Selasa, 01 April 2008

SANTAI AYAT-AYAT CINTA SBY

Santai Ala SBY

Santai, rileks atau apapun namanya untuk menenangkan diri dan pikiran adalah hak setiap orang. Tidak ada yang bisa melarang seseoarang untuk bersantai, bersenang-senang , kumpul-kumpul atau gathering dengan siapa saja. Tuhan pun memerintahkan manusia untuk istirahat satu hari dalam seminggu. Itulah sebabnya kenapa hari minggu ada. Sekali lagi bersantai, gathering, nonton bareng adalah bagian melekat dari HAM. Akan tetapi, semuanya itu ada porsi dan tempatnya. “Hukum” ini berlaku untuk semua!
Ketika kita berbicara soal HAM, akan sangat baik kalau kita tidak hanya mengukur apalagi mengurung HAM itu dari perspektif kita. Hak kita yang ditonjolkan. Hak yang kita miliki bukanlah hak mutlak. Tidak mutlak dalam pengertian di kanan dan kiri hak kita ada hak orang lain. Tuntutan untuk mengerti hak dan kewajiban akan semakin besar ketika kita berada di posisi pucuk pimpinan. Presiden adalah pucuk pimpinan negeri ini. Dia tetap memiliki hak azasi sebagai seorang manusia. Akan tetapi, ketika hak itu dipergunakan secara salah, pastilah mengundang berbagai reaksi negative mulai dari bisik-bisik sampai dibuka blak-blakan did an oleh media.
SBY sebagai Bapak dan kepala rumah tangga negeri ini justru melakukan tindakan yang sangat tidak peka. Ketika anak-anaknya sibuk mencari-cari minyak tanah, gas elpiji yang tiba-tiba menghilang ataupun kalau ada harganya meroket dan menggila, dia sendiri malah mengajak teman-temannya dari negeri tetangga untuk NOBAR (Nonton Bareng) AAC (Ayat-Ayat Cinta). Luar biasa!! “BApak, kok tega-teganya berbuat seperti itu.”
Mungkin SBY mempunyai alasannya sendiri dan bisa memakai haknya azasinya untuk menjawab pertanyaan ini. “Kan sudah ada yang menangani hal ini, jangan semua diserahkan ke BApak. BApak ini juga manusia. Seperti kamu, Bapak juga bisa capek dan pingin santai.” Kalimat-kalimat seperti ini sangat manusiawi jika diucapkan. Memang sebagai manusia biasa presiden pun tetap manusia yang terbatas dan tidak bisa melakukan semua yang diminta rakyatnya. Sekali lagi ada benarnya seandainya SBY mengatakan hal ini karena pada dasarnya dan faktanya ia mempunyai banyak pembantu-para menteri yang sudah mempunyai job descriptionnya sendiri-sendiri tetapi masalahnya di sini adalah, SBY kurang peka!

Rakyat Butuh Tindakan
Sosok SBY sebagai Bapak yang selalu berusaha mengayomi anak-anaknya di seluruh penjuru negeri ini memang sudah sering kita lihat dan dengar. Seringkali hal itu diwujudkan dalam tindakan nyata dengan mendatangi korban bencana alam, ikut bermalam di lokasi bencana dsb. Tindakan ini merupakan wujud simpati dan empati (?) dari SBY atas penderitaan rakyatnya. Tindakan ini bagus. Tidak ada yang merasa tidak senang dengan tindakan seperti ini yang dilakukan dengan tulus. Akan tetapi, cukupkah semuanya ini?
Simpati dan empati atas penderitaan rakyat sekali lagi saya katakan sangat baik. Namun begitu, jika kedua hal ini (simpati dan empati) tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata apalah artinya. Ibaratnya, kalau sang anak menangis karena tangannya terluka, sang bapak hanya mengatakan,”cup…cup..nanti kan sembuh,” tentunya hal ini tidak cukup. Memang untuk sesaat anak bisa tenang tetapi sumber maslahnya tidak terobati. Kasus nyata lainnya mengenai hal ini adalah nasib korrban lumpur LAPINDO.
Untuk menyatakan simpati dan empatinya terhadap korban lumpur LAPINDO, SBY berinisiatif untuk ngantor di Juanda selama tiga hari. Selama tiga hari itu ia “berhasil” menekan LAPINDO untuk membayar ganti rugi (bukan ganti untung karena warga Porong benar-benar dirugikan) kepada warga Porong. Secara seremonial dan memang hal ini berhasil tetapi secara operasional hasilnya NOL BESAR! Bahkan, simpati dan empati yang pernah ditunjukkan oleh Bapak kita itu sekarang justru menjadi “racun” bagi warga Porong. SBY tetap tidak mau merevisi KEPRES yang mengesahkan pembayaran ganti rugi hanya kepada korban lumpur yang dipetakan sejak awal. Bukankah ini racun namanya kalau anak-anaknya yang saat ini menjadi korban baru luapan lumpur LAPINDO diputuskan untuk TIDAK MASUK kategori penerima ganti rugi. Karena apa? Karena wilayah mereka tidak masuk dalam peta yang dibuat sebelumnya. Hebat. Hebatnya lagi, dana untuk penanganan masalah Porong sekarang diambilkan dari APBN. Luar biasa (ngawurnya).
Rakyat saat ini tidak membutuhkan simpati, empati, angin surge atau sebutan-sebutan manis lainnya untuk merebut hati rakyat. Yang Kami butuhkan saat ini adalah tindakan nyata. Tangani hilangnya MITAN di pasaran, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, rencana gila untuk menerapkan program insentif dan disinsentif dalam pemakaian listrik yang sebenarnya hanya akal-akalan untuk menaikkan harga secara terselubung, benahi distribusi gas elpiji yang sekarang ini langka di pasaran dan harganya melambung. Kami butuh tindakan nyata. Kami tidak buth penjelasan macam-macam dengan membawa-bawa data statistic yang hanya membuat kami semakin pusing. Data itu tidak ada gunanya bagi kami karena pada kenyataannya angka-angka statistic yang selalu dijadikan patokan untuk mengatakan keberhasilan Bapak dan anak buah Bapak justru bertolak belakang dengan kondisi yang nyata. Retorika hanya berguna untuk dipakai di sekolah-sekolah tetapi pada tataran praktis tindakanlah yang dibutuhkan.


AAC OK, Tindakan Harus!
Menikmati tontonan karya anak bangsa dan mempromosikannya kepada rekan-rekan dari Negara sahabat syah-syah saja bahkan harus. Namun begitu, hal seperti ini nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan penderitaan rakyat saat ini. Mungkinkah kita, sebagai manusia yang berhati nurani dan terlebih sebagai seorang pemimpin , bisa menikmati kesenangan sementara rakyat yang kita pimpin menderita dan kebingungan. Ayat-ayat Cinta bukan prioritas untuk saat ini. Rakyat dan nasibnya adalah yang utama.
Sulit memang untuk bisa menempatkan hak kita secara proporsional ketika kita berada di posisi kepemimpinan. Tuntutan yang diberikan kepada seorang pemimpin jauh lebih besar dibandingkan dengan orang-orang biasa. Pun begitu, bukan berarti ini bisa dijadikan alasan untuk membela diri karena melakukan tindakan yang kurang dan tidak simpatik di tengah penderitaan rakyat. Sekali lagi bersantai dan bersenang-senang adalah hak bahkan Tuhanpun mengakuinya. Hak itu menjadi salah ketika diletakkan di tempat dan waktu yang salah. Melakukan tindakan nyata untuk mengurangi penderitaan rakyat adalah bentuk dari simpati dan empati yang produktif. Ini yang ditunggu banyak orang!