Minggu, 09 Maret 2008

Antara Aku, Kamu dan Korban Lumpur Lapindo

Getting What You Don�t Want
Kadang bahkan seringkali orang harus kecewa, dongkol, dan marah karena perbuatan orang lain. Tidak ada sesuatu yang salah yang kita lakukan tetapi justru tindakan dan perbuatan orang lainlah yang justru membuat kita terpaksa merasakan hal-hal seperti yang disebutkan di atas. Benarlah apa kata pepatah tua Jawa,�Ora mangan nangkane gupak pulute (Tidak ikut makan nangkanya kena getahnya).� Kadang seperti itulah hidup ini. Selalu mengharap yang baik tetapi justru beberapa hal yang tidak baik yang kita terima. Namun begitu, hal-hal seperti itu memang kadang harus kita terima dengan tetap tersenyum (walaupun berat) dan dinikmati. Enjoy aja!
Beberapa waktu yang lalu, ketika mengecek blog http//ivriel.multiply.com , saya begitu terkejut karena ada banner cukup besar yang nangkring di caption/head blog saya. Bagi saya banner itu sukup dan sangat menganggu. Bagaimana tidak, karena yang ditampilkan adalah iklan cewek bispak. Dongkol pastinya saya waktu itu. Akan tetapi, setelah saya piker lebih dalam dan jauh plus disharingkan dengan beberapa teman, reaksi mereka�tertawa justru membuat saya sedikit �terhibur �. Terhibur dalam pengertian, sikap mereka yang membuat saya terhibur bukan biang masalah banner itu. Pertanyaan saya waktu itu, �kok ada yang ketawa?� Karena sikap orang yang cenderung positif, saya pun terbawa berpikiran positif menyikapinya. Saya hanya bisa bergumam,�Ah, biarlah, kan nanti ada waktunya banner itu hilang denga n sendirinya (atau ada pembaca yang mau bantu saya menunjukkan cara menghilangkan banner nakal itu?) toh saya sama sekali tidak memasangnya dan mendukung yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempublish banner itu. Beginilah, kalau pake gratisan!

Aku, Kamu,dan Korban Lumpur Lapindo; Kita Semua Sama
Peristiwa yang saya ceritakan di atas cukup membuat saya dongkol, marah sekaligus geli. Perasaan yang terakhir (geli) karena ada pihak-pihak yang saya nilai mengusik �urat geli� saya ketika menanggapi apa yang saya ceritakan. Intinya adalah, peristiwa yang saya alami kecil dan remeh. Saya tidak keluar duit sepeserpun untuk buat blog, gak ikut memelihara. Yang saya lakukan hanya mulis dan mempublishnya di blog gratisan itu. Selesai. Sederhana sekali. Oleh karena itu, tidak cukup alasan bagi saya untuk terus dan berlama-lama merasa dongkol apalagi marah. Tidak ada untungnya.
Kalau yang saya alami berkaitan dengan blog itu sangat kecil arti dan nilainya, beberapa hal yang saat ini kita alami justru sangat besar dan mendasar , menurut saya. Bagaimana tidak? HArga-harga yang semakin menggila (siapa yang salah) bukan hanya membuat ibu, kakak perempuan atau istri kita kelabakan. Kita pun (sebenarnya) ikut pusing. Kalau hampir setiap hari jantung para ibu dan istri dibuat berdetak kencang karena fluktuasi harga yang tidak menentu sementara uang belanja tetap tidak ada penambahan karena gaji para suami umumnya juga tidak bertambah, para suami atau tulang punggung keluarga pun sebenarnya juga �pusing�. Kami, para suami, selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan penghasilan tambahan dengan tidak mengorbankan keluarga.
Banyak cara yang dilakukan orang untuk meluapkan kemarahan dan kekecewaannya menyikapi hal-hal yang tidak pasti ini. Ada yang mudah �terpancing dan meradang�. Ada yang lebih suka topo bisu (diam seribu bahasa) karena merasa lebih baik diam daripada buang-buang energy untuk marah-marah karena berprinsip toh semuanya juga turut merasakan. Sama seperti panasnya sinar matahari yang dirasakan oleh semua orang. Paling tidak, ini adalah satu tindakan bijak yang didasari oleh pengertian akan kondisi (walaupun sebenarnya jauh di dalam batin dan relung hatinya juga �menangis). Selain itu, satu tindakan positif lainnya adalah bersyukur, pasrah dan berserah. Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa rasa syukur, kepasrahan dan penyerahan diri yang diharapkan dalam kondisi seperti ini?
Pertanyaan seperti itu adalah hal yang sangat manusiawi. Masihkah bisa bersyukur kalau harga-harga terus naik sementara hanya hujan yang terus turun dan menenggelamkan permukiman dan lahan pertanian, akses jalan, perkantoran dan pusat kegiatan ekonomi yang menjadi �gantungan dan sandaran hidup� Masih layakkah bersyukur kalau tidak ada jawaban pasti (saat ini masih diselidiki oleh BPOM) atas berita bahwa susu formula tercemar bakteri sakka zakki. Belum cukupkah warga Porong korban lumpur Lapindo terlunta-lunta dan hidup dalam ketidakpastian dalam segala hal? Atau, haruskah kita pasrah ketika Negara melakukan kesalahan dengan mengambil alih pembiayaan pembayaran ganti untung (? Yang benar tidak diganti tetapi malah buntung!) dengan mengambil uang rakyat-APBN! Lalu, apakah kita harus terus bersyukur dan pasrah ketika wakil-wakil rakyat (anggota DPR RI) yang secara kebablasan menyatakan, dengan mengacu kepada pendapat beberapa ahli geologi, lumpur Porong adalah murni bencana alam dengan menafikan/menghilangkan fakta-fakta awal yang ditemukan ketika musibah ini baru terjadi. Ironisnya lagi, perilaku kebablasan tersebut justru dilakukan di luar kapasitas yang mereka miliki! Masihkah perlu bersyukur, pasrah dan berserah.

Aku Bersyukur Maka Aku Kuat
Dalam psikologi kita mengenal sebuah ungkapan cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada. Pun dalam kaitannya denga hal yang sekarang ini kita hadapi kita harus mengembangkan slogan �aku bersyukur maka aku kuat�. Pun begitu, slogan ini tidak hanya berhenti sebatas dikembangkan tetapi juga harus dihidupi dan dihidupkan dalam diri dan setiap sisi kehidupan kita. Bukan hal yang mudah memang. Sekalipun begitu, kita harus tetap mengupayakannya dengan sungguh-sungguh.
Penulis (saya) tahu betul tentang sulitnya menghidupkan dan menghidupi slogan ini. Sebagai gambaran, saya tidak malu mengatakan siapa dan bagaimana kondisi saya kepada Anda yang membaca tulisan ini bukan supaya Anda simpati atau kasihan-tidak sama sekali! Tetapi paling tidak, Anda bisa mengetahui bahwa saya tidak mengada-ada dan meuliskan hal-hal yang na�f karena saya adalah seorang yang bergelimang harta dan kekayaan. Mudah memang menulis hal-hal yang abstrak seperti bersyukur, pasrah dan berserah ketika kita dalam kondisi �aman� dan �nyaman� dari sisi financial. Secara umum berikut ini profil saya:
Saya bukan seorang pejabat, birokrat atau alat Negara yang dikelilingi dengan fasilitas dan kenyamanan tetapi seorang pustakawan di sebuah institute theologia di Kabupaten Malang.Anak saya dua- yang pertama 6 tahun dan satunya lagi 2.5 bulan (bulan Maret 2008). Untuk memenuhi kebutuhan hidup istri saya �terpaksa �. Kami tinggal di sebuah rumah tipe 36/68 yang harus kami angsur selama sepuluh tahun. Inilah profil saya dan kami sekeluarga. Tentunya Anda bisa membayangkan seperti apa kondisi Kami (secara materi memang Kami tidak memiliki banyak harta tetapi kami-saya, istri dan anak-anak saling memiliki). Tujuan saya menampilkan profil kami sekali lagi bukan untuk tujuan yang �aneh-aneh� apalagi yang �nganeh-nganehi� tetapi untuk bisa sharing sebagai sesama. Itu saja.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bukan tidak pernah mampir dalam pikiran kami. Seringkali, beberapa hal, membuat pertanyaan seperti itu dipaksa mampir dalam hidup kami. Ketika hal-hal semacam itu singgah, apalagi ditanyakan oleh anak kami, bukan hal mudah untuk menjawabnya. Keslitannya bukan pada menyusun kata dan argument tetapi memberikan teladan sebelum dan sesudah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh bibir mungil yang dilandasi oleh curiosity seorang anak kecil. Memberikan teladan bersyukur, berserah, dan berpasrah serta hidup di dalam dan dengannya memang perlu latihan yang terus menerus. Tepatlah satu pepatah dalam bahasa Inggris yang menyatakan Acts Sounds Louder than Words. Tidak perlu banyak omong memang, tetapi lebih perlu banyak bertindak dan berbuat.
Hidup bersyukur, berpasrah dan berserah memberikan kekuatan tersendiri untuk terus menjalani hidup yang semakin sulit ini. Apapun agama dan kepercayaan yang kita yakini semuanya pasti mengajarkan hal ini. Sebagai seorang Kristen saya dan keluarga belajar untuk mengerti apa yang disampaikan Raja Daud dalam kitab Mazmur/zabur. Satu ayat dalam kitab ini mengaatakan �Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu.� Perkataan ini sulit (mengecap baru melihat) karena umunya kita manusia didik dalam budaya dan asuhan (lihat dulu baru rasakan/kecap). Mengecap berate merasakan kebaikan Tuhan yang diberikan kepada kita-termasuk mengizinkan ujian mendatangi kita. Dengan mengecap/melihat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan akan membuat kita bisa bersyukur karena telah merasakan semua kebaikan Tuhan. Dengan bersyukur, kita akan bisa menjalani hidup dengan lebih baik karena Tuhan memberikan hidayahNya kepada kita. Bersungut-sungut, hanya akan menutup mata hati dan jasmani kita tidak bisa melihat dan merasakan hidayah yang diberikan Tuhan. Ketidakmampuan untuk melihat dan mersakan hidayah yang diberikan Tuhan ini hanya akan semakin membuat kita merasa sebagai manusia yang ditinggalkan oleh Tuhan, tidak dikasihi dan dibiarkan menderita dan menanggung sengsara.

Pasrah Itu Produktif!
Nerimo ing pandum (pasrah), ungkapan Jawa, tidak boleh kita terjemahkan sebagai kepasrahan yang pasif. Nerimo ing pandum tetap mengandung arti berserah kepada Tuhan sembari melakukan usaha yang produktif dan benar dimata Gusti Allah. Dalam usaha produktif yang kita lakukan, kita menyerahkan segala sesuatunya dumateng ngarsanipun Gusti Allah. Singkatnya, ungkapan Jawa tersebut tidak meminta kita menjadi manusia yang pasif tetapi justru mengajak kita menjadi manusia yang rajin dan terus memandang kepada Tuhan dalam segala yang kita lakukan karena kita ini adalah makhluk yang terbatas. Bukankah, Gusti Allah juga tidak senang dengan umat yang pasif seperti dikatakan dalam Alquran,� Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mau mengubahnya (mohon maaf jika kutipan ini tidak sama persis dengan ayat yang ada). Mudahnya, pasrah yang benar adalah pasrah yang bertindak dan berbuat sesuatu yang benar.
Jika dikaitkan dengan masalah yang sedang kita hadapi saat ini�harga-harga yang menggila, nasib korban lumpur Lapindo yang terkatung-katung, dirampasnya uang rakyat (APBN) untuk membiayai bencana lumpur Lapindo (yang ini tentunya secara sepihak melalui pembenaran-pembenaran sepihak juga), kita harus tetap ngupoyo. Ngupoyo kita kali ini memang tidak mudah karena faktanya semua dan setiap upaya yang dialkukan dan disalurkan ke saluran-saluran yang seharsnya juga sudah buntu. Berteriak-teriak di jalanan dan menduduki gedung dewan juga tidak membuahkan hasil. Celakanya lagi, anggota dewan yang katanya representasi rakyat juga terpecah suarnya ketika memperjuangkan korban bencana Lapindo. Justru mabuk yang mereka (tidak semua) sepakati adalah menyatakan lumpur Lapindo sebagai bencana (force majeur) bukan human error. Ternyata nama sebagai wakil rakyat hanya tinggal nama dan sebatsa slogan untuk mencari popularitas menjelang PEMILU/Pilkada(L) dsb. Bagaimana mungkin disebut wakil rakyat kalau memperjuangkan nasib warga porong yang jelas-jelas menderita karena lumpur lapindo dan jumlahnya hanya beberapa puluh ribu jiwa saja enggan. Apakah rumah rakyat namanya kalau gedung dewan pagarnya dibuat setinggi benteng?
Mau tidak mau, ngupoyo kita kali ini lebih bisa diarahkan kepada gerakan moral (walaupun nyatanya lebih banyak yang tidak�.) karena masih ada pihak-pihak yang bersimpati dengan penderitaan rakyat dan bangsanya. Namun demikian, yang perlu kita waspadai adalah munculnya pinulung awu-awu alias penolong palsu yang mengatakan begini begitu dan akan melakukan ini itu untuk rakyat. Nama dan bajunya macam-macam. Jangan kita mudah terkena rayuan maut gombalnya. Sudah banyak bukti. Sekarang pun kita sedang merasakan pahitnya ujung rayuan gombal yang dulu dijual dengan kemasan yang luar biasa bagus dan menarik. Mungkin inilah upoyo yang bisa kita lakukan. Saya, Anda dan kita semua tentu sadar bahwa ketika kita berharapa pada manusia hanya kekecewaan yang kita jumpai. Namun demikian, bersyukur, berpasrah, berserah dan ngupoyo harus tetap kita lakukan bagaimanapun sulitnya. Mari kita yakin bahwa Gusti Allah tidak buta dan menutup telinganya untuk jeritan umatNya yang benar-benar butuh pertologan. Waktu Tuhan bukan waktu kita. Yang kita butuhkan adalah sabar dan tawakal menunggu waktu Tuhan itu. Ya paling tidak, aku, kamu dan korban lumpur Lapindo bisa menahan diri untuk tetap berserah, pasrah, berserah sambil ngupoyo yang produktif. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjadi antara aku, kamu dan bekas pacarmu yang sama-sama sakit hati. Monggo sami-sami ndedonggo!