Senin, 14 Januari 2008

Tempe: The Fall of the Last Fortress

Tempe: Runtuhnya Benteng Terakhir

Tempe dan Fast Food: Siap Suka, Siapa Menang?
Tempe, mungkin dulu dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ungkapan-ungkapan semacam,”Dasar otak tempe.” Paling tidak pernyataan ini adalah bukti cultural betapa rendahnya nilai tempe di mata masyarakat kita. Mungkin, sekali lgi mungkin, sebagian besar masyarakat kita menganggap tempe hanya barang murahan (?) dan kurang bergengsi dibandingkan dengan fast food (junk food) seperti KFC, Mc.Donald , Wendys dsb.

Transisi budaya dan perubahan dari masayarakat agraris menjadi masayarakat industry yang melanda bangasa ini tidak dibarengi dengan kesiapan dan kesigapan cultural termasuk dalam hal makanan. Bangsa ini , sejak masuk dan merajalelanya francise-francise atau waralaba-waralaba asing, sejak dini mulai dididik dalam pola makan instan. Fast food mulai menjadi “raja”. Balita sampai kakek-nenek semua , minimal tahu apa itu KFC. Bahkan ironisnya, anak-anak, dalam pertumbuhan dan perkembanganya, lebih dikenalkan (tepatnya korban) kepada budaya makan makanan cepat saji yang dari sisi kesehatan terbukti kurang baik tetapi menang dari sisi prestise dan gengsi. Hampir tidak ada, kalau diberikan kebebasan memilih, anak-anak yang dengan sukarela memilih warung masakan Padang, Jawa sebagai tempat favorit. Alasannya yang paling umum, tempat-tempat seperti itu kurang gaya dan gak gaul.

Salah asuhan cultural semacam ini tidak hanya menjadi “penyakit” yang menjangkiti dan sengaja ditularkan kepada balita dan anak-anak. Khalayak umum terutama golongan ABG dan muda (bahkan Bapak dan Ibu mereka) sudah terkontaminasi dengan “virus” fast food minded. Akibatnya, tempe tidak hanya dipandang sebelah mata tetapi juga dianggap tidak ada. Tempe kebanyakan diidentikkan dengan golongan proletar, wong ndeso dan yang nyerempet-nyerempet dengan kesan kurang positif. Sikap cultural semacam ini dimanfaatkan oleh tetangga yang bisa “melihat peluang”. Tempe dipatenkan oleh Jepang! Nah lho. Ternyata tetangga kita itu ternyata jauh lebih jeli melihat peluang daripada kita yang secara de facto dan (seharusnya) de yure memang pemilik warisan budaya tersebut. Tempe oh tempe, nasibmu kini.

Tempe Menggoyang Istana
Ironi tempe d an tahu rupanya bukan hanya terjadi ditingkat kelembagaan (dipatenkannya tepe oleh Negara lain) tetapi saat ini ditingkat operasional. Artinya, yang terjadi saat ini adalah tempe dan tahu hilang dari pasaran. Masyarakat umum kelabakan karena tempe, sang benteng terakhir, untuk alternative lauk murah meriah tetapi menyehatkan kini runtuh. Runtuhnya benteng pertahanan terakhir-tempe semakin memperparah kondisi golongan proletar (rakyat miskin) yang dengannya tempe diidentikkan. Tidak ada lagi yang murah. Sembako mahal. Telur dan minyak goreng mahal. Krupuk ikut-ikutan mahal karena harga tepung dan minyak goreng yang makin melambung. Komoditas-komoditas itu bukan tidak terbeli tetapi rasionya dengan angka kecukupan untuk komsusmsi keluarga sangat dipertanyakan. Tidak ada lagi tempe tahu seharga Rp2000 yang cukup untuk lauk 2-3 orang dalam satu keluarga. Kalau yang murah tetapi menyehatkan saja sudah tidak ada lagi, lalu masih adalgikah alternative lauk lain yang nilai dan kualitasnya sama dengan tahu tempe? Ataukah memang kita harus selalu bertanya kepada rumput yang bergoyang dan kepada Tuhan?
Raibnya tahu tempe dari pasaran bukan tanpa sebab. Mereka hilang bukan karena ditimbun oleh para spekulan nakal yang akan memanfaatkan momen kenaikan harga untuk mengeruk keuntungan. Tempe dan tahu bukan BBM yang bisa ditimbun dan dimainkan pada saat yang tepat melainkan sebuah produk yang harus segera disajikan pada saat yang tepat. Tempe dan tahu hilang dar peredaran karena para pengusahanya tidak lagi bisa berproduksi. Harga kedelai mahal, naik 100% dari sebelumnya. Kenaikan harga yang sebenarnya sudah terjadi beberapa bulan lalu memaksa para pengusaha yang terus-menerus dengan berbagai trik mencoba bertahan akhirnya terpaksa tunduk kepada “nasib”. Mereka gulung tikar satu persatu.
Naiknya harga kedelai yang sangat fantastis dan gulung tikarnya para pengusaha tempe dan tahu memaksa mereka mengadukan nasib ke istana presiden yag mulia. Mereka, tidak perlu dihitung jumlah personnya, bersama-sama menjerit di depan istana presiden “HANYA” untuk mengadukan masalah yang mereka hadapi. Mereka ingin tetap dan terus hidup sebagaimana masyarakat lainnya juga bisa tetap hidup. Para pengusaha itu, ingin tetap bisa hidup dan menghidupi keluarga mereka juga karyawan dan keluarganya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah istana yang mulia mau (pastinya mau dan harus mau) mendengarkan keluh kesah mereka dan memberikan solusi supaya mereka (para pengusaha tempe) dan pedagang yang menggantungkan hidup darinya bisa hidup kembali. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua masalah harus diteriakkan ke telinga penguasa tertinggi negeri ini untuk mendapatkan perhatian. Kalau memang ini yang terjadi, lalu apa pekerjaan para pembantu penguasa/presiden yang tinggal di istana? Pak Presiden, apakah di istana masih punya banyak stok tempe dan tahu?
Sepanjang sejarah bangsa ini, baru kali ini istana presiden digoyang oleh isu tempe. Goyangan isu ini membuktikan kalau negeri ini dihuni oleh para penduduk (termasuk saya) miskin yang dengannya tempe selalu diidentikkan. Hilangnya tempe dan tahu dari pasaran semakin memperparah kondisi yang sudah semakin buruk. Ini justru kontras dengan pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan selama ini. Isu tempe, kalau tidak disikapai dengan cepat, tepat dan arif bukan tidak mungkin akan semakin menurunkan popularitas pemimpin negeri ii yang berakibat 2009 Beliau-beliau tidak akan dipilih lagi. Sopan santun bangsa kita untuk tetap dan terus nerimo apa yang ada saya rasa ada batasnya. Masalah kelangkaan tempe dan tahu ini bukan tidak mungkin mengarahkan sikap bangsa ini untuk tidak simpati lagi terhadap pemimpin dan kepemimpinan nasional. Adakah dari para pembesar negeri yang bisa mengatakan:” Stok tahu, tempe, terutama kedelai aman untuk …hari ke depan,” Seperti ketika mereka menghibur rakyat ketika terjadi kelangkaan BBM?
Tempe menggoyang istana bisa dijadikan bahan tertawaan dan caci maki oleh negera-negara tetangga yang tidak bersahabat atau yang pura-pura bersahabat. Mereka bisa meresa over confidence dan superior karena melihat fakta semacam ini. Kalau ngurusi tempe saja kurang terampil apalagi berdiplomasi untuk kepentingan Negara dan bangsa yang kebanyakan rakyatnya adalah pemakan temped an tahu. Pun begitu, itu hanyalah sebuah pengandaian yang saya berikan (dan semoga tidak benar-benar terjadi). Pengandaian ini jelas-jelas bukan parody melainkan ungkapan hati yang timbul karena melihat fakta-fakta yang sudah ada (lepasnya Sipadan dan Ligitan, Kasus Blok Ambalat, dll). Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, ternyata tahu dan tempe memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga mampu dan berani menggoyang istana. Tempe, betapa perkasanya dirimu!

Tempe dan Manajemen Krisis
Tempe dan manajemen krisis kelihatannya merupakan dua istilah yang sama sekali tidak saling berhubungan. Akan tetapi, saat ini keduanya benar-benar saling berhubungan. Hilangnya tempe dan tahu yang mengakibatkan kepanikan (bukan panic buying) memang harus segera ditangani. Kita sedang siaga satu dalam kasus kelangkaan tempe dan tahu. Mau tidak mau, suka atau tidak maslaah ini harus segera diupayakan pemecahannya secara arif dan bijaksana. Krisis temped an tahu melibatkan banyak orang yang terancam di dalamnya. Banyak orang terancam kehilangan mata pencarian dan pendapatan karena tidak berproduksinya “industry” tempe dan tahu dalam skala nasional. Krisis ini jika tidak segera ditangani dan dicarikan solusinya, sama dengan krisis-krisis lainnya, berpotensi menimbulkan masalah lain yang timbul sebagai dampak.
Dalam kasus ini, menurut ketua Asosiasi Pengusaha Tahu dan Tempe, seperti yang dinyatakan pagi ini (15 Januari 2008) dalam dialog pagi di Trans TV, yang diinginkan oleh pengusaha/pengrajin tahu dan tempe bukanlah manajemen krisis tetapi penanganan komprehensif dan terencana. Beliau menegaskan , yang dimiliki pemerintah saat ini adalah manajemen krisis bukan upaya pemberdayaan secara komprehensif. Pemerintah sebenarnya sudah mengetahui bahwa Amerika Serikat sebagai negera pengekspor 60% kebutuhan kedelai nasional sudah mengurangi luas lahan kedelainya dan dikonversikan dengan Jagung. Pun begitu, pemerintah tetap saja tidak bertindak sigap. Setelah kejadian (harga Kedelai naik 100%) baru kelabakan.
Dengan memegang dan menjunjung tinggi azas praduga tidak bersalah dan tanpa bermaksud menghakimi pemerintah hanya atas dasar statement di atas, saya sebagai warga negara dan konsumen tempe dan tahu mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam hal pemberdayaan pertanian Indonesia dan pengusaha/pengerajin Tahu dan Tempe di negeri ini.
Ironi yang terjadi di bidang pertanian di negeri ini sekaligus yang mengundang pertanyaan adalah kenapa negeri seluas dan sesubur ini (atau tidak subur lagi (?)) hanya mampu memenuhi 30-40% kebutuhan Kedelai nasional. Parahnya lagi, 60% kekurangannya harus diimpor dari negera besar-Amerika Serikat. Memang, impor dengan kisaran yang sangat besar ini tidak perlu dikait-kaitkan dengan politik. Enam puluh persen bukan angka kecil untuk sebuah impor apalagi kalau yang diimpor adalah produk pertanian oleh Negara yang nota bene adalah Negara agraris seperti Indonesia. Apakah julukan sebagai negera agraris memang sudah tinggal kenangan. Kalaupun memang tinggal kenangan, lalu Negara apa kita ini-agraris bukan, industry juga bukan. Apakah kita harus dengan sukarela menyebut Negara kita ini sebagi Negara yang serba tanggung-tanggung melangkah, tanggung berusaha tetapi tidak tanggung-tanggung berhutang dan berkali-kali memohon-mohon pembebasan utang atau yang paling enteng penjadwalan kembali pembayaran hutang.
Seandainya pun kita masih boleh bermimpi, memimpikan kembalinya kejayaan sebagi negeri agraris yang di dalamnya ada swasembada dan surplus pangan yang memampukan kita kembali menjadi salah-satu pengekspor pangan terbesar yang diperhitungkan dunia bahkan ketika cadangan pangannya disumbangkan ke tetangga kanan -kiri pun kita masih tetap berjaya. Diakui atau tidak, factor ketahanan pangan suatu Negara sangat berkontribusi bagai diperhitungkan tidaknya suatu wilayah kedaulatan oleh wilayah kedaulatan lainnya. Ketahanan pangan berkorelasi erat dengan ketahanan nasional suatu Negara. Memang, ketahan pangan bukan satu-satunya factor yang menentukan ketahan nasional. Namun demikian, ketahan pangan harus diupayakan demi kesejahteraan rakyat.

Krisis Ini Salah Siapa?
Pertanyaan di atas adalah yang paling sering diajukan oleh oaring-orang tidak bijak ketika menghadapi masalah. Akan tetapi, bukan berarti pertanyaan ini tidak boleh diajukan dan dimunculkan. Alasannya, karena di negeri ini ada pemerintah yang dipilih untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa bernegara. Krisis Tahu dan tempe sebagai akaibat dari naiknya secara fantastis harga kedelai yang 60% diimpor dari USA karena berbagai alasan terutama mutu tidak bisa dilepaskan dari “kesalahan” pemerintah. Pemerintah kurang bisa memberdayakan sumber-sumber daya alam pertanian-lahan dan petani-petaninya.
Mengutip yang disampaikan oleh ketua Asosiasi Pengusaha Tahu dan Tempe bahwa kualitas Kedelai local kalah dibandingkan dengan Kedelai impor bisa dijadikan tolak ukur dan starting point oleh pemerintah untuk memberdayakan pertanian melalui teknologi. Saya, sebagai warga Negara, tidak pernah percaya kalau bangsa ini sedemikian bodohnya, sehingga untuk menghasilkan teknologi pengeringan Kedelai yang sesuai dengan baku mutu global tidak bisa.
Selain itu, disparitas harga Kedelai local dan impor yang kini sangat jauh berbeda bisa dijadikan langkah awal untuk momotivasi para petani memberdayakan lahannya (tidak semua lahan) untuk menanam Kedelai. Kalau dulu alasan petani local tidak mau menanam Kedelai adalah harganya yang terlalu rendah atau harga Kedelai impor jauh lebih murah, kini saatnya untuk menanam untuk memenuhi, walaupun belum semua, kebutuhan Kedelai minimal nasional. Yang diperlukan dari pemerintah, ketika semakin banyak lahan diberdayakan untuk menanam Kedelai adalah “perlindungan.” Artinya, ketika panen raya tiba harga tidak jatuh sehingga petani terpukul dan kapok menanam lagi karena biaya produksi dan harga jual tidak klop. Selain itu, pemberdayaan petani Kedelai dalam hal perlindungan juga harus diupayakan untuk tidak membuat petani manja yang sedikit-sedikit minta perlindungan. Yang perlu diberdayakan adalah kemampuan daya saing produk mereka dengan produk sejenis dari tempat lain.
Memang tidak mudah untuk melakukan perubahan semacam ini apalgi jika dikait-kaitkan dengan isu semakin singkatnya waktu kepemimpinan nasional. Perubahan yang kita harapkan ini bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Semuanya butuh diperjuangkan. Pemerintah berjuang mengupayakan berbagai alternative untuk memberdayakan petani dan hasil-hasil pertanian. Petani berusaha memberdayakan diri dengan meng-update diri dengan berbagai sarana yang ada. Terlebih lagi, harus ada bantuan yang bisa menjembatani kesenjangan antara petani dengan informasi. Intinya, petani Indonesia harus menjadi petani modern yang peka terhadap kebutuhannya sendiri. Sekali lagi, ini butuh kerja keras dan kemauan baik dari semua pihak. Tidak ada yang instan.
Saling menyalahkan dan saling tuding bukan cara yang bijak untuk menyelesaikan persoalan yang ada (krisis Kedelai). Saling menuding dan menyalahkan hanya akan menghabiskan banyak energy dan berpotensi menimbulkan sakit hati. Tidak salah kalau rakyat berteriak kepada penguasa dan orang-orang yang membantu sang penguasa karena mereka memang dipercaya untuk itu. Pemerintah tidak boleh tipis kuping. Kerjasama yang dilandasi saling percayalah yang bisa membantu kita keluar dari berbagai masalah. Akan jauh lebih baik dan sinergis kalau rakyat dan pemerintah saling bekerjasama karena pemerintah adalah bagian dari rakyat dan rakyat bagaian dari pemerintah dan pemerintahan. Semoga kemauan untuk berubah dan bersama-sama menumbuhkan iklim pertanian yang kondusif bisa membantu kita mencapai kembali swasembada dan surplus pangan sehingga dimasa mendatang tidak akan ada lagi dalam sejarah bangsa ini tempe menggoyang istana. Kapankah tanah yang subur sehingga tongkat kayu dan batu jadi tanaman bisa kita nikmati bersama sebagai satu bangsa? Kita sendirilah yang bisa menentukan.

Tidak ada komentar: