Selasa, 01 April 2008

गन्यंग Pornografi

MENGGANYANG CYBER PORNOGRAFI: MUNGKINKAH?
“Bersedia, siap dan ya atau go,” kata ini seringkali kita dengar dalam berbagai kejuaraan atletik seperti oleh raga lari dengan berbagai variasinya-lari cepat, lari gawang, danlari estafet. Kata-kata itu adalah aba-aba pengarah bagi atlet untuk membangkitkan semangat untuk bertanding. Banyak orang yang menerima aba-aba ini tetapi hanya ada satu dari mereka yang menjadi juara. Hanya satu yang menerima hadiah. Walaupun ada juara dua dst, tetap saja orang ingin menjadi juara satu. The Champion, The Winner!
Apa yang dilakukan oleh kementerian KOMINFO di bawah komando Bapak M. Nuh DEA saat ini bisa dianalogkan dengan hal dia atas. DepKomInfo, mengajukan RUU untuk memerangi cyber pornography yang memang semakin menggila belakanga ini. Namun begitu, yang diperangi bukan hanya pornografi yang ditampilkan di internet tetapi juga transaksi-transaksi keuangan palsu yang menggunakan media maya ini sebagai sarana.
Pro dan kontra pasti ada berkaitan dengan hal ini. Itu wajar dan syah-syah saja. Yang pro, termasuk parlemen, mendukung gerakan ini dengan mengesahkan RUU itu dan dapat segera diimplementasikan. Hari ini 1-4-2008, ketika artikel ini ditulis, dijadikan tonggak untuk memulai secara nyata gerakan ini dengan men-delete dan me-LOCK situs-situs porno sehingga tidak bisa diakses oleh public di Indonesia (?). Dukungan ini diberikan oleh khalayak termasuk parlemen karena timbulnya kesadaran (setelah banyak jatuh korban?) akan dampak negative aktifitas-aktifitas terkait pornografi dan pornoaksi di internet yang disebarluaskan melalui HP.
Selain itu, semakin maraknya pertumbuhan situs-situs porno local dengan actor local juga membuat dukungan semakin kuat. Publik (tentunya yang mendukung) bersatu tekad dengan penguasa untuk mengganyang habis pornografi di internet dan penyebarluasannya melalui HP dan media elektronik lainnya. Meningkatnya jumlah situs porno local, yang oleh Roy Suryo dinyatakan mencapai satu juta, dan actor lokalnya sangat mencengangkan kalau tidak dikatakan sebagai FANTASTIS. Percaya gak percaya, itulah faktanya. Kita tidak lagi bisa menggembar-gemborkan sebagai bangsa Timur yang agamis, santun dan tidak neko-neko. Hancur sudah kebanggaan semu kita selama ini. Tidak bisa lagi kita seperti dulu. Dulu, dengan mudahnya kita selalu menunjuk Barat sebagai biang kerok kerusakan moral. But now, satu jari yang dulu kita tudingkan ke Barat, saat ini berbalik menjadi tiga. Artinya, ternyata kita juga berpotensi seperti Barat atau malah “lebih unggul”. Inilah yang mengundang keprihatinan banyak pihak sehingga dengan suara bulat meneriakkan “Ganyang pornografi dan pornoaksi!”
Di dunia ini selalu ada dua sisi. Ada yang hitam dan ada yang putih. Ada “Yin” , ada “Yang”. Kalau ada yang pro, pasti ada yang kontra. Yang Pro dengan alasannya sendiri, begitu juga yang kontra. Pihak-pihak yang kontra, dengan mengatasnamakan (atau bersembunyi) dibalik kebebasan ber-ekspresi dan seni mengatakan aturan ini hanya memberangus kebebasan dan mematikan estetika. Kebebasan dalam pengertian tidak ada yang dirugikan (?) dengan menjadikan ungkapan “kalau tidak suka, ya gak usah lihat” sebagai dasarnya. Estetika dalam pengertian kenapa kalau ada yang “indah-indah” tidak “diberdayakan” (atau tepatnya dieksploitasi). Peraturan dan gerakan ini jelas-jelas mengurangi pendapatan orang lain dan melanggar HAM!
PERTANYAAN BESAR
Pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan gerakan ini adalah, apakah benar-benar bisa dijamin bahwa situs-situs porno dan kegiatan pornografi di dunia cyber tidak bisa diakses lagi? PErtanyaan ini bukan bermaksud merendahkan atau skeptic terhadap realitas yang ada. Beberapa waktu yang lalu, ketika Inul Daratista wong ndeso yang menjadi the rising star di belantika dangdut dengan mengusung goyang ngebor, Rhoma Irama dengan lantang meneriakkan yang kurang lebih sama. “Ganyang pornoaksi.” Anehnya, itu tidak berlangsung lama alias inkonsisten. Akankah gerakan ini berakhir seperti ini juga? Gerakan tinggal gerakan, peraturan tetap peraturan!
Jika disimpulkan, inti pertanyaan besar yang ada adalah seberapa efektif dan untuk berapa lama gerakan dan peraturan ini bisa survive. Tidak hanya sekedar bisa bertahan tetapi juga memperoleh hasil seperti yang diinginka dan dicita-citakan-pornografi dan pornoaksi tidak lagi lalu lalang di internet dan bisa disebarluaskan secara bebas kapan saja, dimana saja, oleh siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Parameter operasional untuk mengukur efektif tidaknya gerakan ini selain kemampuannya memperkecil (tidak mungkin menghapuskan seluruhnya) ruang gerak pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan, pengelolaan dan pendistribusian situs-situs porno adalah kekuatannya untuk memberikan efek jera. Ini yang sulit! Bukankah kasus Maria Eva bisa dijadikan sebagai salah satu contohnya. Dimana saat ini Maria Eva dan “Papa”nya yang mantan anggota dewan itu? Bagaimana akhir ramai-ramai kasus mereka?
Pertanyaan besar ini paling tidak bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan sebelum mengambil langkah. Efektifitas gerakan ini tidak bisa hanya diletakkan dibahu dan pundak penegak hukum semata. Atau celakanya, kalau kita menumpukannya kepada barang mati-peraturan atau undang-undang. Memang undang-undang memiliki power kalau instrument-instrumen yang menjalankannya juga memiliki dan berkemauan untuk memiliki power. Hukum, aturan, undang-undang atau apapun namanya tidak bisa dating dan menangani perkara sendiri. Yang diperlukan adalah kerjasama. Hukum, penegak hukum, dan khalayak harus bahu-membahu dengan niat tulus menegakkan hukum, aturan atau apapun namanya. Tujuannya hanya satu: ketentraman bersama. Tanpa kebersamaan seperti ini mustahil kita bisa memerangi pornografi dan pornoaksi di dunia maya. Salah besar kalau kita hanya mengarahkan mata kepada dunia maya untuk mencari apa yang disebut pornografi dan pornoaksi. Lihatlah di layar-layar televise dalam berbagai acara, terutama music, bukankah dengan sangat mudah kita menemukan gerakan-gerakan dan busana-busana minim yang selalu ditayangkan. Apakah ini bukan pornoaksi? Di mana kita, waktu tayangan-tayangan ini disajikan hampir setiap hari? Kalau ini bukan pornoaksi yang mengarahkan orang (tidak semua) melakukan tindakan-tindakan porno, lalu apa namanya?
Pornografi dan pornoaksi di negeri ini memang sudah berada dalam kondisi membahayakan. Bukan hanya tindakannya yang tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi targetnya pun semakin membuat kita miris. VCD anak-anak disisipi adegan-adegan mesum. Bukankah ini mengerikan? Selain tindakan dan target, korbannyapun mulai berjatuhan. Celakanya, korban yang banyak jatuh sekarang ini adalah anak-anak. Berapa kali kita menyaksikan diberbergai tayangan berita baik di media massa maupun eletronik bocah memperkosa bocah, bergilir pula! So, mau tidak mau , suka tidak suka, kita yang pro gerakan ini harus mendukung secara nyata. “Ganyang pornografi!!