Jumat, 11 Januari 2008

Awas, Ada Destroyer (Watchout, Destroyer Roaming around in our Church)

Destroyer dalam Gereja

Dalam suatu perbicangan tak resmi yang diikuti oleh beberapa orang kepala keluarga yang adalah anggota dari sebuah gereja (kecuali saya; saya anggota gereja lain) pembicaraan mengarah kepada pembahasan atau tepatnya refleksi tentang kehidupan bergereja di gereja mereka (sekali lagi; saya berbeda gereja dengan mereka). Pembahasan dan “refleksi” mereka kian seru. Sebagai “pihak luar”, saya cenderung memosisikan diri sebagai good listener. Posisi ini saya ambil karena yang dibicarakan adalah kehidupan gereja dan bergereja dalam lingkup sangat sempit-gereja mereka dan untuk menghindari kesan ikut campur tangan (padahal campur omong khan?).
Sebagai good listener, saya benar-benar memainkan peran sebagaimana saya adanya. Akan tetapi, posisi itu “berubah” dan saya tidak bisa menahan diri untuk berpendapat ketika pembicaraan masuk ke satu titik yang menurut saya penting dan sifatnya mendasar-para majelis di gereja mereka mengusulkan (mewacanakan) untuk memberikan “honor tambahan” kepada staff pastoral (kalau di gereja saya disebut seperti itu) untuk “menahan” staff itu melakukan perusakan/sabotase “kecil-kecilan” terhadap peralatan ibadah seperti sound system yang memang telah terbukti akibatnya memang sangat merugikan jemaat secara umum dan kelangsungan ibadah. Untuk memberikan gambaran yang utuh dan jelas tentang hal ini, di bawah ini saya berikan petikan percakapan mereka:
“Saya mengusulkan kepada majelis untuk memberikan tambahan honor kepada Mr. X untuk menangani peralatan soundsystem dan supaya tidak merusaknya,” kata salah satu dari mereka. Selanjutnya, untuk menimpali statement, seorang lagi mengatakan:” Mungkin memang itu yang terbaik, karena dengan begitu si Mr.X tidak akan macam-macam. Buktinya sudah banyak .” Pernyataan yang jkedua ini diikuti dengan menunjukkan kasus-kasus di mana beberpa orang mendapati barang-barang inventaris gereja ada dan dipakai secara permanen di rumah si Mr.X. Selain itu, laporan dari berbagai pihak menyatakan barang/peralatan lain yang ditangani oleh orang lain pasti disabot oleh si Mr.X. Intinya, Mr. X jealous.
Omongan-omongan inilah, terutama statement yang pertama membuat saya tidak bisa menahan diri. Ketika waktunya pas, saya memberikan masukan dengan mengatakan kepada mereka:” Kalau di gereja saya, soundsystem hanya ditangani oleh orang-orang tertentu (soundman) jadi tidak cepat rusak.” Dalam kaitannya dengan upaya memberikan honor tambahan untuk menjaga keamanan peralatan ibadah, spontan saya katakana:” Kalau cara seperti itu yang selalu dipakai, itu tidak memdidik justru akan semakin membuat orang tidak bertanggungjawab dan menjadikan gereja dan perlengkapan di dalamnya sebagai obyek untuk mencari pemasukan tambahan dengan cara yang tidak benar. Kalau yang seperti ini saja (merusak) dibayar, maka dia pasti akan berusaha mencari-cari celah untuk merusak dengan tujuan mendapatkan penghasilan tambahan.” Menanggapi statement saya, mereka secara bergatian mengatakan: “ Memang seharusnya tidak seperti itu, tetapi faktanya berkata sebaliknya.”


Destroyer Dalam Gereja: Bagaimana Seharusnya Sikap Gereja?
Keberadaan destroyer dalam gereja baik dalam bentuk individu maupun yang berbentuk kelompok dari individu-individu tidak berlaku umum dan universal di setiap gereja. Namun begitu, eksistensi mereka dalam gereja baik sebagai kasus-kasus temporal maupun yang “sudah mapan” harus sama-sama kita akui ada dalam gereja. Mereka ada dengan dan k arena berbagai alasan dan kepentingan. Individu yang merasa tidak terlayani dengan baik berpotensi menjadi destroyer. Akan tetapi, tidak semua individu dan kelompok individu yang merasa tidak terlayani dengan baik memilih untuk menjadi destroyer mulai yang “menjahili” secara fisik-seperti contoh di atas atau bahkan yang “menjahili” keseluruhan proses ibadah dan kepimimpinan gerejawi. Terlepas apakah keberadaan destroyer dan para destroyers dalam gereja sifatnya hanya kasusistis temporal (apalgi yang sudah menetap dan cenderung menjadi perilaku), gereja dan pengurus gereja-gembala siding, majelis, mapun pengurus gereja harus segera mengambil sikap tegas untuk menyikapi keberadaan mereka guna menyelamatkan kepentingan yang lebih besar (bukan orang-orang “besar”-kaya) yaiutu keseluruhan kehidupan bergereja dan ibadah.
Penanganan destroyer, apapun bentuk keberadaan mereka dan obyek yang diserang, haruslah benar-benar dilakukan secara komprehensif holistic dengan didasari satu sikap bulat dari para pengurus gereja dan gembala sidang. Kesatuan sikap inI akan sangat membantu bukan hanya kelancaran proses penanganan tetapi juga membentuk satu komitmen bersama untuk bersatu hati menyadari, memahami dan mempunyai alasan yang jelas kenapa hal ini (destroyer dan destroying effect) tidak bisa ditoleransi. Tanpa kesatuan sikap, pandangan dan komitmen, seringkali, dalam proses penanganan pihak-piha kyang menangani kasus semacam ini berpotensi terseret kepada subyektifitas-rasa kasihan dan toleransi yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan sikap diam dan pura-pura tidak tahu dipihak pengurus/orang yang menangani masalah ini. Seringkali juga, tidak adanya satu sikap bersama dan komitmen yang jelas tentang masalah ini, bisa menimbulkan ketakutan dipihak pengurus. Maksudnya adalah jika sang destroyer atau destroyers baik sebagai individu atau kelompok individu adalah orang “kuat” (baca: kaya) pengurus takut tindakannya ini akan membuat sang destroyer tidak enak hati dan menarik dukungannya dari gereja. Jujur, bukankah pikiran-pikiran seperti ini masih ada bukan? Sebaliknya, jika sang destroyer adalah “orang kecil” tanpa adanya kesatuan sikap dan komitmen bersama yang jelas hanya akan menjadikan sang destroyer sebagai bulan-bulanan-dicerca, dimaki dan yang paling sopan dirasani (dijadikan bahan gunjingan). Keduanya sama-sama tidak baik hasilnya.
Setelah memiliki kesatuan sikap dan komitmen bersama yang jelas, gereja harus berani mengadakan pendekatan dan penanganan secara benar dan berdasarkan kasih. Kadang-kadang,inilah kesulitannya. Kasih seringkali dipolitisir dan diseret ke dalam ranah konseptual yang salah. Di ranah yang salah ini kasih diterjemahkan sebagai “haram” menegur dengan keras apalagi mengambil tindakan tegas. Kasih selalu hanya dibatasi sebatas “jangan diulangi lagi (kalau sudah permanen dan cenderung menjadi perilaku seperti contoh di atas bagaimana; cukupkah pernyataan pendek itu?). Pemikiran-pemikran salah seperti ini tidak bisa terus dipertahankan karena akan meninabobokkan dua pihak-destroyer dan yang menangani. Sang destroyer tidak akan pernah jera karena merasa aman-aman saja karena tidak adanya sanksi. Sedangkan dipihak kedua-yang menangani, akan terlena dan seiring berjalannya waktu akan menjadi permisif terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam itu karena merasa sudah mengingatkan.
Berkaitan dengan sikap yang harus diambil untuk menangani kasus-kasus seperti ini pertanyaan yang berpotensi muncul adalah perlukah tindakan keras/tegas untuk orang-orang yang melakukan pelanggaran semacam ini. Selanjutnya, apakah bentuk hukuman yang paling pas untuk mereka dengan menjadikan kasih kristiani sebagai dasar utamanya?

Tindak Saja, Jangan Takut
Kasih kristiani tidak menghilangkan keharusan untuk mengambil dan memberikan tindakan tegas atas pelanggaran yang sudah dilakukan seseorang (destroyer). Yang dihilangkan oleh kasih kristiani adanya potensi kesewenang-wenangan terhadap pelanggar (destroyer). Kasih kristiani menjunjung tinggi azas praduga tidak bersalah dan melindungi hak-hak destroyer. Oleh sebab itu, sebelum mengambil tindakan tegas perlu kiranya semua pihak yang berkepentingan memeriksa secara seksama laporan-laporan, mampu menghadirkan lebih dari satu saksi, dan mengumpulkan bukti-bukti obyektif pendukung tetapi bukan bukti yang muncul karena like and dislike pribadi baik dari pihak pelapor maupun para pengurus yang juga berpotensi memberikan bukti-buktii subyektif karena pengurus juga manusia seperti kata serius band.
Setelah bukti dan saksi-saksi (yang sekali lagi harus obyektif) tersedia, barulah proses awal penanganan masalah ini bisa dilakukan. Pemanggilan secara pribadi dan dialog secara pribadi dengan salah satu atau dua orang dari pengurus (hamba Tuhan&seorang lagi dari pengurus yang telah terbukti mampu “menjaga mulut”) bisa dilakukan. Tujuan pemanggilan secara pribadi di depan khalak terbatas ini membantu untuk menciptakan suasana kondusif. Kondusif dalam pengertian sang destroyer tidak merasa sedang diadili yang membuat sang destroyer merasa dipojokkan, dituding beramai-ramai yang berpotensi menganggu kelancaran proses “dialog” dan penanganan. Di depan dua saksi yang kompeten selain memenuhi apa yang dipersyaratkan Alkitab juga demi menjaga netralitas. Pengertiannya, tidak tertutup kemungkinan salah satu dari dua orang pengurus itu pada titik-titik tertentu memiliki dislike pribadi terhadap sang destroyer yang berpotensi “menghilangkan kebenaran” sehingga sang destroyer merasa dirugikan dengan tidak semestinya (faktanya kasus semacam ini seringkali terjadi).
Dalam proses dialog ini azas praduga tidak bersalah dan, menurut saya, empati harus tetap ada. Empati? Empati for what? Pertanyaan ini logis dan tidak salah. Secara umum memang dipahami tidak perlu berempati, bersimpati atau ti, ti, yang lainnya kepada sang destroyer. Yang mereka lakukan sangat merugikan! Kalau itu pendapat umum, saya bisa menerimanya tetapi bukankah tidak pernah tertutup kebebasan berpendapat di negeri ini? Alasan saya sederhana saja, kita berempati kepada manusianya bukan kepada tindakannya. Memang garisnya sangat tipis antara berempati kepada manusia dan kepada tindakan (manusia). Dengan berempati (kepada manusianya) kita bisa lebih mudah mempelajari alasan dibalik tindakan seseorang tetapi tidak untuk membenarkannya kalau memang tindakannya salah (dalam kasus ini, merusak peralatan geraja adalah SALAH!). Empati yang kita berikan juga, menurut saya, bisa kita jadikan cermin dan dalam kontek ini apakah pelayanan kita sudah menyentuh kepada yang substansial dan menyeluruh kepada semua pihak. However, empati kita tidak boleh sekali-kali membuat kita terseret kepada pembenaran yang salah-kita menerima tindakan dan perlakuan tidak benar seseorang karena seseorang sedang kecewa kepada pihak lain atau merasa dikecewakan oleh pihak dan pelayanan pihak lain. Empati tidak boleh membuat kita lembek dan kehilangan focus. Empati adalah tindakan memanusiakan manusia bagaimanapun kondisi mereka dan siapapun mereka.
Setelah dialog lalu apa? Setelah semua permasalahan dan latar belakangnya terungkap jelas memang reward dan punishment harus tetap dijalankan. Dalam kasus ini punishmentlah yang harus dijalankan. Namun begitu, kita harus bisa secara bijaksana menyepakati jenis hukuman yang harus dibebankan. Intinya adalah hukuman harus mendidik dan memberikan efek jera. Hukuman yang mendidik dan memberikan efek jera bukanlah hukuman yang diberikan dengan memberikan beban-beban tertentu tetapi tanpa pendampingan dalam pelaksanaannya. Jera yang dimaksud adalah atas dasar kesadaran sendiri karena telah mengetahui kesalahan-kesalahan dan akibat-akibat yang ditimbulkan untuk orang dan pihak lain sang destroyer sadar untuk tidak melakukannya lagi (tentunya dengan bimbingan yang benar oleh orang yang benar).
Kalau pelanggaran itu sudah menjadi kebiasaan dan perilaku terutama kalau si pelaku adalah “karyawan” gereja dan seoarang Kristen apa yang harus dilakukan? Tindak saja, jangan takut. Akan tetapi, yang perlu dijunjung tinggi adalah prosedur-prosedur dan tata cara yang benar sesuai dengan ajaran Kristen dan mengedepankan kemanusiaan. Untuk petugas gereja yang melakukan pelanggaran semacam ini sebenarnya ada dasar legal (aturan kepegawaian sinode misalnya) yang bisa dipakai. Alasan legal ini perlu dipakai karena sifat merusak yang dilakukannya memang berdampak merugikan bagi gereja secara mikro dalam arti hanya jemaat setempat tetapi juga secara makro dalam arti gereja yang sama dalam lingkup yang lebih besar (sinodal) karena yang dilakukannya merusak asset gereja.
Perlukah dia dipecat? Pecat memecat tidak sulit untuk dilakukan apalagi jika ada bukti dan hal-hal yang bisa mendukung dilakukannya pemecatan terhadap karyawan “nakal” seperti ini. Tetapi yang tetap harus dikedepankan adalah apakah tidak ada hukuman lain yang membuatnya jera walaupun untuk orang-orang semacam ini rasa jera harus ditimbulkan melalui paksaan. Jika semua prosedur dan pembinaan sudah dilakukan dan dilalui tetapi efek jera yang diharapkan dan perilaku ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi, jalan yang terbaik terakhir dan paling menyedihkan yang harus diambil adalah pemecatan. Pemecatan seperti halnya perceraian bukanlah hal yang menyenangkan karena pasti jatuh korban karenanya. Walaupun menyakitkan tindakan sangat keras semacam ini perlu dilakukan untuk menghindari kerugian lebih besar (bukan hanya dalam arti materi) di masa mendatang. Pepatah yang bisa dipakai untuk menggambarkan kerugian terus mempekerjakan karyawan (apalagi karyawan gereja) semacam ini sama dengan mengasuh dan membesarkan ular di dalam rumah yang suatu saat, lapar atau tidak, dia akan memangsa kita dan seluruh anggota keluarga kita sooner or later. Tidak semua keputusan bisa memuaskan semua pihak. Keputusan menyakitkan seringkali harus diambil walaupun hati (sang pengambil keputusan) harus menangis.



Kesimpulan:
Destoyer dalam geraja memang (secara kasuistis) ada. Gereja harus menyikapinya dengan arif, bijaksana dan mengedepankan kemanusiaan atas dasar kasih kristiani. Punishment harus diberikan kepada pelaku pelanggaran. Pun begitu, hukuman yang diberikan haruslah hukuman yang mendidik dan memberikan efek jera. Efek jera timbul karena kesadaran diri telah melakukan kesalahan dan pembinaan terus-menerus yang komprehensif, holistic yang mengedepankan harkat dan nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan sangat keras berupa pemecatan, sekalipu sulit dan menyakitkan, harus diambil jika terbukti sang destroyer dan destroying habitnya sudah menjadi behavior dan tidak bisa diperbaiki lagi. Pemecatan bisa dilakukan setelah semua prosedur dan tahap pembinaan sudah dilalui seluruhnya secara benar. Mempertahankan karyawan dengan perilaku merusak sama dengan memelihara ular yang suatu saat pasti mengigit yang memelihara dan keluarganya.


Bayu S Gunawan

Institut Theologia Aletheia Lawang

Tidak ada komentar: