Minggu, 24 Februari 2008

Man of God: Calling or Profession?

Hamba Tuhan: Panggilan atau Profesi?

Hamba Tuhan, panggilan atau profesi? Itulah pertanyaan yang belakangan ini muncul dibenak saya ketika membaca bagian akhir dari satu paragraph pendek dalam buku ”Konsep Karakter Kompetensi Kepmimpinan Kristen” yang ditulis oleh Sendjaya dan ditebitkan oleh Kairos Yogyakarta. Begini petikan paragraph tersebut:
Jadi, panggilan Allah tidak hanya terbatas pada panggilan menjadi Hamba Tuhan penuh waktu (ordained minister). Panggilan Allah dating kepada setiap kita dan manifestasinya terjadi di setiap profesi, meskipun calling tidak bisa direduksi menjadi profesi.
Bagian terakhir--calling tidak bisa direduksi menjadi profesi, adalah statement yang menurut saya, sebagai orang awam sangat menarik jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah Hamba Tuhan (man of God) itu panggilan atau profesi? Pertanyaan ini sangat menarik untuk direnungkan karena batas antara panggilan dan profesi seringkali tidak jelas dan bisa “menjebak” seseorang ke dalam lingkaran setan yang tidak berujung pangkal.

Panggilan atau Profesi ?
Tidak terlalu mudah memang untuk mengatakan apakah Hamba Tuhan adalah panggilan ataukah sebuah profesi. Jika kita membatasi profesi dari atau dengan sudaut pandang kamus besar Bahasa Indonesia, profesi, maknanya adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh suatu keahlian tertentu. Namun demikian, batasan praksis cenderung menambahkan satu unsur ke dalam definisi profesi –untuk mendapatkan sesuatu dari profesi/pekerjaan yang dilakukan. Memang ini adalah batasan praksis. Artinya, secara praktis, orang berharap untuk bisa to earn something atau to make money dengan melakukan pekerjaannya. Ini adalah hal yang wajar.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Hamba Tuhan masuk dalam kategori ini-profesi. Jawabannya bisa “ya” atau “tidak”. Pengertiannya, menurut saya sebagai seorang awam, “ya” dalam pengertian bahwa pada akhirnya, ketika seseorang yang telah ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu untuk melayani jemaat (?) maka ia pastilah masuk ke dalam lingkungan “dunia kerja” yang di dalamnya ada aturan-aturan dan norma-norma. Mau tidak mau, Hamba Tuhan dalam arti sempit (orang yang ditahbiskan untuk melayani sepenuh waktu di lingkungan yang terbatas-gereja) harus mengikuti jadwal kegiatan, peraturan-peraturan sinodal dan hal-hal lainnya seperti mengikuti perkumpulan profesi dan harus melakukan sesuai dengan apa yang digariskan (dituntut) oleh jemaat/majelis. Rutinitas semacam inilah yang bisa dijadikan sebagai indicator untuk mengacu Hamba Tuhan sebagai profesi.
Lalu bagaimana dengan criteria yang kedua—to make money? Ini memang gampang-gampang susah. Gampang dalam pengertian sudah sepantasnya dan seharusnya jika gereja atau jemaat memberikan imbalan yang pantas sesuai dengan yang telah digariskan oleh organisasi-Sinode . Naif dan tidak adil kalau jemaat/gereja melalui majelis memberikan beban dan tuntutan tinggi kepada Hamba Tuhan sementara mereka (gereja/jemaat) hanya mau membayar rendah atau ala kadarnya. Yang ini keterlaluan!
Dalam hubungannya dengan making money, ada kasus-kasus yang ironisnya dilakukan oleh oknum-oknum Hamba Tuhan yang justru membuat orang lain menilai apa yang dilakukannya (tugas kependetaan) hanyalah sebuah profesi yang dijadikan alat untuk memakmurkan diri sendiri dengan memperalat Alkitab. Jangan pernah katakana ini tidak ada! Berapa banyak Hamba Tuhan yang selalu bertanya fasilitas apa yang akan diberikan, perpuluhannya masuk mana (untuk gereja-gereja tertentu perpuluhan memang menjadi sumber pendapatan gembala), basah keringnya posisi (tentunya dengan cara yang diplomatis). Hal-hal semacam ini merupakan reduksi panggilan. Artinya, oknum-oknum tertentu dengan sendirinya mereduksi panggilannya. Jika ini yang terjadi, bukan orang lain yang menjadikan Hamba Tuhan sebagai profesi (karena seringkali pembelaan yang dilontarkan adalah jemaat/majelislah yang membuat Hamba Tuhan sebagai profesi dan seorang Hamba Tuhan menjadi seorang professional).
“Tidak” sebagai jawaban untuk pertanyaan apakah Hamba Tuhan terkategori sebagai profesi bukanlah jawaban tanpa dasar. Dalam sebuah perbincangan denga beberapa mahasiswi tentang hal ini, mereka menyatakan bahwa Hamba Tuhan adalah panggilan. Memang, menurut mereka, realitas di lapangan menunjukkan adanya pergeseran dari panggilan ke profesi. Materi, fasilitas dan kenyamanan kerap kali membuat seseorang tergoda dan akhirnya jatuh ke dalam jurang materialisme berbalut baju dan jubah kependetaan dan pelayanan. Pun begitu, hal-hal semacam ini hanyalah kasus (tapi cukup signifikan dampaknya!) dan tidak bisa dijadikan standar untuk sebuah jastifikasi bahwa Hamba Tuhan adalah profesi.
Lalu apakah sebenarnya panggilan itu? Masih dari pembicaraan dengan beberapa rekan mahasiswa saya simpulkan bahwa panggilan adalah suara dari Allah yang meminta seseorang untuk melakukan tugas-tugas kenabian untuk menggembalakan umat manusia dan membawanya kepada Kristus sang juru selamat. Memang, cara dan media yang dipakai Allah untuk memanggil seseorang untuk menjadi hambaNya (dalam arti sempit Hamba Tuhan ) sangatlah beragam. Power dari panggilan itu sendiri pun beragam. Inti dari jawaban Hamba Tuhan bukan profesi adalah bagaimanapun kondisinya, sesulit apapun keadaannya, panggilan Allah adalah tetap panggilan. Panggilan ini pula yang oleh manusia sering kali dilembagakan sebagai sebuah profesi. Hamba Tuhan adalah panggilan walaupun secara praktis, karena berada dan beroperasi di lingkup organisasi (gereja, universitas, dsb), membuat seolah-olah panggilan itu menjadi sebuah profesi. Dalam kasus ini, sebenarnya tidak pernah terjadi reduksi panggilan. Yang terjadi adalah penaungan. Profesi menaungi panggilan karena alasan organisasionil. Satu hal yang perlu ditekankan, berkaitan dengan jawaban ini adalah, Hamba Tuhan adalah (tetap) panggilan tetapi Hamba Tuhan harus bertindak professional!

Hamba Tuhan Terdikotomi?
Dikotomi Hamba Tuhan sebagai profesi dan panggilan memang sangat dihindarkan pada kehidupan masa kini. Dikotomi ini seringkali mengarahkan kepada perdebatan tentang boleh tidaknya Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Ada beragam sikap dan pandangan tentang hal ini. Yang pro mengatakan Hamba Tuhan tidak boleh berbisnis. Statement ini disertai dengan argument-argumen dan ayat-ayat Alkitab yang mendukung (dijadikan pendukung). Sedangkan yang kontra menyatakan it’s ok Hamba Tuhan berbisnis. Statement ini tentunya juga di dukung oleh dan dengan berbagai argument. Perdebatan semacam ini memang seperti pertanyaan mana yang lebih dulu, telur atau ayam.
Sebagai seorang awam, saya berpendapat, baik-baik saja jika seorang Hamba Tuhan mempunyai pekerjaan sampingan. Akan tetapi, kriterianya juga harus jelas. Jika jemaat memang terbukti secara obyektif belum bisa memberikan tunjangan hidup yang layak maka Hamba Tuhan bisa melakukan hal lain untuk menambah biaya pemenuhan kebutuhan keluarganya. Bagi yang kontra, hal semacam ini cenderung diartikan sebagai tidak mengandalkan dan beriman kepada Kristus. Ini sebenarnya adalah sebuah ketakutan besar. Yang kontra takut proses “mencari di tempat lain” bisa menggerogoti dan pada akhirnya menghilangkan panggilan kenabian seseorang. Ketakutan ini, bagi saya kurang beralasan. Bukankah tidak jarang orang-orang yang sudah berada dalam posisi mapan juga kehilangan panggilan. Bukankah Paulus, juga harus menjadi tukang tenda untuk menghidupi dirinya. Bagi Paulus, jauh lebih baik tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani. Apakah dengan berprofesi sebagai tukang tenda panggilan Paulus hilang? Tidak sama sekali! Intinya adalah, kita sendirilah yang paling mengetahui apakah panggilan kita sedang bergeser menjadi sebuah profesi dalam pengertian yang sempit karena berbagai alasan.

What Now
Jika kita bolak-balikkan pertanyaan, apakah Hamba Tuhan panggilan atau profesi ataukah profesi yang didasari oleh panggilan, jawabannya tentu sangat variatif. Tidak pernah salah kalau kita menyebut Hamba Tuhan sebagai profesi karena faktanya di dalam Kartu Tanda Penduduk yang ditulis adalah pekerjaan: Rohaniwan. Yang penting dan yang terutama adalah kita tidak terkungkung oleh pertanyaan-pertanyaan dan retorika-retorika yang diajukan oleh oranglain tentunya dengan alasan dan tujuannya sendiri-sendiri. Alasan dibalik pertanyaan semacam itu tidak selalu negative. Banyak juga orang yang menjadi sadar diri setelah kepadanya diajukan pertanyaan ini.
Yang terpenting bukan mana yang lebih besar dan utama, pakah profesi lebih besar dari panggilan ataukah sebaliknya. Yang utama adalah seberapa besar komitmen kita terhadap panggilan untuk menyuarakan panggilan dan seruan kenabian yang telah Allah berikan kepada kita. Selain itu, apakah semangat zaman yang semakin materialistis ini mampu mengaburkan bahkan menyimpangkan kita dari jalur dan jalan panggilan kita itu yang perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Berputar-putar dalam retorika hanya akan membuat kita terkungkung dan stagnan. Yang paling penting dan utama adalah bertindak mewujudkan panggilan! Act sounds louder than words.

Tidak ada komentar: