tuhan sebagai profesi (karena seringkali pembelaan yang dilontarkan adalah jemaat/majelislah yang membuat Hamba Tuhan sebagai profesi dan seorang Hamba Tuhan menjadi seorang professional).
“Tidak” sebagai jawaban untuk pertanyaan apakah Hamba Tuhan terkategori sebagai profesi bukanlah jawaban tanpa dasar. Dalam sebuah perbincangan denga beberapa mahasiswi tentang hal ini, mereka menyatakan bahwa Hamba Tuhan adalah panggilan. Memang, menurut mereka, realitas di lapangan menunjukkan adanya pergeseran dari panggilan ke profesi. Materi, fasilitas dan kenyamanan kerap kali membuat seseorang tergoda dan akhirnya jatuh ke dalam jurang materialisme berbalut baju dan jubah kependetaan dan pelayanan. Pun begitu, hal-hal semacam ini hanyalah kasus (tapi cukup signifikan dampaknya!) dan tidak bisa dijadikan standar untuk sebuah jastifikasi bahwa Hamba Tuhan adalah profesi.
Lalu apakah sebenarnya panggilan itu? Masih dari pembicaraan dengan beberapa rekan mahasiswa saya simpulkan bahwa panggilan adalah suara dari Allah yang meminta seseorang untuk melakukan tugas-tugas kenabian untuk menggembalakan umat manusia dan membawanya kepada Kristus sang juru selamat. Memang, cara dan media yang dipakai Allah untuk memanggil seseorang untuk menjadi hambaNya (dalam arti sempit Hamba Tuhan ) sangatlah beragam. Power dari panggilan itu sendiri pun beragam. Inti dari jawaban Hamba Tuhan bukan profesi adalah bagaimanapun kondisinya, sesulit apapun keadaannya, panggilan Allah adalah tetap panggilan. Panggilan ini pula yang oleh manusia sering kali dilembagakan sebagai sebuah profesi. Hamba Tuhan adalah panggilan walaupun secara praktis, karena berada dan beroperasi di lingkup organisasi (gereja, universitas, dsb), membuat seolah-olah panggilan itu menjadi sebuah profesi. Dalam kasus ini, sebenarnya tidak pernah terjadi reduksi panggilan. Yang terjadi adalah penaungan. Profesi menaungi panggilan karena alasan organisasionil. Satu hal yang perlu ditekankan, berkaitan dengan jawaban ini adalah, Hamba Tuhan adalah (tetap) panggilan tetapi Hamba Tuhan harus bertindak professional!

Hamba Tuhan Terdikotomi?
Dikotomi Hamba Tuhan sebagai profesi dan panggilan memang sangat dihindarkan pada kehidupan masa kini. Dikotomi ini seringkali mengarahkan kepada perdebatan tentang boleh tidaknya Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Ada beragam sikap dan pandangan tentang hal ini. Yang pro mengatakan Hamba Tuhan tidak boleh berbisnis. Statement ini disertai dengan argument-argumen dan ayat-ayat Alkitab yang mendukung (dijadikan pendukung). Sedangkan yang kontra menyatakan it’s ok Hamba Tuhan berbisnis. Statement ini tentunya juga di dukung oleh dan dengan berbagai argument. Perdebatan semacam ini memang seperti pertanyaan mana yang lebih dulu, telur atau ayam.
Sebagai seorang awam, saya berpendapat, baik-baik saja jika seorang Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Akan tetapi, kriterianya juga harus jelas. Jika jemaat memang terbukti secara obyektif belum bisa memberikan tunjangan hidup yang layak maka Hamba Tuhan bisa melakukan hal lain untuk menambah biaya pemenuhan kebutuhan keluarganya. Bagi yang kontra, hal semacam ini cenderung diartikan sebagai tidak mengandalkan dan beriman kepada Kristus. Ini sebenarnya adalah sebuah ketakutan besar. Yang kontra takut proses “mencari di tempat lain” bisa menggerogoti dan pada akhirnya menghilangkan panggilan kenabian seseorang. Ketakutan ini, bagi saya kurang beralasan. Bukankah tidak jarang orang-orang yang sudah berada dalam posisi mapan juga kehilangan panggilan. Bukankah Paulus, juga harus menjadi tukang tenda untuk menghidupi dirinya. Bagi Paulus, jauh lebih baik tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani. Apakah dengan berprofesi sebagai tukang tenda panggilan Paulus hilang? Tidak sama sekali! Intinya adalah, kita sendirilah yang paling mengetahui apakah panggilan kita sedang bergeser menjadi sebuah profesi dalam pengertian yang sempit karena berbagai alasan.

What Now
Jika kita bolak-balikkan pertanyaan, apakah Hamba Tuhan panggilan atau profesi ataukah profesi yang didasari oleh panggilan, jawabannya tentu sangat variatif. Tidak pernah salah kalau kita menyebut Hamba Tuhan sebagai profesi karena faktanya di dalam Kartu Tanda Penduduk yang ditulis adalah pekerjaan: Rohaniwan. Yang penting dan yang terutama adalah kita tidak terkungkung oleh pertanyaan-pertanyaan dan retorika-retorika yang diajukan oleh oranglain tentunya dengan alasan dan tujuannya sendiri-sendiri. Alasan dibalik pertanyaan semacam itu tidak selalu negative. Banyak juga orang yang menjadi sadar diri setelah kepadanya diajukan pertanyaan ini.
Yang terpenting bukan mana yang lebih besar dan utama, pakah profesi lebih besar dari panggilan ataukah sebaliknya. Yang utama adalah seberapa besar komitmen kita terhadap panggilan untuk menyuarakan panggilan dan seruan kenabian yang telah Allah berikan kepada kita. Selain itu, apakah semangat zaman yang semakin materialistis ini mampu mengaburkan bahkan menyimpangkan kita dari jalur dan jalan panggilan kita itu yang perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Berputar-putar dalam retorika hanya akan membuat kita terkungkung dan stagnan. Yang paling penting dan utama adalah bertindak mewujudkan panggilan! Act sounds louder than words.

Minggu, 17 Februari 2008

Valetine Day: Must We Celebrate?

Valentine Day:Yes or No?

Valentine Day atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Hari Kasih Sayang (?) benar-benar merupakan sesuatu yang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, hari yang selalu diperingati pada 14 Febuari di seluruh muka bumi oleh sangat banyak manusia, selalu dinanti-natikan kedatangannya dengan perasaan sangat antusias. Sampai-sampai, antusiasme menanti kedatangannya mengalahkan antusiasme menunggu bis atau kereta yang akan kita tumpangi untuk menuju ke tempat kerja, sekolah atau kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya sehari-hari. Rasanya hampir tidak ada omelan, keluhan atau reaksi-reaksi negative lainnya ketika menunggu datangnya hari ini dibandingkan dengan ketika menunggu bis, angkutan yang hampir selalu diwarnai dengan berbagai omelan dan keluhan ketidakpuasan. Ini benar-benar fenomenal bagi yang, memang sengaja menunggu kedatangan hari ini ataupun yang tidak sedang bahkan yang bersumpah tidak akan pernah menunggu kedatangannya.
Fenomena Valentine Day sangat terasa dalam segala lini kehidupan-terutama dikalangan muda (walaupun tidak semuanya, karena ada kaum muda yang memang mengambil sikap dan posisi untuk tidak ikut larut di dalam euforianya karena berbagai alasan) karena mampu menggerakkan sangat banyak orang di seluruh penjuru dunia dalam dan pada waktu yang bersamaan dalam naungan satu tema besar-kasih sayang (?). Semua segi dan lini kehidupan bergerak. Roda perekonomian dibuat menggeliat karena ada banyak perilaku baru (sebenarnya bukan baru) dalam dunia perniagaan dan bisnis-munculnya promosi besar-besaran dengan mengedepankan “harga miring” dengan mengatasnamakan kasih sayang kepada konsumen. Geliat ekonomi dibarengi pula dengan berubahnya suasana (tampilan luar) yang tiba-tiba saja secara sistematis berubah menjadi all pink yang dipercayai (atau diindoktrinasikan) sebagai lamabang cinta kasih (?). Selain itu, perubahan perilaku dan hubungan pribadi antara orang-orang, yang umumnya, sedang kasmaran atau yang kebetulan kurang memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hati kepada lawan jenisnya juga turut mengemuka. Mereka, menjelang momentum ini, menjadi lebih romantis bahkan ada yang menjadi semakin “berani” berekspresi. Pendek kata, dinamika kehidupan social dan bisnis turut “bergelora” karena hari ini.

Menyikapi Valentine Day
Sebagai sebuah fenomena global, Valentine Day, mengundang dan memunculkan beragam opini dan respon atas kemunculannya. Respon, lazimnya, ada yang positif dan negative. Yang positif, karena berbagai sebab dan alasan mengatakan hari ini memang layak diperingati dan dirayakan secara besar-besaran untuk mengekspresikan rasa cinta kasih. Sedangkan yang negative atau kontra, menyatakan, karena berbagai alasan dan pertimbangan, tidak perlu memikirkan apalagi ikut larut dalam hingar-bingar perayaan hari kasih saying ini. Pemikiran dibalik pernyataan sikap kontra umumnya dilandaskan pada agama dan akidah agama. Selain itu, akibat yang mungkin ditimbulkan dari perayaan ini seperti terpicunya perilaku seks bebas, penyebarluasan HIV/AIDS juga dilontarkan sebagai sesuatu yang melatarbelakangi pernyataan sikap kontra ini. Inti dibalik sikap kontra ini adalah kekikutsertaan dalam perayaan hari Valentine sama sekali tidak berkontribusi positif bahkan berpotensi mengarahkan kepada sikap dan perbuatan negative (?). Pendek kata, manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan ketidakbergunaannya.
Pernyataan sikap, apakah yang pro atau kontra, sepenuhnya adalah hak dari setiap orang atau lembaga. Perseorangan ataupun lembaga tentunya memiliki argumennya sendiri atas dasar pertimbangannya sendiri juga. Selalu ada alasan dibalik setiap perbuatan dan tindakan. Sebagai analogi untuk menilai betapa sikap yang pro dan kontra memiliki kebenarannya sendiri-sendiri (apapun alasannya) dan tidak bisa saling dipaksakan bisa kita pakai kasus orangtua dan pisau. Orang tua yang takut anaknya teriris pisau apalagi kalau dia tahu bahwa pisau itu dibuat oleh orang jahat untuk tujuan jahat yang terselubung, “wajarlah” kalau orangtua melarang anaknya untuk tidak membeli dan bermain dengan pisau itu. Orangtua takut anaknya terluka dan pada akhirnya “dilukai” karena sang pembuat pisau diketahui (oleh orangtua) berniat tidak baik dengan membuat pisau itu. Sebaliknya, orangtua yang, karena beberapa hal dan pengalaman, bersikap lebih moderat, mengizinkan anaknya untuk membeli dan bermain dengan pisau itu dengan terlebih dulu memberikan wawasan tentang bahaya yang berpontensi timbul sebagai akibat dari bermain-main belati secara sembarangan dan tidak hati-hati baik bagi diri sang anak sendiri maupun bagi orang lain yang ada di dekatnya dan di sekelilingnya.
Analogi di atas paling tidak bisa memberikan gambaran kepada kita untuk secara luas memahami esensi dari sebuah masalah yang untuk dan kepadanya kita bersikap, alasan dibalik sikap positif atau negative kita terhadap sebuah pokok permasalahan dalam hal ini perayaan Valentine Day, dan apa konsekuensi serta tindakan lanjutan (follow up) kita setalah mengeluarkan satu sikap yang kita jadikan sebagai sikap komunal dalam lingkup keluarga. Sekali lagi, yang pro dan kontra, pasti memiliki alasannya sendiri-sendiri ,dalilnya sendiri-sendiri dan kepentingannya sendiri-sendiri juga. Semua orang bebas beropini. Yang tidak bebas adalah memaksakan opini dan sikap kita kepada orang lain supaya mereka turut menganut sikap kita. Lalu apakah ini pertanda bahwa semua boleh dilakukan? Tentunya, jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, jika sebuah tindakan dilakukan atas dasar yang benar dan tidak jika dasar kebenaran dibalik tindakan tidak ada atau sangat minim. Ya dan tidak atau boleh tidaknya sesuatu dilakukan bukan semata-mata hanya karena sesuatu itu baik. Yang baik belum tentu benar dan bermanfaat. Itu saja ukurannya. Ini bukan berarti kita berdiri pada bidang abu-abu yang serba permisif. Kita tetap berpijak pada hitam dan putih. Sikap kita harus hitam atau putih bukan abu-abu. Pun begitu, kita tetap perlu tahu bidang abu-abunya.
Ironis sekali kalau kita hanya memaksakan sikap dan pikaran kita yang hitam atau putih tetapi ketika ditanyakan alasan sesungguhnya dibalik hitam putih sikap kita itu hanyalah “sikap warisan”. Kita mewarisi sikap hitam atau putih dari para pendahulu kita tanpa memeriksa kembali apakah sikap itu masih relevan atau tidak untuk konteks masa kini. Akan tetapi, bersikap putih secara membabi buta juga sangat tidak baik karena babi yang buta selalu tidak bisa melihat apa yang ada di depan, di belakang, dan di samping kanan-kirinya. Sikap membabi buta hanya akan membuat kita terperosok ke dalam lubang dan kubangan kesulitan, sama seperti babi. Toleransi adalah satu kunci bisa bersikap benar dan bisa menerima sikap orang lain yang berbeda dengan kita tanpa harus saling menyakiti dan merendahkan. Sekali lagi, masing-masing memiliki alasan dan dasar pijakan. Namun begitu, toleransi tidak harus dan memang tidak boleh mengorbankan keyakinan yang kita anut selama ini dan akidah-akidah yang ada di dalamnya. Jika, atas nama toleransi, kita mengorbankan apa yang kita yakini dan pegang teguh selama ini, kita sebenarnya sedang terjerumus ke dalam bidang abu-abu. Over and over again, perbedaan tidak haris disikapi dengan berbuat dan mengeluarkan statement menyakitkan kepada pihak-pihak yang berbeda dengan kita. Itu bukan jalan melainkan awal dari sebuah kekacauan besar!

Tangan-Tangan di Balik Valentine Day
Munculnya Valentine Day sebagai sebuah fenomena global tentunya tidak lepas dari adanya tangan-tangan yang membuatnya sebagai fenomena budaya dan menjadikan manusia-manusia tertentu hanya sebagai mangsa yang mendatangkan keuntungan. Tangan-tangan yang saya maksud adalah kapitalisme. Saya menunjuk kapitalisme sebagai sebuah kekuatan global (tanpa menuding dan menunjuk hidung kelompok-kelompok tertentu seperti Yahudi, Amerika, Zionisme karena saya tidak/belum punya bukti materi) yang harus kita akui mampu menancapkan kukunya dengan sangat dalam di seluruh penjuru dunia atas dan terhadap banyak (bukan semua) orang.
Kekuatan kapitalisme global mampu merekayasa sedemikian rupa Valentine Day sehingga hampir-hampir menjadi sebuah hegemoni dan untuk beberapa orang bahkan menjadi kultus.Tujuannya hanya satu-keuntungan materi. Valentine didandani sedemikian rupa sehingga tampil menawan yang membuat para muda kesengsem berat dan tidak bisa berpikir. Tangan-tangan kapitalisme, dengan mendandani valentine day sedemikan rupa, (seolah-olah) memberikan nuansa baru dalam kehidupan. Semua serba indah, serba romantic, serba indah, dsb yang sangat membuai dan melambungkan harapan untuk sesaat. Memang, faktanya, kepiawaian tangan-tangan kapitalisme ini, pada tataran praktis berpotensi menimbulkan penyelewengan sikap dan tindakan. Orang-orang yang tidak sensitive dan yang pikirannya begitu dikuasai oleh impian romantisme sesaat tidak tertutup kemungkinan untuk jatuh ke dalam dosa seks bebas, drugs dsb. Akan tetapi, tidak semua yang ikut merayakan valentine melakukan yang seperti itu. Kita harus adail dalam memberikan penilaian. Menilai secara berimbang dengan pemikiran tulus dan bersih akan membuat kita obyektif dan jauh dari narsis. Tangan dan kekuatan global kapitalisme inilah yang sebanarnya harus kita hadapi bersama-sama karena faktanya, kekuatan ini mampu menguasai dan memanipulasi paling tidak 3 hari besar/raya keagamaan-Idul Fitri, Natal, dan Imlek untuk mendapatkan tujuan mereka-keuntungan.

Valentine Day: Pertanyaan
Valentine dimaknai oleh sangat banyak orang di seluruh penjuru bumi sebagai momen untuk menyatakan kasih. Namun sayangnya, kasih yang dinyatakan hanyalah sebuah kasih yang terbatas dan seringkali juga memiliki berbagai tendesi di dalam dan di baliknya. Hakikat kasih dan cinta, dalam perayaa-perayaannya, hanya dibatasi oleh gemerlap sebuah pesta dan romantisme sesaat. Kasih yang diungkapkan begitu terbatas karena kebanyakan orang yang merayakannya sudah memiliki obyek atau tujuan yang kepadanya kasih layak diberikan. Kaisih dalam perayaan Valentine menjadi sesuatu yang sangat kaku karena ruang lingkupnya yang terbatas dan dibatasi serta tidak menyentuh hakikat yang sesungguhnya-kasih untuk dan kepada sesama yang papa dan menderita. Mereka yang papa justru hanya menjadi penonton meriahnya pesta dan romantisnya suasana sementara mereka yang punya kasih justru cenderung larut dalam temaram sinar-sinar lampu dan semerbak aroma mawar. Kasih pada perayaan Valentine, pada umunya, tidak dan bukan seperti kasih seorang Samaria yang baik hati yang dengan sukarela mengulurkan tangan sebagai bentuk ekspresi kasih yang memang mengasihi karena lahir dari penghayatan mengenai yang hakikat dan hakiki.
Walaupun secara praktis, perayaan peringatan Valentine umumnya kurang membumi dalam pengertian kurang bisa mencapai yang hakiki dan hakikat—memberikan kasih kepada yang benar-benar membutuhkan dan secara obyektif layak menjadi “obyek” kasih, bukan berarti hari ini tidak memiliki nilai plus sama sekali. Nilai plus itu memang tidak bisa kita paksakan diukur dengan pandangan kita akan tetapi paling tidak hari ini bisa dijadikan titik awal sebuah pembelajaran tentang kasih dan mengasihi dalam arti yang sesungguhnya yang lepas dari hiruk pikuk pesta pora dan perilaku-perilaku menyimpang sebagai kurangnya pemahaman yang diberikan tentang yang hakikat dan hakiki.
Bagaimanapun juga, sikap kelewat keras terhadap perayaan hari ini justru akan berakibat kurang baik dan memndidik. Akan jauh lebih baik dan bermanfaat kalau kita terlebih para pemuka agama (yang sependapat dengan adanya hari dan perayaan hari ini-valentine) memanfaatkan momen ini untuk meletakkan suatu dasar dan pemahaman yang benar tentang hari ini untuk menanamkan kepdulian kepada sesame dalam arti luas. Paling tidak ini adalah upaya kontekstualisasi pengajaran nilai-nilai keagamaan. Pun begitu, kontekstualisasi tidak boleh dipahami sebagai dikorbankannya akidah agama dan menjadi momok super menakutkan. Mengajarkan nilai-nilai pada masa kini membutuhkan media dan cara yang lebih komunikatif.
Meletakkan dasar pengajaran yang benar dengan atau melalui media yang komunikatif (kontekstualisasi) akan sangat membantu pembentukan sikap dan perilaku orang yang diajar. Sebuah larangan Jauh lebih mudah dimengerti ketika disampaikan dengan memberikan alasan-alasan yang proporsional dan multi arah. Artinya, selalu ada dasar yang bisa dipertanggung jawabkan dibalik sebuah larangan. Multi arah artinya, orang yang diajar diberikan keleluasaan untuk bertanya dan mempertanyakan alasan yang diberikan bahkan diberikan kesempatan untuk berbeda pandangan. Tidak cukup baik jika kita mengatakan kepada seorang anak untuk tidak memegang api hanya karena api itu panas tetapi tidak mempunyai jawaban lain yang rasional ketika ditanyakan kenapa api itu panas. Ironisnya, kalau karena tidak mempunyai cukup alasan dan wawasan “orangtua” menutup dengan jawaban yang kurang operasional seperti,”sudah dari sononya seperti itu!”
Dalam kaitannya dengan valentine day, “orangtua” dalam hal ini para pemuka agama-semua agama dituntut untuk mampu dan kreatif meyampaikan pengajaran dan dasar kenapa ia membolehkan dan melarang “anak-anaknya” merayakan valentine. Kemampuan memang mau tidak mau merupakan kompetensi yang memang harus dimiliki oleh seoarang pengajar sebagai tuntutan zaman. Tanpa kemampuan untuk memberikan pengajaran yang benar dengan didukung oleh kepiawaian memilih media pengajaran yang komunikatif, pengajaran-pengajaran nilai-nilai agama berpotensi menimbulkan gesekan dengan kelompok yang berbeda. Yang harus dan perlu disadari oleh para pengajar-pemuka agama adalah di dalam perbedaan itu ada nilai-nilai yang indah jika disikapi dengan benar dan dengan alasan yang benar. Valentine hanya satu contoh bagaimana kita harus mengelola perbedaan pandangan tanpa harus merasa disakiti dan menyakiti pihak lain. Sekali lagi, yang jauh lebih penting untuk ditanamkan adalah pengertian dan alasan. Kalau kita memang pro dengan valentine, apa dasar dan alasannya, kalau tidak, kenapa kita bersikap seperti itu dan bagaimana bersikap kepada mereka yang pro valentine. So, being tolerant adalah kuncinya. Jangan memaksa kalau tidak mau dipaksa. Jangan memaki kalau tidak mau dimaki. That’s all.

“Act Sounds Louder than Words”

Minggu, 03 Februari 2008

The Irony of SBY-JK Berpoco-poco, Mega Berdansa

SBY-JK Berpoco-Poco, Mega Berdansa

Jawa Pos edisi Sabtu 2 Febuari 2008 memuat sebuah berita pendek tentang tanggapan Wapres Jusuf Kalla terhadap tudingan mantan presiden Megawati yang kini tengah getol melakukan safari politik untuk menggalang suara dan kekuatan yang akan dijadikannya sebagai kendaraan politik untuk bisa menduduki kembali kursi RI-1. Dalam tudingannya, Mega mengatakan pemerintahan yang dikomandani oleh SBY-JK tak ubahnya seperti menari Poco-Poco-maju selangkah mundur selangkah, maju dua langkah mundurnya juga dua langkah. Singkatnya Mega mengatakan the incumbent government saat ini tidak tegas alias gampang bimbang dan ragu-ragu. Akibatnya, kondisi bangsa ini saat ini semakin tidak menentu.
Menanggapi “sentilan” Ibu Mega, Wapres Jusuf Kalla, bukan Jarwo Kuat, mengatakan kalau pemerintahan saat ini dikatakan menari Poco-Poco, pemerintahan ketika Ibu Mega berkuasa dulu diibaratkan menari dansa-muter-muter di tempat, tidak ada kemajuan. Jawaban Jusuf Kalla tentunya mempunyai dasar (paling tidak dari sudut pandang penguasa saat ini). Paling tidak, baik Mega maupun JK sama-sam mempunyai alasan dibalik pernyataan yang mereka lontarkan. Selain itu, masing-masing tentu mempunyai tujuan. At least, Mega berusaha menunjukkan kepada public kalau pemerintahan saat ini kurang baik dan berpihak kepada rakyat, sementera itu BApak JK mungkin sedang menepis perkataan Mega dengan mengatakan secara tidak langsung,” Kalau Anda memilai pemerintahan saat ini tidak becus, pemerintahan Anda dulu juga tidak.”

Tontonan yang Tidak Berguna
Aneh tapi tidak lucu, itulah pendapat saya tentang yang dilakukan oleh dua tokoh nasional negeri ini. Mereka berdua cenderung kekanak-kanakan dan kurang gentle menghadapi kondisi yang ada saat ini. Kurang pantas kiranya, sekali lagi menurut saya, kalau dua orang yang pernah dan yang sedang memimpin negeri ini yang sedang sekarat menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung berkurang justru eker-ekeran untuk sesuatu yang sangat tidak berguna.
Ibu Mega pastinya tidak akan memperoleh apapun bahkan simpati dari khalayak hanya dengan melontarkan ejekan-ejekan yang ditujukan kepada pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Yang bisa dibaca dengan jelas dibalik statement Ibu Mega hanyalah upaya tebar pesona untuk mendulang simpati dan suara yang bisa mengantarkan beliau ke kursi RI-1 kembali. Upaya memperoleh simpati dengan melakukan cara-cara seperti ini dengan tidak mau berkaca kepada masa pemerintahannya hanya menyajikan sebuah tontonan tak ubahnya seperti Republik Mimpi yang rakyat dan pemerintahannya hanya Baru Bisa Mimpi. Eker-ekeran murahan seperti ini tak ubahnya seperti yang dalam pepatah Jawa dikatakan sebagai “Rebutan Balung Tanpa Isi”. Bu Mega, yang pernah saya kagumi dan pilih ternyata saat ini tidak jauh berbeda dengan Ibu Mega Karti dalam Republik Mimpi.
Penyakit umum yang mengancam umat manusia tetapi tidak pernah disadari oleh masing-masing manusia adalah narsisme. Manusia merasa dirinya paling baik, pemerintahannya paling baik dan berpihak kepada rakyat. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang menilai dan siapa rakyat yang selalu dijadikan sebagi rujukan. Ketika seorang ayah/ibu did lam rumah tangga dan keluarga menilai apa yang sudah dilakukannya adalah yang terbaik sebenarnya jka dibandingkan dengan ibu/bapak dalam keluarga lain, penilaian itu adalah sesuatu yang subyektif bahkan narsis. Apalagi kalau anggota keluarga tidak pernah diberikan kesempatan untuk secara jujur mengatakan penilaiannya sekali lagi itu semua hanyalah satu bentuk narsisme. Biarkan rakyat (bukan konstituen bukan pula kader partai) yang menilai, maka kita akan tahu jawaban yang sesuangguhnya tentang siapa dan apa kita.
Kebulatan tekad untuk menjadi oposisi tentunya sangat baik dan sebuah pilihan yang mulia, menurut saya. Pun begitu, control yang dilakukan oleh oposisi terhadap pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak seharusnya dilandasi oleh rasa sakit hati karena pemimpin yang sekarang dulunya adalah anak buah yang dianggap sebagai Brutus. Koreksi oposisi terhadap semua kebijakan pemerintah yang berkuasa (the incumbent) HARUS dilontarkan sesuai dengan aspirasi rakyat (sekali lagi buka konstituen atau kader partai) dan untuk kepentingan RAKYAT itu sendiri. Oposisi bukan sebuah hal yang haram dan bagi saya memang sudah waktunya ada di negeri ini karena dengan begitu ada yang mengawasi dan menyentil pemerintah dengan segala kebijakannya. Namun begitu, oposisi yang diperlukan saat ini adalah oposisi yang berpihak kepada rakyat dan pastinya berani berkaca. Kalau kaca yang dipakai oposisi adalah kaca/cermin yang bersih dan baik tentunya tidak akan pernah ada pepatah buruk rupa cermin dibelah.”
Hidup seringkali diibaratkan bagai sebuah biduk yang menagrungi lautan. Ada ombak dan badai yang tidak pernah terduga dating dan perginya. Seperti itu juga kehidupan bernegara. Sebagai sebuah keluarga yang sedang menghadapi masalah, seharusnya dan selayaknya semua orang bersatu dengan dipimpin oleh sang kepala keluarga. Banyak memang kepala keluarga yang tidak siap menghadapi kondisi dan perubahan yang sangat drastic-panik.
Dalam kepanikan, seringkali penumpang dalam sebuah perahu berteriak-teriak. Teriakan mereka ada yang menyakitkan ketika sampai ditelinga sang nahkoda. Disinilah kehandalan sang nahkoda dituntut-mengendalikan diri. Jika seorang nahkoda terlalu cepat meresponi secara negative teriakan anggota keluarganya dengan balas bersikap negative inilah yang terjadi-saur manuk dan rebutan balung tanpa isi. Belum tentu teriakan menyakitkan itu tidak benar. DAripada mati-matian berusaha membela diri, ada baiknya kalau sang nahkoda memusatkan diri untuk membawa biduk yang dikemudikannya ke tujuan dan supaya tidak karam. Teriakan-teriakan semacam itu sebisa mungkin direndam atau kalau perlu tidak didengarkan karena hanya akan menganggu konsentrasi semua orang-bukan hanya sang nahkoda. Mungkin alasan klasik yang dipakai untuk membenarkan tindakan balas meneriakkan nada sumbang/minor adalah :”Nahkoda juga manusia!
Hentikan Semua
“Bapak, Ibu yang terhormat, sudahlah. Hentikan saling ejek dan saling memaki. Kita sedang sulit dan hamper tenggelam. Ibu, sejujurnya ada hal-hal baik yang Ibu lakukan ketika Ibu berkuasa tetapi ada juga yang tidak baik juga ketika Ibu berkuasa.”
“Bapak, sudahlah. Jangan tipis kuping begitu. Dengarkan apa yang Ibu katakan, lalu kita pikirkan bersama bagaimana baiknya. Bapak, harga-harga yang makin menggila dan banjir dimana-mana itu jauh lebih penting untuk dipikirkan. Simpan saja kegusaran karena teriakan Ibu. Bapak, rakyat butuh makan dan kepastian. Bapak, banjir juga perlu segera dikeringkan. Janganlah selalu beralasan pemansan globallah penyebabnya. Bapak dan Ibu sudah waktunya kita menjadi orang dan manusia dewasa untuk menghadapi krisis ini, derita ini dan ketidakpastian ini. Ibu, seandainya memang Ibu tidakpernah senang dengan apa yang dilakukan Bapak saat ini, tahan dulu lah. Lihatlah kami anak-anakmu sedang merana dalam ketidakpastian. Kok tega-teganya kalian “malah bermain sandiwara”.
Perseteruan semacam ini hanya layak dipertontonkan dalam Republik Mimpi. Kalau mereka yang menyajikan pasti akan jadi tontonan yang menggelikan sekaligus mengundang kita untuk berpikir. Hal semacam ini memang layak mereka pertontonkan karena mereka memang qualified untuk itu. Sebaliknya, kalau pertunjukan semacam ini dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional, saya sebagai anak, hanya akan bertanya teladan apa sebenarnya yang sedang diajarkan. Yang sedang diajarkan saat ini tidak ubahnya hanya sebuah kemunafikan. Munafik karena tidak pernah mau melihat keburukan diri sendiri dan selalu melihat keburukan orang lain jauh lebih besar dari keburukan kita sendiri. Yang jelas, sebagi rakyat biasa, kamilah yang bisa menilai secara obyektif baik tidaknya yang Bapak dan Ibu lakukan. Memang kami tidak punya angka-angka statistic tapi kami punya nurani. Bukan zamannya lagi mencari popularitas dengan black campaign. Memang 2009 sudah sangat dekat dan kursi yang diperebutkan memang sangat menggiurkan. Tetapi satu hal yang pelu diingat adalah rakyat saat ini bikan yang dulu lagi yang mudah dibodohi dengan berbagai slogan dan rayuan kosong. Intinya, semakin agresif Bapak/Ibu melakukan black campaign semakin jauh hati kami dari Bapak/Ibu.
Tulisan ini bukan saya tujukan untuk menyerang tokoh-tokon nasional karena dengan sejujurnya dan segala kesadaran saya sangat mengetahui siapa diri dan keberadaan saya.Pun begitu sebagai rakyat dan sebagai anak bangsa ini, saya hanya berusaha menyampaikan apa yang saya dan mungkin jutaan orang di negeri ini rasakan, bahwa tidak sepantasnya sandiwara semacam itu dipertontonkan dalam kondisi yang serba sulit ini. Kenap kita tidak bersatu dan bergandeng tangan untuk bersama-sama keluar dari segala kemelut ini supaya kita tidak hanya bisa menjadi sebuah bangsa yang hanya Baru Bisa Mimpi. Kalau ini tercapai, maka parody Republic Mimpi akan hilang dengan sendirinya tanpa harus dihlangkan secara paksa. Kita bangsa yang besar dan saya yakin, bersama kita bisa menjadi bangsa yang idak hanya bisa mimpi. Kita sendiri yang menentukan nasib bangsa dan negeri ini. Sekaranglah waktunya untuk bersatu tau kalau tidak kita akan menyesal selamanya!!!!