Jumat, 11 Januari 2008

PAK: Bukan Karena Biasa Dekat

Jangan Hanya Karena Biasa Dekat

Pendidikan Kristen: Sepenggal kisah menyedihkan
Dalam sebuah perbincangan antar majelis di sebuah gereja, seorang penatua bertanya kepada seorang ketua 1 di gerejanya berkaitan dengan penyusunan jadwal dan penetapan personnel yang akan mengajar di kelasa Teruna (Remaja). Sang penatua bertanya kepada ketua 1: ”Atas dasar apa sampean menunjuk dia (orang yang ditetapkan untuk mengajar) melayani di persekutuan Teruna? ” “ Karena dia sering kumpul dengan anak-anak ,” jawab sang ketua 1 pendek. Mendengar jawaban ini, sang penatua bertanya lagi: “ Sering kumpul anak-anak di mana?” Mendengar pertanyaan itu, sang ketua 1 menjawab: ” Di taman Safari (orang yang ditunjuk untuk mengajar Teruna dulu pernah bekerja di tempat tersebut.” Perbincangan pun berhenti dan berakhir (pastinya dengan salah satu pihak merasa kecewa).

Perbincangan dan kisah itu sungguh-sungguh terjadi. Saya mendapatkan cerita ini dalam sebuah perbincangan pagi menjelang berangkat kerja dan mengantar anak-anak pergi ke sekolah. Karena berita ini fresh from the oven yang saya dapat secara “kebetulan”- karena sebelumnya kami memang tidak pernah meagendakan pertemuan apalagi materi pembicaraan. Cerita ini tertanam begitu kuat dalam benak saya sehingga membuat saya berpikir kenapa dasar semacam itu (biasa kumpul dengan anak-anak) dipakai sebagai landasan untuk menunjuk orang mengajar para remaja.

Jangan Pernah Meremehkan Pengajaran di Gereja

Percakapan di atas adalah sebuah kasus yang membuat saya sebagai orang tua dan pribadi menjadi miris. Bagaimana tidak, seorang pengajar yang mempunyai peran dan tugas untuk meletakkan dasar-dasar moral serta nilai-nilai Kristiani pada anak didik justru dipilih secara asal-asalana dan serampangan. Kebiasaan dekat dengan anak-anak di lingkungan kerja yang notabene adalah tempat hiburan (taman Safari) tidak dengan serta bisa dijadikan alasan dan landasan untuk mengangkat seseorang, apapun jabatan gerejawi yang dimilikinya, untuk menjadi pengajar di gereja apalagi mengajar anak-anak dan remaja. Pengajar di lingkungan gereja dan sekolah Kristen tidak hanya dituntut untuk biasa dekat dengan anak-anak tetapi yang paling penting dan mendasar adalah kompetensi yang dimilikinya baik dari sisi skill mengajar, pemahaman materi yang akan diajarkan dan teladan hidup. Guru Kristen, di gereja atau di sekolah, bukan hanya orang yang bisa mengatakan hal-hal yang baik semata tetapi juga harus mampu memberikan teladan hidup sebagai seorang Kristen dan pengikut Yesus. Pun begitu, kita tidak bisa menuntut seorang guru Kristen harus seorang yang sempurna karena pada dasarnya tidak ada seorang manusia pun yang sempurna seperti sang Guru Agung.

Ironi dari kisah di atas adalah kurang pekanya pengurus/majelis bahkan gereja untuk menentukan siap yang berhak, karena kompetensinya, mengajar di lingkungan gereja. Menjadikan kebiasaan dekat dengan anak-anak tanpa lebih jauh menyelidiki kompetensi ybs hanya akan menjadikan anak-anak/remaja yang diajar menjadi obyek. Pengajar yang tidak memiliki kompetensi utama seperti teladan hidup, penguasaan materi, pemahaman teologi yang benar hanya akan menciptakan suasana belajar mengajar sebagai upaya untuk menyenangkan pihak lain. Proses belajar mengajar seperti ini sungguh tidak sehat dan berakibat fatal bagi kehidupan anak-anak dan remaja. Dalam proses belajar mengajar yang dipimpin oleh guru yang tidak kompeten hanya menjadikan proses untuk membentuk sikap, perilaku dan nilai-nilai kristiani dalam diri anak-anak akan menjadi mandeg.

Seandainyapun teori tabula rasa memang benar atau taruhlah sementara ini kita menganggapnya benar, maka semakin jelas guru yang tidak berkompetensi hanya akan menuliskan coretan-coretan buram yang tidak memiliki nilai dan membantu perkembangan moral, sikap dan nilai sebagai seorang Kristen. Coretan yang ditorehkan oleh guru-guru semacam ini hanya akan menimbulkan kebingungan pada diri anak-anak. Guru yang tidak berkompetensi hanya akan memberikan instruksi-instruksi yang sifatnya baik dan menyenangkan terlebih karena dia sedang mengajar di gereja. Intinya di gereja kita hanya boleh mengatakan yang baik-baik saja. Guru yang kurang kompeten tidak kurang atau bahkan tidak memiliki alasan yang bisa dipakai untuk mendukung apa yang diajarkannya terlebih jika ada pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan mendasar tentang iman, doktrin dalam kaitannya daengan kehidupan Kristen sebagai bagian dari kehidupan makro berbangsa bernegara yang plural. Proses pembelajaran tidak sehat semacam ini hanya akan memposisikan guru sebagai pengajar dan bukan sebagai pendidik. Hakikat keduanya sangat berbeda. Yesus sang Guru Agung meneladankan dan menuntut yang kedua.

Siapa yang Layak Mengajar ?

Pendidikan dan pengajaran mempunyai fungsi sangat penting dan vital dalam kehidupan gereja. Fungsi itu tetap dan akan terus ada sepanjang zaman. Pendidikan dan pengajaran Kristen, terutama di gereja, akan menghadapi berbagai tantangan di saat ini terlebih pada masa-masa yang akan datang. Tantangan bukan hanya timbul dari luar sebagai akibat dari proses globalisasi dan perkembangan pesat dunia teknologi informasi yang mampu mengatasi batas ruang dan waktu, menyebarkan ratusan bahkan ribuan byte informasi ke seluruh dunia dalam hitungan menit. Selain itu, tantangan juga timbul dari dalam gereja. Orang-oang yang berada di dalam gereja (jemaat bhkan para pelayan) seringkali mersa kesulitan untuk memperthankan doktrin-doktrin tradisional Kristen karena serangan dan hantaman gelombang informasi yang makin deras dan mampu menunjukkan “kebenaran lain” yang seringkali bertentangan dengan iman Kristen dan lebih masuk akal.

Mengingat peranan dan tantangannya, maka kedua hal di atas harus menjadi prioritas utama dalam kehidupan bergereja dan berjemaat. Gereja dituntut untuk mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan jemaat dan terus mewaspadai potensi-potensi bahaya yang sewaktu-waktu bisa meruntuhkan dan menghancurkan kerohanian dan iman jemaat dengan cara menyediakan dan melatih pengajar-pengajar yang memang meiliki kompetensi untuk mengajarkan kebenaran-kebenaran Alkitab secara kontekstual dengan tidak kehilangan jati diri dan akar Kristen yang sesungguhnya. Menyediakan dan melatih pengajar baru bukan hal yang mudah. Banyak gereja tidak memiliki cukup SDM atau cukup dana untuk merealisasikan hal ini. Untuk mengatasi hal ini, gereja perlu dan harus memberdayakan para pengajar yang sudah ada sambil terus melakukan kaderisasi.

Mengajar dan pengajar (yang berkompetensi) adalah tuntutan sekaligus kebutuhan gereja masa kini dan masa yang akan datang. Sebagaimana layaknya sebuah kebutuhan, hal ini harus dikejar, diupayakan bahkan diimpikan oleh setiap pemegang dan pengambil kebijaksanaan di gereja-gereja local. Wilbur Wright bersaudara lebih dulu “bermimpi” sebelum mereka menciptakan cikal bakal pesawat terbang. Tanpa “mimpi” tidak akan pernah manusia sampai ke bulan. Tentunya mimpi ini bukanlah sekedar mimpi yang seringkali dalam bahasa Jawa disebut sebagai kembange turu (bunganya tidur) yang seringkali kita lupakan setelah kita terjaga. Mimpi ini adalah sebuah inspirasi untuk mengejar dan melakukan sesuatu yang besar dan bermanfaat. Gereja pun harus mempunyai “mimpi” ini-memberikan pengajaran yang benar sehingga umat/jemaat lebih dewasa dalam kerohanian,pengiringan kepada Kristus dan mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap berpegang teguh kepada iman dan pengharapan kepada Kristus. Jemaat yang diajar dengan benar oleh pengajar yang benar tidak akan mudah melepaskan imannya walaupun deraan kesulitan semakin besar.

Bagaimana Seharusnya Gereja Bersikap?

Mau tidak mau, suka atau tidak gereja harus memiliki sikap yang jelas dalam hal ini. Majelis, pengurus gereja dan hamba-hamba Tuhan yang ada harus memiliki ketegasan sikap untuk menentukan dan memilih pengajar yang akan mengajar di setiap komisi maupun jemaat. Dasar yang dipakai haruslah jelas bukan yang asal-asalan dan sembarangan. Gereja dan orang-orang yang mengemban tugas dan jabatan gerejawi harus menjadikan Alkitab sebagi dasar dan standar untuk menetapkan siapa saja yang layak dan berhak untuk mengajar. Ketidaktegasan gereja dalam memilih pengajar hanya akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar di kemudian hari. Berpindahnya seseorang dari keyakinan Kristennya salah satu sebabnya adalah kurang kuatnya pengajaran yang diberikan oleh gereja karena mungkin gurunya kurang kompeten. Pun demikian, masih ada berbagai factor lain yang membuat seseorang memalingkan muka imannya dari Kristus dan menukarkan keselamatan dengan “keselamatan” yang lain.

Menyediakan dan mengadakan pengajar yang berkompetensi bukanlah hal yang mudah tetapi juga tidak mustahil untuk dilakukan. Intinya adalah sejauh mana komitmen kita terhadap kesejahteraan fisik dan kerohanian jemaat. Hal ini juga tidak mustahil kalau kita menjadikan alkitab sebagai standar nilai dalam kehidupan berjemaat. Tugas gereja adalah memberikan pendidikan yang benar tentang gereja, Kristus, keselamatan dan nilai-nilai kristiani supaya jemaat dan pengajar bisa bertumbuh bersama-sama dalam pengertian dan pemahaman akan kekristenan. Mendidik lebih luas cakupan dan tanggungjawabnya daripada mengajar. Satu hal yang harus diingat oleh gereja adalah pendidikan dan pengajaran Kristen adalah pendidikan dan pengajaran yang tidak meminimalkan teladan. Teladan dan pemahaman berjalan beriringan.

Komitmen total dan kepedulian gereja dan para pengemban jabatan gerejawi sangat dituntut. Gereja dan para pejabatnya tidak lagi boleh dan bisa main-main dalam menentukan siapa yang berhak dan layak memberikan pendidikan dan pengajaran. Pendidkan gerejawi dan kristiani menentukan hidup matinya seseorang setelah kematian pertama di bumi ini. Memilih pengajar yang salah hanya akan berpotensi menjadikan proses pendidikan dalam gereja tidak lebih dari sebuah proses belajar mengajar yang terbatas apada transfer ilmu dan tetapi tidak mengubah perlaku yang dididik. Oleh karena itu, mungkin ada baiknya kalu kita berani dan mau bertanya kepada pejabat gereja tentang siapa yang akan mengajar dan apa latar belakang penunjukkannya. Selain tanggungjawab gereja dan pejabatnya, pendidikan Kristen adalah tanggungjawab bersama. Saling mengawasi (dalam kontek yang benar) akan membuat suasan dan proses pengajaran di gereja semakin kondusif. Proses komunikasi antara jemaat dan gereja/pejabat gerejawi akan membantu terwujudnya pengajar-pengajar yang kompeten tidak hanya dari sisi kemampuan teknis tetapi juga teladan hidup. Pengajar yang benar dan pengajaran yang benar akan menghasilkan manusia-manusia Kristen yang benar. Tidak pernah ada sesuatu yang salah menghasilkan hal yang benar.

Bayu S Gunawan

10 Desember 2007

Tidak ada komentar: