Minggu, 03 Februari 2008

The Irony of SBY-JK Berpoco-poco, Mega Berdansa

SBY-JK Berpoco-Poco, Mega Berdansa

Jawa Pos edisi Sabtu 2 Febuari 2008 memuat sebuah berita pendek tentang tanggapan Wapres Jusuf Kalla terhadap tudingan mantan presiden Megawati yang kini tengah getol melakukan safari politik untuk menggalang suara dan kekuatan yang akan dijadikannya sebagai kendaraan politik untuk bisa menduduki kembali kursi RI-1. Dalam tudingannya, Mega mengatakan pemerintahan yang dikomandani oleh SBY-JK tak ubahnya seperti menari Poco-Poco-maju selangkah mundur selangkah, maju dua langkah mundurnya juga dua langkah. Singkatnya Mega mengatakan the incumbent government saat ini tidak tegas alias gampang bimbang dan ragu-ragu. Akibatnya, kondisi bangsa ini saat ini semakin tidak menentu.
Menanggapi “sentilan” Ibu Mega, Wapres Jusuf Kalla, bukan Jarwo Kuat, mengatakan kalau pemerintahan saat ini dikatakan menari Poco-Poco, pemerintahan ketika Ibu Mega berkuasa dulu diibaratkan menari dansa-muter-muter di tempat, tidak ada kemajuan. Jawaban Jusuf Kalla tentunya mempunyai dasar (paling tidak dari sudut pandang penguasa saat ini). Paling tidak, baik Mega maupun JK sama-sam mempunyai alasan dibalik pernyataan yang mereka lontarkan. Selain itu, masing-masing tentu mempunyai tujuan. At least, Mega berusaha menunjukkan kepada public kalau pemerintahan saat ini kurang baik dan berpihak kepada rakyat, sementera itu BApak JK mungkin sedang menepis perkataan Mega dengan mengatakan secara tidak langsung,” Kalau Anda memilai pemerintahan saat ini tidak becus, pemerintahan Anda dulu juga tidak.”

Tontonan yang Tidak Berguna
Aneh tapi tidak lucu, itulah pendapat saya tentang yang dilakukan oleh dua tokoh nasional negeri ini. Mereka berdua cenderung kekanak-kanakan dan kurang gentle menghadapi kondisi yang ada saat ini. Kurang pantas kiranya, sekali lagi menurut saya, kalau dua orang yang pernah dan yang sedang memimpin negeri ini yang sedang sekarat menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung berkurang justru eker-ekeran untuk sesuatu yang sangat tidak berguna.
Ibu Mega pastinya tidak akan memperoleh apapun bahkan simpati dari khalayak hanya dengan melontarkan ejekan-ejekan yang ditujukan kepada pemerintah yang sedang berkuasa saat ini. Yang bisa dibaca dengan jelas dibalik statement Ibu Mega hanyalah upaya tebar pesona untuk mendulang simpati dan suara yang bisa mengantarkan beliau ke kursi RI-1 kembali. Upaya memperoleh simpati dengan melakukan cara-cara seperti ini dengan tidak mau berkaca kepada masa pemerintahannya hanya menyajikan sebuah tontonan tak ubahnya seperti Republik Mimpi yang rakyat dan pemerintahannya hanya Baru Bisa Mimpi. Eker-ekeran murahan seperti ini tak ubahnya seperti yang dalam pepatah Jawa dikatakan sebagai “Rebutan Balung Tanpa Isi”. Bu Mega, yang pernah saya kagumi dan pilih ternyata saat ini tidak jauh berbeda dengan Ibu Mega Karti dalam Republik Mimpi.
Penyakit umum yang mengancam umat manusia tetapi tidak pernah disadari oleh masing-masing manusia adalah narsisme. Manusia merasa dirinya paling baik, pemerintahannya paling baik dan berpihak kepada rakyat. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang menilai dan siapa rakyat yang selalu dijadikan sebagi rujukan. Ketika seorang ayah/ibu did lam rumah tangga dan keluarga menilai apa yang sudah dilakukannya adalah yang terbaik sebenarnya jka dibandingkan dengan ibu/bapak dalam keluarga lain, penilaian itu adalah sesuatu yang subyektif bahkan narsis. Apalagi kalau anggota keluarga tidak pernah diberikan kesempatan untuk secara jujur mengatakan penilaiannya sekali lagi itu semua hanyalah satu bentuk narsisme. Biarkan rakyat (bukan konstituen bukan pula kader partai) yang menilai, maka kita akan tahu jawaban yang sesuangguhnya tentang siapa dan apa kita.
Kebulatan tekad untuk menjadi oposisi tentunya sangat baik dan sebuah pilihan yang mulia, menurut saya. Pun begitu, control yang dilakukan oleh oposisi terhadap pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak seharusnya dilandasi oleh rasa sakit hati karena pemimpin yang sekarang dulunya adalah anak buah yang dianggap sebagai Brutus. Koreksi oposisi terhadap semua kebijakan pemerintah yang berkuasa (the incumbent) HARUS dilontarkan sesuai dengan aspirasi rakyat (sekali lagi buka konstituen atau kader partai) dan untuk kepentingan RAKYAT itu sendiri. Oposisi bukan sebuah hal yang haram dan bagi saya memang sudah waktunya ada di negeri ini karena dengan begitu ada yang mengawasi dan menyentil pemerintah dengan segala kebijakannya. Namun begitu, oposisi yang diperlukan saat ini adalah oposisi yang berpihak kepada rakyat dan pastinya berani berkaca. Kalau kaca yang dipakai oposisi adalah kaca/cermin yang bersih dan baik tentunya tidak akan pernah ada pepatah buruk rupa cermin dibelah.”
Hidup seringkali diibaratkan bagai sebuah biduk yang menagrungi lautan. Ada ombak dan badai yang tidak pernah terduga dating dan perginya. Seperti itu juga kehidupan bernegara. Sebagai sebuah keluarga yang sedang menghadapi masalah, seharusnya dan selayaknya semua orang bersatu dengan dipimpin oleh sang kepala keluarga. Banyak memang kepala keluarga yang tidak siap menghadapi kondisi dan perubahan yang sangat drastic-panik.
Dalam kepanikan, seringkali penumpang dalam sebuah perahu berteriak-teriak. Teriakan mereka ada yang menyakitkan ketika sampai ditelinga sang nahkoda. Disinilah kehandalan sang nahkoda dituntut-mengendalikan diri. Jika seorang nahkoda terlalu cepat meresponi secara negative teriakan anggota keluarganya dengan balas bersikap negative inilah yang terjadi-saur manuk dan rebutan balung tanpa isi. Belum tentu teriakan menyakitkan itu tidak benar. DAripada mati-matian berusaha membela diri, ada baiknya kalau sang nahkoda memusatkan diri untuk membawa biduk yang dikemudikannya ke tujuan dan supaya tidak karam. Teriakan-teriakan semacam itu sebisa mungkin direndam atau kalau perlu tidak didengarkan karena hanya akan menganggu konsentrasi semua orang-bukan hanya sang nahkoda. Mungkin alasan klasik yang dipakai untuk membenarkan tindakan balas meneriakkan nada sumbang/minor adalah :”Nahkoda juga manusia!
Hentikan Semua
“Bapak, Ibu yang terhormat, sudahlah. Hentikan saling ejek dan saling memaki. Kita sedang sulit dan hamper tenggelam. Ibu, sejujurnya ada hal-hal baik yang Ibu lakukan ketika Ibu berkuasa tetapi ada juga yang tidak baik juga ketika Ibu berkuasa.”
“Bapak, sudahlah. Jangan tipis kuping begitu. Dengarkan apa yang Ibu katakan, lalu kita pikirkan bersama bagaimana baiknya. Bapak, harga-harga yang makin menggila dan banjir dimana-mana itu jauh lebih penting untuk dipikirkan. Simpan saja kegusaran karena teriakan Ibu. Bapak, rakyat butuh makan dan kepastian. Bapak, banjir juga perlu segera dikeringkan. Janganlah selalu beralasan pemansan globallah penyebabnya. Bapak dan Ibu sudah waktunya kita menjadi orang dan manusia dewasa untuk menghadapi krisis ini, derita ini dan ketidakpastian ini. Ibu, seandainya memang Ibu tidakpernah senang dengan apa yang dilakukan Bapak saat ini, tahan dulu lah. Lihatlah kami anak-anakmu sedang merana dalam ketidakpastian. Kok tega-teganya kalian “malah bermain sandiwara”.
Perseteruan semacam ini hanya layak dipertontonkan dalam Republik Mimpi. Kalau mereka yang menyajikan pasti akan jadi tontonan yang menggelikan sekaligus mengundang kita untuk berpikir. Hal semacam ini memang layak mereka pertontonkan karena mereka memang qualified untuk itu. Sebaliknya, kalau pertunjukan semacam ini dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional, saya sebagai anak, hanya akan bertanya teladan apa sebenarnya yang sedang diajarkan. Yang sedang diajarkan saat ini tidak ubahnya hanya sebuah kemunafikan. Munafik karena tidak pernah mau melihat keburukan diri sendiri dan selalu melihat keburukan orang lain jauh lebih besar dari keburukan kita sendiri. Yang jelas, sebagi rakyat biasa, kamilah yang bisa menilai secara obyektif baik tidaknya yang Bapak dan Ibu lakukan. Memang kami tidak punya angka-angka statistic tapi kami punya nurani. Bukan zamannya lagi mencari popularitas dengan black campaign. Memang 2009 sudah sangat dekat dan kursi yang diperebutkan memang sangat menggiurkan. Tetapi satu hal yang pelu diingat adalah rakyat saat ini bikan yang dulu lagi yang mudah dibodohi dengan berbagai slogan dan rayuan kosong. Intinya, semakin agresif Bapak/Ibu melakukan black campaign semakin jauh hati kami dari Bapak/Ibu.
Tulisan ini bukan saya tujukan untuk menyerang tokoh-tokon nasional karena dengan sejujurnya dan segala kesadaran saya sangat mengetahui siapa diri dan keberadaan saya.Pun begitu sebagai rakyat dan sebagai anak bangsa ini, saya hanya berusaha menyampaikan apa yang saya dan mungkin jutaan orang di negeri ini rasakan, bahwa tidak sepantasnya sandiwara semacam itu dipertontonkan dalam kondisi yang serba sulit ini. Kenap kita tidak bersatu dan bergandeng tangan untuk bersama-sama keluar dari segala kemelut ini supaya kita tidak hanya bisa menjadi sebuah bangsa yang hanya Baru Bisa Mimpi. Kalau ini tercapai, maka parody Republic Mimpi akan hilang dengan sendirinya tanpa harus dihlangkan secara paksa. Kita bangsa yang besar dan saya yakin, bersama kita bisa menjadi bangsa yang idak hanya bisa mimpi. Kita sendiri yang menentukan nasib bangsa dan negeri ini. Sekaranglah waktunya untuk bersatu tau kalau tidak kita akan menyesal selamanya!!!!

Tidak ada komentar: