Minggu, 17 Februari 2008

Valetine Day: Must We Celebrate?

Valentine Day:Yes or No?

Valentine Day atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Hari Kasih Sayang (?) benar-benar merupakan sesuatu yang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, hari yang selalu diperingati pada 14 Febuari di seluruh muka bumi oleh sangat banyak manusia, selalu dinanti-natikan kedatangannya dengan perasaan sangat antusias. Sampai-sampai, antusiasme menanti kedatangannya mengalahkan antusiasme menunggu bis atau kereta yang akan kita tumpangi untuk menuju ke tempat kerja, sekolah atau kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya sehari-hari. Rasanya hampir tidak ada omelan, keluhan atau reaksi-reaksi negative lainnya ketika menunggu datangnya hari ini dibandingkan dengan ketika menunggu bis, angkutan yang hampir selalu diwarnai dengan berbagai omelan dan keluhan ketidakpuasan. Ini benar-benar fenomenal bagi yang, memang sengaja menunggu kedatangan hari ini ataupun yang tidak sedang bahkan yang bersumpah tidak akan pernah menunggu kedatangannya.
Fenomena Valentine Day sangat terasa dalam segala lini kehidupan-terutama dikalangan muda (walaupun tidak semuanya, karena ada kaum muda yang memang mengambil sikap dan posisi untuk tidak ikut larut di dalam euforianya karena berbagai alasan) karena mampu menggerakkan sangat banyak orang di seluruh penjuru dunia dalam dan pada waktu yang bersamaan dalam naungan satu tema besar-kasih sayang (?). Semua segi dan lini kehidupan bergerak. Roda perekonomian dibuat menggeliat karena ada banyak perilaku baru (sebenarnya bukan baru) dalam dunia perniagaan dan bisnis-munculnya promosi besar-besaran dengan mengedepankan “harga miring” dengan mengatasnamakan kasih sayang kepada konsumen. Geliat ekonomi dibarengi pula dengan berubahnya suasana (tampilan luar) yang tiba-tiba saja secara sistematis berubah menjadi all pink yang dipercayai (atau diindoktrinasikan) sebagai lamabang cinta kasih (?). Selain itu, perubahan perilaku dan hubungan pribadi antara orang-orang, yang umumnya, sedang kasmaran atau yang kebetulan kurang memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hati kepada lawan jenisnya juga turut mengemuka. Mereka, menjelang momentum ini, menjadi lebih romantis bahkan ada yang menjadi semakin “berani” berekspresi. Pendek kata, dinamika kehidupan social dan bisnis turut “bergelora” karena hari ini.

Menyikapi Valentine Day
Sebagai sebuah fenomena global, Valentine Day, mengundang dan memunculkan beragam opini dan respon atas kemunculannya. Respon, lazimnya, ada yang positif dan negative. Yang positif, karena berbagai sebab dan alasan mengatakan hari ini memang layak diperingati dan dirayakan secara besar-besaran untuk mengekspresikan rasa cinta kasih. Sedangkan yang negative atau kontra, menyatakan, karena berbagai alasan dan pertimbangan, tidak perlu memikirkan apalagi ikut larut dalam hingar-bingar perayaan hari kasih saying ini. Pemikiran dibalik pernyataan sikap kontra umumnya dilandaskan pada agama dan akidah agama. Selain itu, akibat yang mungkin ditimbulkan dari perayaan ini seperti terpicunya perilaku seks bebas, penyebarluasan HIV/AIDS juga dilontarkan sebagai sesuatu yang melatarbelakangi pernyataan sikap kontra ini. Inti dibalik sikap kontra ini adalah kekikutsertaan dalam perayaan hari Valentine sama sekali tidak berkontribusi positif bahkan berpotensi mengarahkan kepada sikap dan perbuatan negative (?). Pendek kata, manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan ketidakbergunaannya.
Pernyataan sikap, apakah yang pro atau kontra, sepenuhnya adalah hak dari setiap orang atau lembaga. Perseorangan ataupun lembaga tentunya memiliki argumennya sendiri atas dasar pertimbangannya sendiri juga. Selalu ada alasan dibalik setiap perbuatan dan tindakan. Sebagai analogi untuk menilai betapa sikap yang pro dan kontra memiliki kebenarannya sendiri-sendiri (apapun alasannya) dan tidak bisa saling dipaksakan bisa kita pakai kasus orangtua dan pisau. Orang tua yang takut anaknya teriris pisau apalagi kalau dia tahu bahwa pisau itu dibuat oleh orang jahat untuk tujuan jahat yang terselubung, “wajarlah” kalau orangtua melarang anaknya untuk tidak membeli dan bermain dengan pisau itu. Orangtua takut anaknya terluka dan pada akhirnya “dilukai” karena sang pembuat pisau diketahui (oleh orangtua) berniat tidak baik dengan membuat pisau itu. Sebaliknya, orangtua yang, karena beberapa hal dan pengalaman, bersikap lebih moderat, mengizinkan anaknya untuk membeli dan bermain dengan pisau itu dengan terlebih dulu memberikan wawasan tentang bahaya yang berpontensi timbul sebagai akibat dari bermain-main belati secara sembarangan dan tidak hati-hati baik bagi diri sang anak sendiri maupun bagi orang lain yang ada di dekatnya dan di sekelilingnya.
Analogi di atas paling tidak bisa memberikan gambaran kepada kita untuk secara luas memahami esensi dari sebuah masalah yang untuk dan kepadanya kita bersikap, alasan dibalik sikap positif atau negative kita terhadap sebuah pokok permasalahan dalam hal ini perayaan Valentine Day, dan apa konsekuensi serta tindakan lanjutan (follow up) kita setalah mengeluarkan satu sikap yang kita jadikan sebagai sikap komunal dalam lingkup keluarga. Sekali lagi, yang pro dan kontra, pasti memiliki alasannya sendiri-sendiri ,dalilnya sendiri-sendiri dan kepentingannya sendiri-sendiri juga. Semua orang bebas beropini. Yang tidak bebas adalah memaksakan opini dan sikap kita kepada orang lain supaya mereka turut menganut sikap kita. Lalu apakah ini pertanda bahwa semua boleh dilakukan? Tentunya, jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, jika sebuah tindakan dilakukan atas dasar yang benar dan tidak jika dasar kebenaran dibalik tindakan tidak ada atau sangat minim. Ya dan tidak atau boleh tidaknya sesuatu dilakukan bukan semata-mata hanya karena sesuatu itu baik. Yang baik belum tentu benar dan bermanfaat. Itu saja ukurannya. Ini bukan berarti kita berdiri pada bidang abu-abu yang serba permisif. Kita tetap berpijak pada hitam dan putih. Sikap kita harus hitam atau putih bukan abu-abu. Pun begitu, kita tetap perlu tahu bidang abu-abunya.
Ironis sekali kalau kita hanya memaksakan sikap dan pikaran kita yang hitam atau putih tetapi ketika ditanyakan alasan sesungguhnya dibalik hitam putih sikap kita itu hanyalah “sikap warisan”. Kita mewarisi sikap hitam atau putih dari para pendahulu kita tanpa memeriksa kembali apakah sikap itu masih relevan atau tidak untuk konteks masa kini. Akan tetapi, bersikap putih secara membabi buta juga sangat tidak baik karena babi yang buta selalu tidak bisa melihat apa yang ada di depan, di belakang, dan di samping kanan-kirinya. Sikap membabi buta hanya akan membuat kita terperosok ke dalam lubang dan kubangan kesulitan, sama seperti babi. Toleransi adalah satu kunci bisa bersikap benar dan bisa menerima sikap orang lain yang berbeda dengan kita tanpa harus saling menyakiti dan merendahkan. Sekali lagi, masing-masing memiliki alasan dan dasar pijakan. Namun begitu, toleransi tidak harus dan memang tidak boleh mengorbankan keyakinan yang kita anut selama ini dan akidah-akidah yang ada di dalamnya. Jika, atas nama toleransi, kita mengorbankan apa yang kita yakini dan pegang teguh selama ini, kita sebenarnya sedang terjerumus ke dalam bidang abu-abu. Over and over again, perbedaan tidak haris disikapi dengan berbuat dan mengeluarkan statement menyakitkan kepada pihak-pihak yang berbeda dengan kita. Itu bukan jalan melainkan awal dari sebuah kekacauan besar!

Tangan-Tangan di Balik Valentine Day
Munculnya Valentine Day sebagai sebuah fenomena global tentunya tidak lepas dari adanya tangan-tangan yang membuatnya sebagai fenomena budaya dan menjadikan manusia-manusia tertentu hanya sebagai mangsa yang mendatangkan keuntungan. Tangan-tangan yang saya maksud adalah kapitalisme. Saya menunjuk kapitalisme sebagai sebuah kekuatan global (tanpa menuding dan menunjuk hidung kelompok-kelompok tertentu seperti Yahudi, Amerika, Zionisme karena saya tidak/belum punya bukti materi) yang harus kita akui mampu menancapkan kukunya dengan sangat dalam di seluruh penjuru dunia atas dan terhadap banyak (bukan semua) orang.
Kekuatan kapitalisme global mampu merekayasa sedemikian rupa Valentine Day sehingga hampir-hampir menjadi sebuah hegemoni dan untuk beberapa orang bahkan menjadi kultus.Tujuannya hanya satu-keuntungan materi. Valentine didandani sedemikian rupa sehingga tampil menawan yang membuat para muda kesengsem berat dan tidak bisa berpikir. Tangan-tangan kapitalisme, dengan mendandani valentine day sedemikan rupa, (seolah-olah) memberikan nuansa baru dalam kehidupan. Semua serba indah, serba romantic, serba indah, dsb yang sangat membuai dan melambungkan harapan untuk sesaat. Memang, faktanya, kepiawaian tangan-tangan kapitalisme ini, pada tataran praktis berpotensi menimbulkan penyelewengan sikap dan tindakan. Orang-orang yang tidak sensitive dan yang pikirannya begitu dikuasai oleh impian romantisme sesaat tidak tertutup kemungkinan untuk jatuh ke dalam dosa seks bebas, drugs dsb. Akan tetapi, tidak semua yang ikut merayakan valentine melakukan yang seperti itu. Kita harus adail dalam memberikan penilaian. Menilai secara berimbang dengan pemikiran tulus dan bersih akan membuat kita obyektif dan jauh dari narsis. Tangan dan kekuatan global kapitalisme inilah yang sebanarnya harus kita hadapi bersama-sama karena faktanya, kekuatan ini mampu menguasai dan memanipulasi paling tidak 3 hari besar/raya keagamaan-Idul Fitri, Natal, dan Imlek untuk mendapatkan tujuan mereka-keuntungan.

Valentine Day: Pertanyaan
Valentine dimaknai oleh sangat banyak orang di seluruh penjuru bumi sebagai momen untuk menyatakan kasih. Namun sayangnya, kasih yang dinyatakan hanyalah sebuah kasih yang terbatas dan seringkali juga memiliki berbagai tendesi di dalam dan di baliknya. Hakikat kasih dan cinta, dalam perayaa-perayaannya, hanya dibatasi oleh gemerlap sebuah pesta dan romantisme sesaat. Kasih yang diungkapkan begitu terbatas karena kebanyakan orang yang merayakannya sudah memiliki obyek atau tujuan yang kepadanya kasih layak diberikan. Kaisih dalam perayaan Valentine menjadi sesuatu yang sangat kaku karena ruang lingkupnya yang terbatas dan dibatasi serta tidak menyentuh hakikat yang sesungguhnya-kasih untuk dan kepada sesama yang papa dan menderita. Mereka yang papa justru hanya menjadi penonton meriahnya pesta dan romantisnya suasana sementara mereka yang punya kasih justru cenderung larut dalam temaram sinar-sinar lampu dan semerbak aroma mawar. Kasih pada perayaan Valentine, pada umunya, tidak dan bukan seperti kasih seorang Samaria yang baik hati yang dengan sukarela mengulurkan tangan sebagai bentuk ekspresi kasih yang memang mengasihi karena lahir dari penghayatan mengenai yang hakikat dan hakiki.
Walaupun secara praktis, perayaan peringatan Valentine umumnya kurang membumi dalam pengertian kurang bisa mencapai yang hakiki dan hakikat—memberikan kasih kepada yang benar-benar membutuhkan dan secara obyektif layak menjadi “obyek” kasih, bukan berarti hari ini tidak memiliki nilai plus sama sekali. Nilai plus itu memang tidak bisa kita paksakan diukur dengan pandangan kita akan tetapi paling tidak hari ini bisa dijadikan titik awal sebuah pembelajaran tentang kasih dan mengasihi dalam arti yang sesungguhnya yang lepas dari hiruk pikuk pesta pora dan perilaku-perilaku menyimpang sebagai kurangnya pemahaman yang diberikan tentang yang hakikat dan hakiki.
Bagaimanapun juga, sikap kelewat keras terhadap perayaan hari ini justru akan berakibat kurang baik dan memndidik. Akan jauh lebih baik dan bermanfaat kalau kita terlebih para pemuka agama (yang sependapat dengan adanya hari dan perayaan hari ini-valentine) memanfaatkan momen ini untuk meletakkan suatu dasar dan pemahaman yang benar tentang hari ini untuk menanamkan kepdulian kepada sesame dalam arti luas. Paling tidak ini adalah upaya kontekstualisasi pengajaran nilai-nilai keagamaan. Pun begitu, kontekstualisasi tidak boleh dipahami sebagai dikorbankannya akidah agama dan menjadi momok super menakutkan. Mengajarkan nilai-nilai pada masa kini membutuhkan media dan cara yang lebih komunikatif.
Meletakkan dasar pengajaran yang benar dengan atau melalui media yang komunikatif (kontekstualisasi) akan sangat membantu pembentukan sikap dan perilaku orang yang diajar. Sebuah larangan Jauh lebih mudah dimengerti ketika disampaikan dengan memberikan alasan-alasan yang proporsional dan multi arah. Artinya, selalu ada dasar yang bisa dipertanggung jawabkan dibalik sebuah larangan. Multi arah artinya, orang yang diajar diberikan keleluasaan untuk bertanya dan mempertanyakan alasan yang diberikan bahkan diberikan kesempatan untuk berbeda pandangan. Tidak cukup baik jika kita mengatakan kepada seorang anak untuk tidak memegang api hanya karena api itu panas tetapi tidak mempunyai jawaban lain yang rasional ketika ditanyakan kenapa api itu panas. Ironisnya, kalau karena tidak mempunyai cukup alasan dan wawasan “orangtua” menutup dengan jawaban yang kurang operasional seperti,”sudah dari sononya seperti itu!”
Dalam kaitannya dengan valentine day, “orangtua” dalam hal ini para pemuka agama-semua agama dituntut untuk mampu dan kreatif meyampaikan pengajaran dan dasar kenapa ia membolehkan dan melarang “anak-anaknya” merayakan valentine. Kemampuan memang mau tidak mau merupakan kompetensi yang memang harus dimiliki oleh seoarang pengajar sebagai tuntutan zaman. Tanpa kemampuan untuk memberikan pengajaran yang benar dengan didukung oleh kepiawaian memilih media pengajaran yang komunikatif, pengajaran-pengajaran nilai-nilai agama berpotensi menimbulkan gesekan dengan kelompok yang berbeda. Yang harus dan perlu disadari oleh para pengajar-pemuka agama adalah di dalam perbedaan itu ada nilai-nilai yang indah jika disikapi dengan benar dan dengan alasan yang benar. Valentine hanya satu contoh bagaimana kita harus mengelola perbedaan pandangan tanpa harus merasa disakiti dan menyakiti pihak lain. Sekali lagi, yang jauh lebih penting untuk ditanamkan adalah pengertian dan alasan. Kalau kita memang pro dengan valentine, apa dasar dan alasannya, kalau tidak, kenapa kita bersikap seperti itu dan bagaimana bersikap kepada mereka yang pro valentine. So, being tolerant adalah kuncinya. Jangan memaksa kalau tidak mau dipaksa. Jangan memaki kalau tidak mau dimaki. That’s all.

“Act Sounds Louder than Words”

Tidak ada komentar: